Faridudin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim (Fariduddin Attar) Sang Cemeti para Sufi
Faridudin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim (Fariduddin Attar) Sang Cemeti para Sufi
(Lahir 1119 M - wafat 1220 M)
Faridudin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim (Fariduddin Attar) |
Bukan bercerita tentang Attar si Penebar Wewangian itu. Bukan tentang Attar yang berkelana karena kata-kata seorang fakir akan harta benda ketika ia meracik obat dikedainya. Juga bukan tentang dia yang meninggalkan Nisyapur tempat kelahirannya untuk meneguk setetes ilmu dari orang saleh dari madzhab Kubrawiyyah, Syaikh Ruknuddin Akkah. Bukan pula tentang pengembaraannya melewati panasnya matahari gurun menuju Mekkah melewati Kufah, Damaskus, Turkistan, dan India yang tanpa uang sepeserpun itu. Lagi-lagi bukan tentang Attar Si Jerami, penghempas takdir ketokohan Jalaludin Rumi, Sufi madzab Cinta dari Konya, karya ini akan berkata panjang lebar.
Ini tentang sekawanan burung kawan. Ini tentang sahabat Sulaiman, Raja penakhluk Balkis, raja yang memiliki cincin wasiat nan ringan yang menjadikannya seorang penguasa, sekaligus pesakitan di antara para nabi dan rasul Tuhan. Ini tentang Bulbul yang tenggelam di antara getaran-getaran nada lagu yang dinyanyikannya. Ini tentang Nuri yang dibutakan indah warna hijau bulunya yang seperti daun-daun surga yang dialiri air keabadian yang pernah diminum Khidlir sang manusia setengah dewa. Pula ini tentang Si Merak dengan ribuan warna yang mengalahkan pelangi. Ia melangkah dengan anggunnya. Menjatuhkan seluruh bulu-bulu sayap Jibril yang dikatakan menyerupai dirinya, kala malaikat pembewa pesan kudus ini melihat indah warna-warninya. Ini juga tentang Rajawali sang penguasa udara, teman raja-raja Roma. Karib dekat khalifah-khalifah Bani Abasiyah yang mahsur. Dan kerap kali aku lihat ia dengan riangnya bertengger angkuh di tangan Harun al-Rasyid, penguasa yang dirahmati Allah itu. Dan masih dengan keangkuhannya, ia membumbung tinggi bersama suara derap kuda al-Ma’mun, mengintai kelinci-kelinci dan rusa di padang buru putra al-Rasyid. Mengintai dan berkata pada tuannya, bahwa mangsa buruan siap dibidik dengan panah berbalur bisa. Ya..ini tentang burung-burung yang diceritakan Attar setiap kali sufi ini mengumandangkan syair dan puisi-puisi mistik pada murid-murid dan para pasiennya. Para burung pencari Simurgh, yang dibimbing Hudhud sang Penunjuk Jalan menuju Istana Keabadian.
Biografi Singkat FaridudinAttar Dan Beberapa Karya Monumentalnya
Attar memiliki nama lengkap Faridudin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim. Di sebuah distrik yang tidak jauh dari Iran, di Nisyapur, Attar dilahirkan dalam keluarga yang cukup mapan. Keluarga pedagang dan tabib. Setelah dewasapun Attar di samping menjalani kehidupan sufinya, waktu-waktunya dihabiskan meracik obat dan menunggui toko minyak wangi warisan orang tuanya. Tahun kelahirannya sampai saat ini masih menjadi perdebatan. DR. Abdul Hadi W.M. misalnya menyebutkan ia lahir pada tahun 1120 M dan meninggal pada tahun 1230 M. Attar, sesuai yang dikatakan sastrawan sufi asal Sumenep ini, menjalani masa hidup yang panjang, 110 tahun.[1] Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Attar lahir pada 1119 M dan meninggal pada tahun 1220 M di Saikhukhah.[2] Lebih muda sembilan tahun dibandingkan yang disampaikan DR. Abdul Hadi W.M.
