K.H.Abdurraman Wahid: Masalah Dasar Pondok Pesantren
Gus Dur |
Dr. Yamalsyah,
Menteri Perekomian pada pemerintahan Hitler, pernah menghabiskan seluruh
tenaga, pikiran dan dana yang dimiliki rakyat, termasuk hutang negara, untuk
membuat jalan tol di Jerman yang jumlahnya ratusan ribu kilometer. Pada
dasarnya, membuat jalan adalah untuk memberikan penghasilan kepada orang yang
membuat jalan. Lantas timbul pertanyaan, penghasilan ini untuk apa? Ternyata
ini memungkinkan mereka membeli barang jadi dari Jerman sendiri. Dengan kata
lain, mereka menumbuhkan industry barang jadi dalam negeri yang kokoh dan
ditunjang dengan sistim perbankan serata pengembangan pasar domestic yang kuat
untuk menanmpung produk-produk dalam negeri.
Demikian pula Jepang meski memeliki cara yang berbeda. Negeri ini lebih menekan pada
pemakaian uang yang ada untuk pembangunan infra struktur. Tetapi dipusatkan
sekitar jalan-jalan raya. Melalui pabrik-pabrik, mereka mengekspor untuk
pasar luar negeri. Itulah sebabnya sebelum perang dunia, Jepang sudah terkenal
mampu membuat apa saja, asal bisa dijual murah di luar negeri. Karena itu perang
dunia bagi Jepang hakekatnya adalah perang perebutan pasar luar negeri melawan
sekutu. Ternyata hingga hari ini , ekonomi Jepang masih tetep kuat di tangan
Kementerian Industri dan Perdagangan Internasional. Belum lagi kita berbicara
tentang India, China, dan Amerika.
Setelah kita paham
pembangunan berbagi macam negara lalu kita coba mengambil seperti apa pola? Dalam hal ini kita harus berani bertanya kepada pemerintah, untuk dijelaskan
pembanguan ini orientasinya bagaimana? Kalau kita mau menguatkan industri ekspor, mengapa sistem ekonomi kita berbiaya sangat tinggi dan bunga diturunkan, para ekonom geger. Memang, itulah akibanya kalau sistem ekonomi kita
belum terstruktur. Untuk mengubahnya cukup sulit karena itu bias berharap 20
tahun lagi bisa bersaing dengan negara-negara lain.
Dalam hal ini
seharusnya kita berpikir untuk pengutan pasar domestik. Kalau perlu kita mengirim orang ke Jerman. Belajar pada orang-orang Yamalsyah yang masih hidup agar
kita mempunyai bahan perbandingan yang kuat. Dari paparan di atas, peserta
Mukernas diharapkan mengetahui bahwa pesantren itu harus mengenal gambaran
makro tadi. Untuk itu kita jangan mudah di ninabobokan. Pada masa penjajahan
kita sudah birokratis sekali. Saakan kita diberi permen murahan lalu kita terima
saja.
Sekarang peranan pembangunan kian hebat,
dengan keberhasilan KB dan Lingkungan Hidup. Itu semua penting, tapi tak ada
satupun yang prono. Yang prono dengan industrilisasi, perombakan pertanian dan
penciptaan infrastruktur dalam negeri. Dan ini artinya berbicara tetang
orientasi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional kita. Namun syang, kenap
akita tidak pernaj diajak berbicara tentang hal ini. Mungkin pemerintah
khawatir kita tidak mamapu diajak berbicara . padahal kalau kita berbicara,
jelas skali kita mamapu, sbaba ini msalah pokok yang harus kita piker bersama.
Sebaikanya kita
tidak hanya dicukupkan dengan masukan-masukan dari pencerman. Namun juga perlu
memekirkan masalah itu dari konteks lain. Kita harus berani mengambil jarak
dari masalah-masalah yang disuguhkan kepada kita. Kalau, tidak kita akan dihadapkam dengan
masalah-masalah yang tidak ada urusannya dengan kita. Sedangkan masalah yang
menjadi tanggung jawab kita malah tidak tertangani.
Kemarin Drs. KH
THolhah Hasan, aslah seorang ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam
SilahturahPresiden Suharto dengan para ulama , menanyakan hasil penelitian yang
dilakukan Unisma Malang, yaitu sleuruh orangtua mengakui bahwa peran keluarga
dalam jauh disbanding dulu. Hal itu diduga karena mereka tidak punya peluang
atau tidak punya waktu. Hanya sedikit sekali yang mengatakan bahwa mereka
memang tidak mau melakukanya. Dengan begitu berat orang tua masih ingin
mendidik anak-anaknya, dengan mengembangkan ahlaqul karimah-nya dan
meningkatkan pengetahuan agama. Hanya saja kondisi yang tidak mungkin.
