Religiositas ”Bangsa Wayang”
MENJADI ”bangsa wayang”, inilah tempo hari yang sangat dikhawatirkan Tan Malaka, seorang yang hidup sebagai manusia pelarian di sebelas negara dan disebut Yamin perancang republik sebelum kemerdekaannya tercapai melalui bukunya (1925) Naar de Republik Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Buku ini lahir jauh sebelum Hatta menulis Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka) (1928) dan Soekarno menuangkan gagasan, ”Menuju Indonesia Merdeka” (1933). Bangsa wayang semiotikanya merujuk kepada sebuah bangsa yang kehilangan jati diri. Tak ubahnya wayang yang hidup dan matinya sepenuhnya berada dalam genggaman takdir ki dalang. Dalam konteks ini, dalang itu dapat bernama gurita ”kepentingan asing” atau juga sifat serakah yang mengalir dalam nadi para penyelenggara negara. Negara yang hilang daulatnya karena dikelola ”para pencuri” yang tidak pernah kehilangan nafsu untuk terus memburu benda dengan menghalalkan beragam cara. Administrasi publik justru tidak untuk kepentingan khalayak, tetapi bag