Telah banyak dikatakan bahwa perjalanan sufistik Attar dimulai sejak kedatangan seorang darwis di kedainya. Sang darwis yang dikira Attar hendak meminta belas kasih ini ternyata orang yang membuka gerbang pencarian “Cinta” pada dirinya. Darwis dengan pakain lusuh ini sesaat sebelum akhir hayatnya terus saja mengingatkan dan menyindir Attar dengan mengatakan bahwa kehidupan dunia ini fana, tiada abadi, dan menipu. Kedai minyak wangi dan kekayaan yang dimiliki hanyalah bagian dari dunia yang fana itu. “Sanggupkah engkau meninggalkan itu semua, untuk mendapatkan hal yang lebih berharga dari sekedar kenikmatan dunia?” Ia berkata pada Attar. Selesai memperingatkan Attar, seperti sudah ditakdirkan, Sang Darwis jatuh tersungkur dijemput Izrail dihadapan Sang Penebar Wewangian muda.
Kata-kata Sang Darwis meresap ke relung hati Attar, bergelora dan bergejolak dalam dirinya. Mengitari jiwanya dan membimbing tubuh Attar muda untuk mencari satu hal yang paling bermakna melampaui keindahan dunia. Satu perubahan besarpun terjadi pada diri Attar dan dia telah memutuskan untuk memilih jalan itu, jalan yang gerbangnya sudah dibuka lebar oleh Sang Darwis ber-khirqah[3]lusuh.
Attar pun mulai pencarian akan cinta sejatinya. Meninggalkan Nisyapur dan menitipkan segala harta bendanya, termasuk kedai minyak wangi warisan orang tuanya, pada sanak dan famili. Ia melakukan perjalanan mistiknya sendiri, tanpa kawan maupun kekayaan. Ia berguru dari satu tempat ke tempat yang lain. Syaikh Ruknuddin Akkah dari madzhab Kubrawiyyah, Syaikh Bukn-ud-din, dan Abu Sa’id bin Abil Khair adalah beberapa tokoh sufi yang pernah menjadi guru Attar.
Selama bertahun-tahun ia habiskan untuk mencari cinta sejati dan mendalami dunia mistik yang ia tekuni. Lantunan-lantunan syair “cinta” yang ia buat sering menemaninya dalam perjalanan-perjalanan panjang pendakian yang ia tempuh. Berharap Sang Raja Agung menemuinya dalam pencariannya itu.
Di usianya yang ke tiga puluh lima, Attar kembali ke Nisyapur. Menjadi Hudhud penunjuk jalan kebenaran di tempat kelahirannya itu. Di kalangan sufi Attar juga dikenal dengan Saitu al-Salikin(Cemeti orang-orang sufi). Julukan ia dapatkan karena Attar diakui sebagi orang yang mampu memimpin para sufi itu tetap berada pada petunjuk suci dan selalu dapat membimbing mereka melepaskan kasih rindu mereka melalui syair dan puisi indah yang dibuatnya, menuju cahaya cinta Tuhan Yang Maha Pengasih Yang Maha Penyayang.
Dikatakan[4] bahwa Attar adalah seorang Sufi sekaligus sastrawan yang cukup produktif, mengingat kesibukannya yang selain menulis dan mengajar murid-muridnya, ia juga seorang saudagar dan tabib. Lebih dari 200.000 prosa-puisi dan syair yang dapat dihimpun darinya. Di antaranya, Manthiq at-Thair(Musyawarah Burung) dan Thadkira al-Awliya (Anekdote para Wali). Dua karya yang mengantarkannya sebagai salah seorang tersohor dari Persia yang dikenang dan kerap menjadi penunjuk jalan hingga kini.
Dalam Manthiq ath-Thayr, pembaca akan menemukan sekawanan burung yang berkelana jauh mencari Raja Agung yang mereka rindukan. Mereka melakukan perjalanan hebat untuk menemukan keindahan dan keberartian hidup yang sesungguhnya. Dipandu Hudhud mereka menjalani the sacred journey,melalui halangan dan rintangan, menyebrangi sungai dan lautan serta rimba-rimba dan gurun tanpa tuan.Qaf dengan ratusan gunung-gunungpun mereka lalui, menemui tujuh lembah pengujian menuju pegunungan Elbruz ke arah gunung Kaukasusu tempat Simurgh bertahta dengan gading-gading gajah, kayu cendana dan gaharu.[5] Bertahun-tahun perjalanan suci itu ditempuh demi dapat menemui sang Raja Agung yang memiliki bulu-bulu berkekuatan magis itu, dialah Simurgh, raja dari segala burung di dunia. Ribuan burung yang menyertai Hudhud, namun hanya tiga puluh saja yang berhasil menemui Simurgh di Istananya. Mereka tiba di Gerbang Istana itu dan disambut salah satu abdi sang Maha Raja itu. Akhirnya masuklah burung-burung yang lelah jiwa raga itu di istana raja mereka. Tidak ada siapa-siapa di Istana itu, kecuali mereka sendiri yang telah menyadari kebertuhanan ada dalam diri masing-masing.