Pertanyaan yang
diajukan kepada Pak Harto ini level pertanyaan calon menteri (bukan orangnya).
Begini pertanyaanya, apakah pondok pesantren tidak mungkin dibebani tugas untuk
mempersiapkan orang tua dan keluarga sebagai pendidik, pembentuk alhaqul
karimah. Pak Harto Menjawab: itu betul, makanya majlis taklim perlu. Jawaban
beliau yang panjang lebar itu menunjukan adanya gayung bersambut. Barangkali Pak
Harto mempunyai pemikiran begini, pertanyaan begini bagus kok cuma satu. Kemari
– kemarin, kok tidak pernah ada laporan seperti ini.
Itulah yang sya
maksudkan bahwa kita harus memikirkan hal-hal yang merupakan masalah-masalah
dasar atau jati diri. Dalam hal ini saya sepakat dengan KH. Yusuf Muhammad dan KH. Ilyas Rukhiyat. Karena, perbedaan pendapat antara NU dan pemerintah. Berbeda
pendapat itu wajar-wajar saja dan kita tidak perlu takut.
Selain itu, bahwa
di hadapan kita terbentang tantangan-tantangan luar biasa. Mari kita
perhatikan kasus industrial Madura. Ternyata yang diributkan dalam kasus ini cuma apakah nanti ada night club atau tidak. Padahal itu hanya soal Fururiyahnya
saja. Seharusnya kita yang kita rumuskan bukan itu, karena industrial Madura itu harus berlandaskan pada tiga hal.
Pertama,
industrialisasai yang dimaksud jangan merusak keseimbangan alam pulau Madura.
Karena itu industraillisasi yang sedikit mungkin merusak lingkungan alam.
Mungkin dalam hal ini industri elektronika yang paling baik untuk Madura,
karena orang ke Madura bukan karena sawah dan tanahya. Ada tanda-tanda gas
alam yang terbesar didunia. Itulah sebabnya kalau tidak hati-hati
pengeboranya, Madura bisa rusak semua. Lalu bagaimana arahannya? Apa mungkin
kita bikin seperti di Bolongan, Indramayu bagaimana pengeborannya dilakukan
didalam laut baru kemudian kemudian dikirm ke darat ? dalam hal ini saya tidak
tahu, karena saya bukan orang perminyakan.
Kedua,
industrilisasi itu harus bermanfaat langsung kepada orang Madura. Artinya,
jangan seperti Cilegon, sebab di Cilegon, semua suku bangsa disana ada. Tapi,
orang Cilegon sendiri dimana? Banyak diantara mereka yang menjadi kuli pasir
di Jakarta. Naudzubilla min zalik. Demikan pula nanti , bias-bisa semua orang
dating ke Madura untuk menjadi tenaga staf dan teknis. Sementara, anak-anak
Madura sendiri menjadi tukang pasir di Surabaya. Lalu siapa yang mau
industrilasasi sperti begitu. Lantas, bagiamana caranya haruslah kita pikirkan
bersama. Satu contoh, tiap pembebasan sekian ribu hektar tanah harusdisediakan
lembaga pendidikan yang berkualitas tinggi dibidang teknologi,
manajemen,sekretaris, keterampilan dan computer, khusus untuk anak orang –
orang yang tanahnya dipindahkan dari situ. Dengan begitu, mereka terdidik
dengan baik untuk bias menjadi staf di situ. Itulah industry yang bermanfaat
langsung bagi orang Madura.
Ketiga,
industrilisasi yang tidak merusak infra strukur sosal Madura sendi. Menurut
pandangan orang Madura, paing mansi begi klebur artinya hitungan pasar hari dalam
seminggu sudah masuk kekuasaan lurah atau dalam struktur sosual Madura, pahit
manisnya sudah diserahkan oleh lurah. Karena itu lurah yang dipilih rakyat
harus lurah yang bertanggungjawab kepada rakyat dan kesatuan keutuhan siklus
dalam pemerintahan. Namun ada lagi budaya politik yang lain, yaitu buppak, bebu
guru ratoh. Artinya bapak ibu guru , baru pemerintahah. Karena itu budaya ini
harus dipahami oleh klebun ( lurah tadi,
kalau dia tidak mengerti bahwa kiai itu diatas ratu akan menimbulkan masalah.
Struktur social seperti inilah harus dipertahakna dan jangan mudah diubah.
Sedangkan masalah night club adalah urusan sosialnya.
Karena ulama itu kokoh kedudukannya dibawah ayah dan ibu kandung maka ulama
harus diutamakan. Kalau pemrintah mengatakan tidak apa – apa night club,
sementara ulama mengatkan jangan, maka pendapat ulama yang harus diberlakukan.
