Menatap Tahun Politik - Sebuah Refleksi Akhir Tahun

Indonesia 2014 - Tantang Tahun Politik  image: Sindo www.rmi-nu.or.id
Indonesia 2014 - Tantang Tahun Politik
image: Sindo
www.rmi-nu.or.id
Mereka yang mengerti dan membaca kepustakaan mengenai Indonesia tentu akan merasa sedih dan kecewa jika ditanyai tentang kondisi negeri kita setelah 68 tahun merdeka. Sukarno, pada amanat pembukaan Kongres Gerakan Wanita Partai Serikat Islam Indonesia (GERWAPSII) di Istora Senayan, Jakarta, 1 Maret 1966, membagi gerakan kemerdekaan menjadi lima tahapan;

Pertama, tahapan Perintis, gerakan ini dimotori oleh Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, Agus Salim, Abdul Muis, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Douwes Dekker atau Dr Setiabudi. Gerakan ini bertugas agar diseminasi gagasan kemerdekaan dan nasionalisme bisa menyebar ke seluruh penjuru negeri.

Kedua, tahapan Penegas, gerakan ini dimotori oleh Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Sjahrir. Gerakan ini menegaskan bahwa bangsa indonesia tidak akan bisa memperbaiki nasibnya, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun kultural dan politik, sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, penegasan Sukarno,- selain ciri khasnya yang gemar menggunakan repetisi,-baginya, tidak cukup sekedar “Indonesia Merdeka”, tapi “Indonesia Merdeka, Sekarang, Sekarang, Sekarang!” Sayangnya, tahapan kedua ini dilumpuhkan penjajah dengan memenjarakan dan mengasingkan tokoh-tokohnya.

Akhirnya, muncullah tahapan ketiga, yakni, gerakan pencoba, gerakan ini dimotori oleh Dr.Soetomo di Surabaya. Gerakan ketiga ini mencoba mengadakan, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia Raya dengan bekerjasama dengan kaum penjajah. Gerakan ini menambahkan kata “Raya” pada “Indonesia” menjadi “Indonesia Raya”, gerakan ini disebut dengan PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), alasan bekerjasama dengan penjajah dikarenakan habisnya seluruh tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan yang dipenjarakan penjajah. Hasilnya, tentu saja tidak berhasil. Sedari awal, Sukarno menegaskan bahwa kemerdekaan tidak bisa dicapai dengan bekerjasama dengan yang menjajah, tetapi harus direbut dengan macht, dengan kekuasaan, dengan tenaga, gempur-gempuran dengan pihak penjajah.

Karena tidak berhasil, maka muncullah tahapan keempat, yakni Pendobrak, pada barisan ini, duduk diantaranya Chairul Saleh, Wage Rudolf Supratman, dan K.H.Wahid Hasyim (ayah dari K.H.Abdurrahman Wahid dan putra dari Hadratus Syaikh K.H.Hasyim Asy’ari). Barisan pendobrak, atau angkatan 45 ini berusaha mendobrak alam pikiran, bahwa Indonesia bisa merdeka tanpa bekerjasama dengan pihak penjajah. Gerakan ini melahirkan Revolusi Agustus atau Revolusi Kemerdekaan, 17 agustus 1945.

Pertanyaannya kemudian, saat ini kita berada pada barisan yang mana. Menurut Sukarno, saat ini kita berada pada tahapan kelima, yakni, barisan Pelaksana kemerdekaan. Pelaksana cita-cita kemerdekaan, pelaksana Amanat Penderitaan Rakyat, pelaksana cita-cita untuk mendirikan satu masyarakat yang adil dan makmur tanpa exploitation de l’homme par l’homme, pelaksana cita-cita dari seluruh rakyat indonesia untuk hidup di dalam sebuah dunia baru tanpa exploitation de nation par nation, tanpa imperialisme. Sebuah dunia baru dimana seluruh umat manusia hidup sebagai sahabat dengan sahabat, tanpa penghisapan satu bangsa kepada lain bangsa.

Setelah Reformasi 98 dan Menjelang Tahun Politik

Sebagai negara yang baru terbebas dari otoritarianisme,  sistem politik demokratis mensyaratkan adanya kontrol demokratik sekaligus pengawasan oleh masyarakat sipil atas badan yang diberi monopoli untuk melaksanakan amanah rakyat yaitu DPR dan Pemerintah. Berpijak dari catatan perjalanan reformasi 15 tahun ini, kebijakan negara justru  memiliki kecenderungan untuk abai terhadap rakyat yang diwakilinya, diantaranya:

Pertama, dari sudut pertimbangan Politik dan Pemerintahan, saat ini politik dipahami sebatas sebagai jabatan-jabatan publik seperti legislatif, kepresidenan, kabinet, dan partai-partai; selain itu, politik dipahami sebagai kuasa (power) semata-mata yang disertai dengan kesewenangan dalam menentukan cara, tanpa pemahaman nilai dan tindakan etis di dalamnya.  kesulitan utama proses pembangunan politik untuk  mencapai stabilitas sistem dan ketertiban sebagai bagian penting dari tujuan-tujuan politik adalah kegagalan di dalam melakukan pebadanan politik. Inti dari pebadanan politik adalah standarisasi nilai dan prosedur serta pengembangan spesialisasi fungsi dan diferensiasi struktur di mana setiap badan kenegaraan memainkan peran yang khusus. Namun dalam kenyataannya pebadanan politik ini dinilai masih tumpang tindih dengan memainkan fungsi yang jamak melalui badan-badan pemerintah yang dibentuk. Hal ini terlihat dari banyaknya lembaga politik seperti komisi-komisi yang kerapkali secara fungsi tumpang tindih dengan lembaga politik lain seperti kementrian. (lihat: KOMNASHAM vs KEMENKUMHAM, atau SKK migas vs kementrian ESDM)