Thadkira al-Awliya adalah karya Attar yang berisi perkataan-perkataan para sufi agar para pembaca tahu seluk beluk dan batasan-batasan tasawuf berdasarkan apa yang pernah dilakukan para sufi terdahulu. Untuk membuat buku ini, dikisahkan bahwa Attar telah membaca ratusan buku sebagai masukan. Banyak faktor yang menjadikan buku ini hadir, salah satunya adalah permintaan para murid dan sahabatnya untuk dibuatkan sebuah buku pedoman untuk membantu mereka menuju jalan tasawuf. Selain itu Attar juga melihat bahwa ajaran tasawuf memang merupakan satu laku yang tidak akan lepas dari petunjuk melalui wejangan para sufi, yang menekankan oral method. Perkataan-perkataan para syaikh dan guru pembimbing merupakan petunjuk otoritatif yang sangat dibutuhkan oleh para pencari kesejatian. Oleh karena itu Attar memilih membuat karyanya ini sebagai petuah-petuah para sufi, syeikh, dan guru-guru sufi. Namun, dalam tulisan ini penulis tidak hendak memaparkan karya Attar yang ini. Tulisan ini seperti yang disebutkan di atas akan lebih difokuskan pada Manthiq at-Thair, perjalanan suci para burung pencari kesejatian.
Mentalitas-mentalitas jiwa Burung-burung, Simbolitas Jiwa Manusia
Beberapa hal yang menarik dari Manthiq at-Thair, adalah adanya kategori-kategori jiwa manusia di dalamnya. Bagian ini secara umum terdapat dalam “Rapat Umum Para Burung”, lebih spesifiknya lagi ada pada keluhan para burung-burung yang nampak enggan bertemu raja mereka.[6]Namun terlebih dahulu akan menarik jika pembahasan ini diawali dengan pembahasan umum tentang kitab suci ini. Satu pembahasan yang sering dimunculkan ketika membicarakan Manthiq at-Thair.
Dalam ulasan tentang Manthiq at-Thair yang pernah saya baca, di antaranya dalam beberapa karya Dr. Abdul Hadi W.M, kebanyakan tulisan-tulisan itu membahas Tujuh Lembah menuju keabadian-redSimurgh. Bahkan dalam diktat[7] yang saya peroleh dari mata kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, Dr. Abdul Hadi W.M. secara khusus membahas bagian lembah-lembah ke dalam dua makalah dengan pembahasan yang sama secara khusus. Ini dapat menunjukkan bahwa intisari utama dari kitab ini ada pada bagian ini. Bahwa memang untuk menjadi seorang salik atau pencari, seseorang harus melampaui halangan dan rintangan, yang oleh Attar dipetakan menjadi tujuh fase atau lembah itu.
Di lembah yang pertama melalui Hudhud Attar mengatakan bahwa seorang salik akan didera dengan seratus kesulitan yang luar biasa.[8] Satu hal yang harus diperhatikan ketika seorang pencari ada pada tahapan ini, melupakan segala apa yang dianggapnya berharga di dunia ini. Dengan begitu cahaya kerinduan pada Simurgh akan mendatanginya. Dr Hadi, memberi penjelasan di bagian ini, bahwa seorang salik harus memiliki harapan dan cinta yang harus selalu dipupuk agar hasrat jasmaniyah dapat terkekang dan kerinduan akan Sang Agung tetap berkobar.[9] Kesabaran juga memiliki arti penting dalam tahapan ini. Bukan hal yang mudah untuk dapat melalui tahapan ini. Para salik seringkali terjatuh dari lembah ini karena kurang sabar menghadapi rintangan dan cobaan. Menunggu dengan sabar sampai cahaya cinta itu datang adalah jalan aman bagi para pencari kesejatian agar dapat sampai pada tahapan berikutnya, Lembah Cinta.