Seringkali alas an mengadakan night club agar banyak turis yang dating ke
Madura. Padahal banyak turis dating ke tempat yang bersih, bukan tempat yang murahan.
Karena itu sya tidak mengert, kenpa bias maksiat untuk kepentingan turis.
Inti masalahnya adalah harus berpikir hal-hal
mendasar yang menentukan jati diri kita dan menentukan masadepan kita sendiri.
Kalau demkian, kita tidak terombang-ambing oleh pihak luar dan hal-hal
sampingan yang sebenarnya tidak penting bagi kita.
Kalau kita boleh
mengkritik KUD, maka sering diartikan bahwa KUD sebagai kepanjangan dari (K)etua
(U)ntung (D)uluan. Memang hal ini secara umum terjadi dimana-mana. Yang
paling pusing tentu Departemen Koperasi dan Bank Pemerintah yang membiayai.
Kita sebagai orang pesantren tidak mau belajar koperasi dengan pendekatan
top-down yang dibikin dari atas. Padahl mestinya pendekatan koperasi adalah
bottom-up, yaitu pendekatan dari bawah ke atas. Seperti halnya NU sendiri
bottom up, yakni ranting memilih MWC-MWC bersama-sama Ranting memilih
cabang, Cabang memilih wilayah, Cabang dan wilayah memilih Pengurus Besar .
kalu NU-nya buttom up, kalau induk
koperasinya harus kita perhatikan ikhlas semua berjalan dengan baik.
Dengan demikian
orientasi dan arah kitasemua jelas karena kita memahami masalh dasar. Jangan
sampai asal ada proyek yang ada duitnya lansung diterima padahal kadang-kadang
kita tidak tahu. Misalnya, setiap ada proyek dari BKKBN, kita langsung sami’na
waathona’na, kecuali yang melanggar syara, seperti pengguguran kandungan,
kontrasepsi mantap. Padahal kita perlu bertanya,apakah kita telah mengembangkan konsep keluarga yang
baru secara budaya, yang dipaksa ikut KB, mengapa rusak? Karena dalam konsep
lama, isi keluarga bapak, ibu, kadang-kadang ada paman, bibi dan bahkan
kadang-kadang bahkan kakek dan nenek ada disit. Jumlah anaknya banyak yang
bertugas untuk saling melayani ini dan itu. Memang kondisi ini merupakan
hambatan atau bukan terserah yang berpendapat. Tetapi yang jelas itu adalah
keutuhan. Sekarang anaknya Cuma ada dua kakek dan nenek tinggal disitu, paman
dan bibi tinggal dirumah sendiri, maka
rasa berkeluarganya akan lain dengan dulu.
Semetara
gereja Katolik, karena mereka menentang pembatasan kelahiran (Tahdiduan nasli)
maka terpaksa membuat konsep keluarga yang baik, dirembuk, serius
sungguh-sunnguh, sehingga akhirnya dalam pembicaraan-pembicaraandalam level
dunia ketika bicara masalah keluarga dan masyarakat, tradisi kunci dipegang
Katolik. Sedang kita, meski yang tidak setuju KB banyak, tapi hanya dalam
masailnya saja. Sehingga konsep yang dikembangkan menjadi berhenti dalam
fiqihnya bukan dalam filsafat keluarga.
Pada tahun 1992
saya ditanya, apakah NU bersedia atau bias mencalonkan Pak Harto menjadi
Presiden lagi. Pertanyaan ini dari orang – orang yang ingin mencalonkan pak
Harto bukan dari pak Harto. Saya jawab bahwa Nu tidak bias mencalonkan, karena
NU bukan orsospol. Komentar ini dianggap memusuhi Pak Harto, akibatnya tidak
karu-karuan semua menjadi babak belur.
Belajar dari situ,
ketika saya ditanya pada tahun 1996 : bagaimana sikap NU terhadap kemungkinan
Pak Hrto dicalonkan Presiden, saya jawab kalau beliau dicalonkan Presiden, saya
jawab kalau beliau dicalonkan dari Fraksi DPR/MPR, Nu akan menayalahi khittoh,
tapi bahasanya lebih baik dan lebih fleksibel, yang bersangkutan juga senang
karena NU tidak menghalangi. Bukan PakHArto, tapi mereka bertanya itu yang
membuat masalah. Padahal Nu berupaya tetap berada dalam kontitusi dan lingkup
AD/ARTnya sendiri.