Kedua, Dari sudut pertimbangan Hukum, banyak produk hukum yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya negara bangsa Indonesia Misalnya UU pornografi yang tidak responsif terhadap kenyataan hidup yang berkembang di masyarakat, diantaranya mengabaikan Pluralisme, Toleransi dan Kebhinekaan masyarakat.  Demikian juga dengan pembahasan RUU Rahasia Negara, di satu sisi negara berpotensi mengancam kebebasan publik untuk mengakses informasi dan mengkriminalisasikannya, tapi di lain sisi negara telah tampil dengan keangkuhannya melalui sangsi yang dikenakan kepada publik yang posisi rentannya justru harus dilindungi. Atau Undang-Undang Penanaman Modal  yang tidak sesuai dengan konstitusi dan cenderung memberikan kebebasan kepada modal asing untuk melakukan eksploitasi atas kekayaan alam Indonesia yang pada akhirnya merugikan masa depan ekonomi rakyat Indonesia.

Ketiga, dari sudut pertimbangan Budaya, kebudayaan yang secara umum dipahami sebagai sistem nilai yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat, sering direduksi sebatas kesenian maupun artefak budaya. Kesenjangan persepsi tentang hal ini juga menjangkiti para pengambil kebijakan. Sebagai konsekuensi logisnya maka dalam produk-produk kebijakan negara yang dihasilkan  sering tidak menyentuh kebutuhan masyarakatnya, terutama dalam kebutuhan akan keadilan, kebenaran dan kearifan dalam produk-produk kebijaksanaan negara seperti yang tercantum dalam kasus-kasus diatas.

Padahal dalam pembukaan konstitusi kita secara eksplisit dikatakan bahwa Pemerintah Negara Indonesia bertugas untuk  melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh karena itu Kebudayaan harus diposisikan sebagai sebuah gerakan pembebasan. Kebudayan juga harus mempunyai ideologi, tidak hanya sekedar membebaskan individu  untuk  melakukan apa saja, namun juga diatur dalam kebijakan. Hadirnya  liberalisasi politik dan liberalisasi ekonomi, juga kapitalisme kebudayan yang dimunculkan dengan 3 jargon, yaitu food, fun, fashion, membuat kebudayaan menjadi penting untuk menangkal hal tersebut sekaligus sebagai filter.  Dalam mewadahi kepentingan tersebut,Undang-undang demokrasi ekonomi sebagai suatu keniscayaan, yang pada dasarnya akan memaknai demokrasi ekonomi. Demikian juga halnya dengan memposisikan pancasila sebagai ideologi kebudayaan.

Persoalan kebijakan, baik berupa gagasan maupun aplikasi, secara keseluruhan harus memerdekakan  rakyat dari penindasan. Kebudayaan di lain sisi menjadi simbol  perlawanan terhadap penindasan.  Demokrasi memang menjadi ruang untuk menampung konflik gagasan dalam masyarakat. Ruang itu harus selalu dibukakan seluas-luasnya. Dan dalam kebebasan itulah nilai-nilai budaya diinternalisasikan sebagai kesepakatan bersama, bukan hanya ruang yang dimaknai dan diisi oleh gagasan elit belaka seperti yang selama ini terjadi.  Menghadapi tahun politik 2014 ini, agaknya Presiden Indonesia terpilih ke depan akan punya banyak pekerjaan rumah yang tentu saja cara menghadapinya tidak dengan So Slow, Bimbang, You Don’t Know.




Sa’duddin Sabilurrasad : almuni Pondok Pesantren Fathul Ulum, Kwagean-Krenceng-Pare-Kediri-Jawa Timur.  Semasa mahasiswa pernah bergiat di berbagai Forum Studi di Jakarta maupun di Bandung, diantaranya: Komunitas pembaca Filsafat SOPHIA Bandung, Kelompok diskusi Sumur Bandung 4- Simpang Dago, Forum Muda Paramadina (FMP) Jakarta, Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) Jakarta, dan pada 2010 pernah menjadi Koordinator Paramadina Movie Society (PAMOS) : sebuah komunitas menonton film dan diskusi bersama para pembuat dan kritikus film di Jakarta. Sepanjang 2005 hingga 2012 pernah bekerja sebagai peneliti di Lembaga Survei Indonesia (LSI),reporter di Majalah Madina, pelbagai tulisannya pernah dipublikasikan dalam buku Satu Abad Muhammadiyah (Paramadina) ,All You Need is Love: Cak Nur di Mata Anak Muda (Paramadina), NU-hammadiyah bicara Nasionalisme (Arruz Media), dan pengantar pada buku Pluralisme menyelamatkan Agama-agama (samudera biru).  Kegiatannya saat ini, selain sebagai penulis lepas, juga sedang belajar membuat film dokumenter di KAMERA MINI. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?