Di lembah inilah Attar menjelaskan tentang peran penting batin, hati, atau perasaan. Cinta kata Attar bukan persoalan nalar, yang bisa dipikirkan, atau dijelaskan dengan logika. Cinta ada pada hati, dirasakan batin dan menyatu dengan perasaan. Pikiran akan segera tersingkirkan bila sang pencari masuk pada cinta Sang Agung. Cinta sejati juga tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah, mata batinlah yang dapat menjadi cahaya untuk menemukan cinta itu.
Seorang salik dalam lembah ini dituntut untuk memiliki totalitas, api cintanya harus terus menyala, berkobar terus, semakin membesar. Tanpa itu cinta seorang salik akan lenyap ditelan rasa murung dan kesedihan karena pengorbanan yang telah dilakukan di lembah sebelumnya. Selain itu, seorang salik juga harus melipatgandakan jumlah batinnya agar dapat tetap mejaga api cinta dalam dirinya.
Makna terdalam dari lembah ini ada pada bagaiman seorang salik ketulusan mengorbankan segala apa yang dimilikinya untuk cintanya. “Mencintai adalah mengorbankan kesenangan yang mencolok mata dan kehidupan biasa” demikianlah Majnun berkata tentang cinta.
Ketiga, Lembah Kesadaran atau Kearifan. Lembah di mana kesadaran pengetahuan sang pencari dituntut untuk hadir dan menemukan jalan yang seharusnya ia tempuh.[10]Kerap kali manusia dengan pikiran dangkalnya merusak pengetahuan yang dapat melaju di rel kebenaran pada kesejatian yang dicarinya. Karena pengetahuan yang didasari dengan pikiran dangkal itulan manusia sering tersesat dan kehilangan arah di lembah ini. Pengetahuan yang dimiliki seorang salik haruslah pengetahuan yang abadi, yang di dasari tentang yang abadi dan pancaran penglihatan batin.
Satu hal yang menarik dalam penjelasan bagaimana pengetahuan itu dapat dicapai. Attar mengatakan bahwa hal itu dapat diraih dengan berbagai variasi cara. Di Mihrab masjid seorang pencari dapat menemukan pengetahuan itu, di kuilpun seorang pencari dapat menemukannya pula. Di sinilah bagaimana kita diajarkan akan kesadaran pluralitas. Bagaimana kebenaran itu dapat dicapai tidak hanya dengan satu jalan, atau ajaran. Kebenaran itu dapat dicari dengan ketulusan dan upaya agar mata batin dapat menjadi semakin kuat. Jadi ketika ada seseorang yang menyatakan bahwa hanya kebenaran miliknyalah yang paling benar, simpulkan bahwa pengetahuan yang dimilikinya masih dangkal, yang masih berkutat pada akal atau penglihatan indrawi. Begitulah Attar mengajarkan. Meski tidak sesederhana ini.
Keempat, Lembah Kebebasan. Pada tahapan ini, seorang salik tidak lagi terpengaruh lagi dari hasrat duniawi, semua menjadi sama karena pancaran Ilahi. Tak ada lagi hasrat untuk diri sendiri apalagi nafsu untuk menguasai. Seorang salik dalam tingkatan ini akan melakuan apa yang dikerjakannya dengan keikhlasan mengharap ridha dari sang Agung, selalu berdoa semoga apa yang dilakukannya bermanfaat bagi kehidupan di sekitarnya. Sedangkan dirinya telah lepas dari keterikatan-keterikatan keinginan yang pada hal-hal yang menjadi biasa, meski itu permata sekalipun.
Kelima, Lembah Keesaan. Yang nampak hanya satu. Segala keragaman, perbedaan, kejamakan hakikatnya adalah satu, kasih Tuhan.[11]
Keenam, Lembah Misteri atau Lembah Ketakjuban. Setelah melampau Lembah Keesaan, seorang pencari tidak lagi ingat apa-apa, bahkan dirinya sendiri. Di Lembah Keesaan sang Salik menyadari bahwa ia bersama yang Satu, namun dia tidak tahu siapa yang Satu itu. Begitulah sang Salik mengalami kebingungan sekaligus ketakjuban. Semua yang nampak terlihat membingungkan dan luar biasa, siang dan malam ada secara bersamaan. Semuanya seperti bercampur dan tidak dapat dilukiskan dengan lukisan apapun di dunia.
Ketujuh, Lembah Kematian, Lembah Keterampasan, Lembah Kefaqiran. Attar mengatakan bahwa hakikat lembah ini adalah lupa, tuli, dan kebingungan. Semua terlepas dari sang Salik, kecuali cintanya pada yang dicarinya.