Adapun hal-hal
tafasil yang dibawa oleh para menteri dan pembicara,kita jadiakn sebagai
ramuan. Yang terpenting, mari kita membuat konsep dasar, atau kalau tidak bias
kita selesaikam sekarang membuat tausiatnya agar disusun konsep – konsep yang besar oleh PP RMI
melalui rangkaian kegiatan nya. Sedangkan Suriyah membuat tausiat untuk memulai
sebuah proses pemekaran wawasan keulamaan. Saya bicara begini ini, karena masih
banyak diantara kita yang belum berwawasan luas. Karena itu mari kita perluas
bersama – sama . ini merupakan proses dan tangtanganya adalah bagaimana
memeprluas wawasan kita tanpa kehilangan kedalam kita.
Sebetulnya kita
telah mengalami perubahan yang mendasar sekali. Kalau saya ditanya tentang
Islam di Indonesia yang maju begtu pesat, Saya Jawab terjadi beberapa hal yang
tidak diduga, karena hal itu merupakan jawaban atas tantangan moderinsasioleh
kalangan pesantren, yang melahirkan Nu it. Apa contohnya? Ketika seluruh dunia
isla, belum menerima pendidikan untuk putri, tahun 1923 Pondok pesantren
Denanyar, Jombang sudah menerima dan ini cepat berkembang dimana-mana. Kalau KH
bisri Sansuri telah berbuat, kenapa kita tidak. Padalah kiai Bisri itu kiai
yang paling wira’I . lalu pada tahun 1950, saat itu menteri Agamanya orang NU
KH Wahid Hasyim, membuat keputusan menerima murid wanita masuk sekolah Guru
Hakim Agama (SGHA), yang akhirnya berkembang menjadi fakultas syariah sekarang
ini. Ini keputusan yang fundamental, sebab lulusan sekolah dan fakultas ini
mempunyai kualifikasi menjadi hakim. Agama kini di Indonesia terdapat ribuan
hakim wanita dan ribuan yang memiliki persyaratan untuk itu. Al-ahkamus
–Sultthoniah dan kitab-kitab lain, syarat menjadi qadliu harus laki-laki.
Indonesia ternyata berani membuat fiqih sendiri, tanpa merusak kselurhan fiqih.
Zaman dulu memang wanita tidka mungkin jadi hakim agama, tetapi zaman sekarang
sudah mungkin, karena system ilmu sudah beberbeda.
Ketika Maulana
Ja’far Jatho, pemimpin partai islam di Pakistan, dating ke PBNU berkata “
Tolong Pakistan didoakan”. Kenapa? Kata Rosullah, kaum yang dimpimpin wanita
itu akan dirusak, sedangkan kami dipimping Benazzir Bhuto. Saya menjawab, Ya
Maulana berpendangan lain. Karena hadist itu harus dilihat dari konteks
sejarah, tidak boleh lepas dari itu. Itu zaman abad tujuh masehi dimana Nabi
itu membuat masyarakat Islam di Madinah, maka Jazirah Arab adalah masyarakat
suku. Yang paling berperan dalam masyarakat suku adalah pimpinanya yang
bersifat perorangan bukan pimpinan kelembagaan. Orang itu menajdi pemimpin
segala macam urusan. Ia mempimpin perang, mengawasi penagiran, manarik pajak
dan lain – lain. Semuanya dia tangani sendiri. Demikian sendirinya itu kan
sudah dilembagakan, ketika nenazir bhutho mengambil keputusan tentang sesuatu,
itu diputuskan oleh siding cabinet. Karena mayoritas menteri adalah pria dan
melaksanakan fungsi termasuk melaksnakan UU yang dihasilakn oleh DPR dimana
mayoritas anggotanya adalah Pria dan diawasi jangan sampai menyimpang dari UU.
Pengawasanya adalah para anngota Mahkamah Agung yang semuanya pria.” Lalu
kenapa anda takut?’ Tanya saya kepada dia.
Dengan contoh ini
saya ingin Nu melakukan perubahan-perubahan besar, karena kemampuannya
mendalami masalah secara betul-betul. Misalnya hujjah tentang KB mendalam
sekalipun walaupun belum dikonsepkan menjadi konsep keluarga yang matang dan
konsep social yang betul-betul mumpuni. Jadi pendalaman tetap diperlukan.
Tetapi disamping itu kita harus meluaskan wawasan yang kita miliki. M
Mudah-mudahab
musyawarah ini bias menjadi tausiah kepada PP RMI untuk membuat pemekaran
kemampuan untuk member jawaban kepada masalah dasar yang kita hadapu atau yang
dihadapi oleh pondok pesantren.
( Disarikan dari pidato Sambutan K.H.Abdurraman Wahid, Pada Mukernas Rabithah Ma'ahid Islamiyah ke V, di Ponpes Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, 2-5 November 1996, Oleh KH. Shonhaji Sholeh)
Komentar
Posting Komentar