PERAN NAHDLATUL ULAMA MENGAWAL BANGSA: REFLEKSI HARLAH NU KE-88

PERAN NAHDLATUL ULAMA MENGAWAL BANGSA
-- REFLEKSI HARLAH NU KE-88--


PERAN Nahdlatul Ulama MENGAWAL BANGSA; REFLEKSI HARLAH NU KE-88
Pandji-pandji Nahdlatul Ulama 1926
Tjiptaan KH. Ridwan, Bubutan Surabaya
Dalam fakta sejarah Indonesia, tidak bisa dipungkiri bahwa peran dan konstribusi NU (Nahdlatul Ulama) kepada bangsa ini sangatlah besar. Pada hari Jum’at kemarin, tanggal 31 Januari dalam hitungan kalender masehi, merupakan hari lahir NU yang ke-88, dimana NU secara resmi lahir pada tanggal 31 Januari 1926. 

Dalam perjalanannya, sebagai organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, rasa memiliki dan tanggung jawab NU terhadap bangsa ini sangatlah kuat, baik secara Jam’iyyah/ kelembagaan, maupun Jama’ah/umat NU. Fakta tersebut bisa kita lihat dari perjuangan para kyai dalam memperjuangkan tanah air sebelum kemerdekaan, pun upaya mereka dalam mempertahankan bentuk NKRI pasca kemerdekaan. Apa yang selama ini sudah dilakukan NU bukanlah hanya sekedar basa-basi atau pencitraan belaka, tetapi memang muncul dari tekad yang terdalam dan keikhlasan para sesepuh NU sebagai langkah perjuangan mengayomi masyarakat, yang kemudian langkah-langkah tersebut dituangkan dalam kebijakan organisasi.

Perjuangan Nahdlatul Ulama Mengawal Bangsa

Berbicara tentang NU, maka tidak bisa dipisahkan dengan pesantren dan para kyai (baca: Ulama) yang ada didalamnya. Dari sini sudah tergambar jelas, bahwa basis utama NU adalah para kyai dan para santri itu sendiri, walaupun menurut Martin Van Bruinessen, ada juga pihak lain di luar yang berminat dan merespon positif, sehingga NU berkembang dengan pesat dan kuat. 

Dalam berkhidmah di masyarakat, para ulama tidak hanya mengurus perihal ibadah dan permasalahan keagamaan saja, tetapi juga merespon berbagai gejala dan situasi sosial yang terjadi di sekitar lingkungannya. Salah satunya adalah gerakan Nahdlatul Wathon (Kebangkitan kebangsaan) pada tahun 1916, yang dimotori oleh para kyai, termasuk diantaranya K.H. A. Wahab Hasbullah. Gerakan tersebut muncul sebagai respon para ulama melihat adanya penindasan yang dilakukan oleh penjajah, dalam hal ini dari kolonial Belanda kepada pribumi Indonesia. 

Gerakan ini juga merupakan bentuk keberpihakan ulama kepada rakyat dan orang kecil yang terdzolimi. Semangat yang pada saat itu digelorakan adalah semangat memupuk dan membangkitkan rasa cinta tanah air, yang tidak lain bertujuan untuk berjuang bersama-sama melawan imperialisme dan mengusir penjajah dalam mencapai cita-cita kemerdekaan. Nahdlatul Wathon inilah salah satu gerakan yang melatarbelakangi berdirinya NU pada 31 Januari 1926. 

Selain itu, perlu diketahui juga tentang peranan dan kontribusi para kyai NU ketika bangsa ini mempersiapkan kemerdekaan. Tak sedikit tokoh NU yang turut terlibat di dalamnya, termasuk dalam forum resmi di BPUPKI yang dibentuk tanggal 29 April 1945. Pada saat itu, tokoh dari NU yang mewakili adalah K.H. A. Wahid Hasyim (Ayah Gusdur). Beliau juga termasuk ulama yang ikut merumuskan dasar Negara Indonesia. Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, di saat rakyat baru saja merasakan alam kemerdekaan, mereka kembali terusik dengan rencana hadirnya sekutu ke Indonesia. 