Ketujuh jalan/lembah ini yang harus dilalui para pencari untuk menemukan Simurgh. selain ketujuh lembah ini dalam Manthiq at-Thair pun kisah-kisah teladan banyak sekali yang dapat kita temukan. Dan memang alur cerita dalam Musyawarah Burung ini memang di hidupi oleh kisah-kisah yang selalu dituturkan Hudhud. Beberapa di antaranya adalah kisah Syikh San’an dan gadis Nasrani, Sultan Mahmud, Majnun dan cintanya pada Laila, Bayazid al-Bistami. Kisah-kisah inilah yang digunakan Hudhud untuk senantiasa mengingatkan pada burung yang lain agar tetap fokus pada pencarian Simurgh.
Membahas Manthiq at-Thair tidak akan lengkap rasanya jika melupakan bagian yang saya kira penting untuk kita perhatikan sebagai bagian refleksi untuk kita. Simbolisme jiwa pada burung-burung adalah tanda bahwa memang manusia pada dasarnya mendamba kebebasan untuk lepas mencari asal-usulnya. Tetapi, sayangnya jiwa murni pendamba kesejatianitu kerap kali tetutupi oleh kelemahan yang dimiliki mereka. Jiwa-jiwa yang lemah itu disimbolkan Attar dalam tokoh seperti Bulbul, Nuri, Merak, Itik, Ayam hutan, Humay, Rajawali, Bangau, Burung Hantu, dan Burung Gereja.
Jiwa manusia tipe Bulbul. Keindahan suara yang dimilikinya membuat lupa apa yang seharusnya menjadi tujuan sejatinya. Bahkan Bulbul lebih memilih mawar yang mudah mati itu daripada Simurgh yang abadi. Manusia dengan tipe ini cenderung mencintai dirinya sendiri, bangga dengan kecantikan atau ketampannannya. Orientasinya hidupnya ditujukan pada kekasih mereka. Yang laki-laki berburu wanita, dan yang wanita tergila-gila pada laki-laki yang semuanya membuat lupa pada cinta yang sejati.
Jiwa manusia tipe Nuri. Sama halnya dengan Bulbul, Nuripun takjub dengan dirinya sendiri. Dia tidak melihat bahwa ada keindahan lain yang lebih indah dari warna hijau bulunya yang tiap kali rontok itu. Manusia tipe inipun jenis manusia pesolek, yang tidak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam keindahan yang sesungguhnya. Cukup keindahan dirinya sendiri baginya yang lain tidaklah penting.
Jiwa manusia tipe Merak. Lebih parah dibandingkan Nuri dan Bulbul. Keindahan bulu-bulu yang dimiliki Merak menjadikan kesombongan muncul dalam dirinya. Dia berkeinginan bertemu Simurgh, namun hasrat dunianya selalu menguasai. Dengan warna-warna indahnya itu, ia ciptakan surga sendiri bagi dirinya dan demi itu ia rela meninggalkan kerajaan keindahan Simurgh. Manusia tipe ini selalu menghamba pada dirinya sendiri, kesombongan menjadi ciri yang nyata pada dirinya. Perhiasan-perhiasan dunia selalu saja memenuhi tubuhnya. Menuhi tiap inci tubuhnya dengan perhiasan emas dan perak.
Jiwa manusia tipe Itik. Karena seringnya ia bergelimang hidup di air, kesombongan akan perasaan suci pada diripun mengerami benaknya. Jubah kesucian adalah miliknya semata, begitu selalu dia merasa. Manusia tipe ini merupakan manusia yang merasa paling suci di antara yang lain. Melalui simbol itik inilah para kyai, pendeta, brahma, suhu dan para pemuka agama lainnya diingatkan. Kesucian diri bukanlah dinilai dari mana ia berasal dan penampakan fisik semata atau karena dia selalu di tempat ibadah dan nampak selalu beribadah. Kesucian hati itu ada pada jiwa dan hanya Tuhanlah yang mengetahuinya. Klaim suci pada diri seseorang bukan berarti mewujudkan jiwa suci pada orang itu.
Jiwa manusia tipe Ayam Hutan. Hudhud berkata pada ayam hutan, “Kesenanganmu pada batu permata membekukan hatimu bagai batu.” Seperti inilah manusia tipe Ayam Hutan akan mudah sekali lupa pada kesejatian karena permata dunia yang dianggapnya sempurna. Orang dengan tipe ini, akan senang sekali memamerkan perhiasan-perhiasan dari permaata itu, berjalan dengan kesombongan pada sesuatu yang sebenarnya tidak berarti.
Jiwa manusia tipe Burung Humay. Orang-orang tipekal ini biasanya adalah para perdana menteri, penasihat atau pendeta yang gila sekali pada kekuasaan dan pengaruh terhadap raja yang mereka angkat. Dia merasa paling berpengaruh dan berkuasa karena rajapun terkadang harus tunduk padanya. Di masa Dinasti Abbasiyah, Burung Humay ini biasanya menyimbulkan para wazir raja yang terkadang memiliki wewenang lebih daripada raja yang memimpin. Kekuasaan memang sering sekali menjadi godaan bagi orang-orang yang hendak mencari kesejatian dan cinta.
Jiwa manusia tipe Rajawali. Masih seputar kekuasaan, burung rajawalipun menyimbolkan orang-orang yang berperan disekitar raja atau penguasa. Lebih tepatnya burung rajawali ini mewakili sosok para jenderal atau panglima perang yang dengan semangat membara sering berebut pengaruh. Lagi-lagi kekuasaan membutakan orang-orang seperti ini.
Jiwa manusia tipe Bangau. Lain dari dua burung sebelumnya, burung bangau biasanya menjadi simbol para petualang pecinta keindahan alam dan tempat-tempat wisata. Dia selalu saja ingin melihat tempat-tempat indah di dunia. Mengoleksi tempat-tempat itu ke dalam memorinya. Pada dasarnya orang seperti ini rindu sekali pada keindahan yang sesungguhnya, keindahan air tawar yang dapat menghilangkan dahaga Bangau. Namun, Sang Bangau ini lebih memilih laut, yang hanya dapat dilihatnya, tanpa bisa dirasakan dan tanpa memberikannya manfaat selain keindahan semu yang ada.
Jiwa manusia tipe Burung Hantu. Burung hantu dikenal karena kemampuannya yang dapat melihat benda-benda meski dikegelapan. Burung ini sering menjadi teman para pencari harta karun, menjadi penunjuk jalan bagi mereka untuk menemukan emas dan perak di reruntuhan yang mungkin menyimpan harta. Burung ini melambangkan para pencari harta karun itu sendiri, yang selalu dimabuk harta, dan menghabiskan waktunya hanya untuk emas yang mereka cari.
Jiwa manusia tipe burung Gereja. Manusia tipe ini biasanya hidup dengan keluhan-keluhan tiap hari di dalam kehidupannya. Semuanya nampak kurang di matanya. Bahkan sampai berkenaan dengan kemampuanpun manusia tipe ini akan selalu mengeluh, padahal itu karena kemalasannya semata ia tak mau melakukan hal-hal yang sebenarnya diinginkannya.
Dari burung-burung ini dapat dilihat bahwa kecenderungan-kecenderungan manusia memang ada pada dunia. Kenikmatan, keindahan, janji yang diberikan dunia memang tampak nyata bagi orang-orang yang mengandalkan akal dan indera mereka. Melalui Hudhud Attar selalu mengingatkan pada kita bahwa segala macam godaan yang ada ini pada dasarnya dapat dilalui manusia. Tergantung pada diri mereka sendiri. Ketika mereka membiarkan tubuh mereka dengan segala keterbatasan dan nafsu-nafsu akan dunia menguasai, maka yang didapatkanpun juga keindahan dan kenikmatan dunia. Yang dapat dikategorikan menjadi tiga bagian besar; Pasangan, harta, dan kuasa. Tiga manifestasi keindahan dunia ini yang selalu saja menggoda manusia untuk meraih keindahan cahaya Sang Agung, raja segala raja. Untuk dapat menjangkau keindahan cahaya sang Agung itu, setiap manusia harus berusaha membuka mata batinnya. Hanya dengan mata batinlah jalan menuju sang Agung dapat tersinari dan dilewati.