Hal yang kemudian kembali memanggil naluri para ulama, yang kemudian berupaya sekuat tenaga untuk mempertahankan kemerdekaan Negara Indonesia yang telah dideklarasikan oleh presiden Soekarno. Pada saat itu, Rois Akbar Syuriah NU, K.H. Hasyim Asy’ari, secara langsung mengumpulkan para ulama di Jawa untuk berkonsolidasi dan mengambil sikap, sehingga lahirlah sebuah deklarasi masyhur yang disebut sebagai “Resolusi Jihad”. Semangat resolusi jihad adalah semangat nasionalisme para kyai untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengawal kelangsungan NKRI. Melalui resolusi ini, semangat jihad para santri, kyai, beserta para pejuang lainnya seperti terbakar, hingga dapat memukul mundur sekutu yang akan menjajah kembali Indonesia.

Perjuangan Para Ulama Nahdlatul Ulama dalam Konteks Tegal

Selain perjuangan para kyai NU di kancah Nasional, dalam konteks Tegal, ada juga sosok kyai Abu Suja’i. Beliau merupakan tokoh pejuang dari kalangan ulama di Tegal. Ahmad Baso, mantan Komnas HAM dan penulis buku Pesantren Studies, mengatakan: “Tegal pasca merdeka, yang mengisi kepemimpinan pertama sebagai bupati adalah seorang kyai, seorang pejuang yang juga merupakan santri dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asy'ari. 

Sosok tersebut adalah Kyai Abu Suja’i”. Perjuangan para kyai di Tegal dalam melawan Belanda juga terjadi di pesantren Ma’haduttolabah Babakan Lebaksiu. Pesantren yang berdiri tahun 1916 ini, dulunya digunakan sebagai basis perlawanan rakyat terhadap Belanda, sehingga ada 2 pengasuhnya, K.H. Makshum Mufti dan K.H. Mohammad Syafi’i Mufti, gugur ketika melakukan perlawanan terhadap Belanda. Belanda bahkan sengaja menyeret hidup-hidup K.H. Mohammad Syafi’ii menuju ke tengah hutan di perbukitan Kalibakung (arah Guci) yang sangat susah diakses, sebelum menembak beliau bersama puluhan pejuang lainnya dan memakamkannya dalam satu lubang kuburan, supaya susah untuk diziarahi oleh pengikut dan santrinya. Dengan begitu Belanda juga membuat strategi psikologis agar kondisi moral dan semangat para pejuang yang lain menurun. Belanda khawatir gugurnya sang kyai akan menambah besar kemarahan dan semangat jihad di kalangan pengikutnya. 

Jauh setelah zaman kemerdekaan, perjuangan mengayomi masyarakat masih tetap dilanjutkan oleh kyai-kyai sepuh NU di tegal pada generasi berikutnya, seperti: Alm. KH. Miftah (Kajen), Alm. KH. Abdul Malik (Babakan), Alm. KH. Hasyim Jamhari (Danawarih), KH. Hambali Usman (Yamansari) dll. Tentunya perjuangan yang mereka lakukan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman yang berkembang. Selain menguatkan spiritualitas dan moralitas masyarakat Tegal dengan pengajian di pesantren dan majlis taklim serta ceramah di desa-desa, mereka juga ikut berjuang dalam dunia pendidikan. Hal tersebut bisa kita lihat dengan tersebarnya sekolah-sekolah di Tegal setingkat SMP/MTS, SMA/MA atau SMK yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama dan pesantren, termasuk sampai pada pendidikan tinggi, yaitu dengan hadirnya kampus STAIBN Slawi, Kampus yang mengkaji pendidikan keagamaan di Tegal, yang didirikan atas jasa para ulama Nahdlatul Ulama.

Dari kisah atau sejarah perjuangan para kyai di atas, mulai dari mbah Hasyim Asy’ari dan kyai-kyai lain yang sudah penulis tulis, penting kiranya agar generasi sekarang bisa mewarisi dan mensuritauladani semangat para tokoh ulama Nahdlatul Ulama terdahulu. Tidak lain dalam rangka mencintai dan mengawal bangsa ini, yang telah diperjuangkan dan dipertahankan oleh para Ulama NU dengan segenap hidup mereka, sehingga bisa menjadi bangsa yang berkualitas, juga supaya keutuhan NKRI tetap terjaga dengan kuat.


Oleh: Muhammad Aqib Malik
Keluarga besar pesantren Ma’haduttolabah Babakan Tegal & kader muda Nahdlatul Ulama Kab.Tegal

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?