Berguru pada Attar Melalui Manthiq at-Thair
Salah satu keindahan dan keunggulan karya Attar ini, adalah kekayaan akan kisah-kisah yang ada di dalamnya, mencetak karyanya menjadi maha karya cerita berbingkai yang terkenal dan dijadikan rujukan. Satu hal yang menunjukkan kapasitas Attar sebagai seorang petualang, sejarahwan, dan tentu sastrawan unggul. Sebagai seorang sufi petualang ia tentu kenyang makan asam dan garam kehidupan. Melihat dan menjalani berbagai macam peristiwa. Sebagai seorang sejarahwan, ia begitu lihai menggunakan tokoh-tokoh yang pernah ada sebagai pemeran-pemeran dalam kisah yang ia buat, sebut saja Sultan Mahmud, Sulaiman, Majnun, dan Bayazid al-Bistami. Attar paham betul siapa mereka, dan mungkin kisah tokoh-tokoh ini yang diceritakan dalam Musyawarah Burung ini adalah sebuah kenyataan yang pernah tercatat di buku sejarah dan kemudian dipakai Attar sebagai contoh teladan dalam ceritanya. kalau dihitung, dalam Manthiq at-Thair, ada sekitar 112 kisah yang kebanyakan dimaksudkan sebagai pesan dan nasehat untuk kita dalam menyikapi dan melihat dunia, serta melihat jalan meraih kesejatian tujuan hidup kita.
Kisah-kisah itu oleh Attar dibagi menjadi tiga bagian besar. Pertama, ada pada bab “Rapat Umum Burung-burung” yang terdiri dari tiga belas kisah, termasuk kisah Syeikh San’an dan Gadis Nasrani yang kerap dibedah dan dibicarakan oleh Dr. Abdul Hadi W.M. Kedua, ada pada bagian perjalanan pencarian Simurgh. Sekitar enam puluh enam kisah yang dibuat Attar di bagian ini. Ketiga, ada pada bagian terakhir, bagian lembah-lembah yang terdiri dari 43 kisah.
Pembagian kisah-kisah ini untuk masuk pada masing-masing kategori di dasari pada garis hubung yang ada pada masalah yang ada dengan jawaban yang coba dimunculkan. Dan kisah-kisah itu dimaksudkan sebagai jawaban atas permasalahan-permasalahan itu, dalam hal ini Hudhud sebagai penutur yang mewakili maksud Attar. Penekannya pada apa isi yang disampaikan. Dan inipun menunjukkan fase-fase yang harus diingat oleh para salik kesejatian. Tiga fase yang akan selalu ada, mengisi jalan cerita para pencari.
Pertama, fase pengenalan kesejatian. Tahapan ini melalui kisah-kisah yang digunakan Hudhud untuk menanggapi keluhan-keluhan para burung, merupakan satu cara awal untuk menjadi salik. Bagaimana harus menyikapi semua yang ada di dunia ini, dan bagaimana harus tahu apa tujuan keberadaan mereka sebenarnya. Manusia adalah makhluk yang cenderung terbelenggu oleh keindahan semu dunia dan kerap lebih suka melupakan bahwa ada satu keabadian yang dapat diraih, dan ini yang harus disadari. Seseorang yang benar-benar ingin mencari kesejatian harus tahu terlebih dahulu hal ini, atau ia akan tersesat diperjalanan pencarian. Hampir semua kisah yang ada di bagian pertama ini mengingatkan bahwa semua yang ada di dunia ini bukanlah tujuan manusia sebenarnya. Hudhud selalu mengingatkan bahwa keindahan dunia yang kerap diagung-agungkan tidak ada apa-apanya dibandingkan keindahan yang sejati, keindahan Simurgh. Kisah-kisah di dalamnya menjadi pengingat akan hal itu. Keluhan burung-burung yang cenderung memilih keindahan dunia itu coba dipatahkan dengan kisah-kisah yang ada dalam bagian pertaman ini. Pengingat! Sebagai pengingat kisah-kisah dalam bagian ini diceritakan Attar. Dapat kita lihat dari ucapan Hudhud menanggapi keluhan Bulbul yang lebih mencintai suara dan keindahan mawar-mawar dibandingkan dengan Simurgh. Kisah tentang seorang puteri raja dan seorang darwis.
Diceritakan bahwa seorang raja memiliki puteri yang luar biasa cantiknya. Sebegitu cantiknya hingga bidadari kayanganpun tertunduk takjub jika melihat wajahnya. Ketika sang Puteri sedang jalan-jalan bersama dayang-dayangnya, seorang darwis terlihat nampak terpana melihatnya, roti yang dipegangnya jatuh karena ketakjubannya pada kecantikan puteri itu. Sang puteri hanya tersenyum melihat tingkah darwis itu, malangnya si Darwis mengira senyum itu sebagai sebuah tanda harapan akan diberikan padanya. Singkat kata, darwis itu begitu dimabuk cinta pada puteri sang Raja. Siang dan malam hanya wajah puteri itu yang terbayang. Makan susah tidurpun susah. Darwis yang malang itupun akhirnya melupakan ritual-ritual yang pernah ia lakukan sebagai seorang darwis. Lebih memilih memimpikan wajah sang Puteri cantik jelita. Tiap hari kerjanya hanya menunggu dan menunggu, di luar gerbang istana, berharap sang Puteri menemuinya. Saking bosannya mendengar laporan dari para penjaga gerbang, akhirnya sang Puteripun menemui darwis malang itu.
“Apa yang kamu lakukan wahai orang hina” Kata sang Puteri.
“Sejak pertama kali melihat puteri, telah hamba serahkan seluruh cinta yang ada pada diri untuk paduka.” Darwis berkata.
“Apakah kau tidak sadar siapa dirimu dan sipa saya ini. Cepatlah pergi dari sini, atau para pengawal akan mengusirmu!”
“Sebelum para pengawal puteri mengusir hamba. Kiranya sudilah paduka menjawab pertanyaan hamba. Pada saat Tuanku puteri menikamkan cinta di hati hamba, mengapakah Tuanku tersenyun pada hamba?”
“Engkau dungu sekali. Aku tersenyum padamu semata-mata karena kasihan padamu, itu saja”
Setelah berkata demikian sang Puteri kembali ke istana, meninggalkan sang Darwis yang termangu-mangu.[12]
Dari kisah ini dapat dilihat bahwa memang tidak dapat manusia menggantungkan atau juga memuja keindahan dunia. Keindahan yang menjerumuskan dalam kepedihan. Attar mengajarkan bahwa tak ada gunanya manusia memuja dan mencari keindahan dunia. Tidak ada yang didapatkan dari keindahan macam ini kecuali sesuatu yang semu dan sementara belaka. Maka carilah sesuatu yang dapat dijadikan tujuan yang sebenarnya, sesuatu yang abadi, sesuatu tidak akan menjerumuskan manusia pada lembah kenistaan. Dialah keindahan sejati, di kenal sebagi Simurgh oleh burung-burung.
Kedua, fase pencarian. Dalam fase ini seorang darwis diajarkan Attar bahwa kerapkali seorang pencari tidak memiliki ketabahan, keberanian, dan kehilangan semangat pada titik awal pencariannya. Kisah-kisah yang diutarakan Hudhud memberi tahu bahwa ketika kebimbangan menyelimuti ketika seorangsalik melakukan perjalan pencarian, maka teguhkanlah hati dan tujuan. Dengan demikian, para pencari tidak akan mudah terjatuh dan mati jiwa dalam pencarian itu. Ketetapan hati dalam menjalani perjalanan ini bukanlah hal mudah yang dapat diperolah, selalu saja godaan dan tantangan menghadang. Godaan-godaan itu akan kerap muncul sebagai hal-hal yang diinginkan nafsu duniawi pada diri manusia. Harta benda, wanita, dan kekuasaan. Seorang salik yang tidak tahan akan cobaan ini akan segera meninggalkan jalan suci mereka, dan memilih kembali pada yang profan.
Kemudian tantangan. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh seorang salik bukanlah mengalahkan seorang penjahat besar atau juga para jenderal gila perang yang pernah ada, tantangan terbesar itu ada pada diri mereka sendiri sebagai sebuah ketakutan untuk mencari Sang Agung. Ketakutanlah yang dapat menghancurkan diri dan semangat yang ada dalam diri. Kenyataan bahwa para pencari ini dihadapkan pada yang adikodrati, yang maha segalanya, memunculkan ketakutan yang sangat yang biasanya menguasai para pencari. Selain itu sikap rendah diri dan perasaan tidak mampu juga kerap menjadi ketakutan yang harus disingkirkan dari dinding dan ruang kalbu. Ingatlah pesan Hudhud pada para burung dalam perjalanan awal pencarian.
Hudhud berkata pada salah satu burung yang merasa tidak akan mampu melakukan perjalanan suci itu karena selalu dikuasai hawa nafsunya; “Dirimulah anjing tersesat itu. Selalu diinjak-injak. Jiwamu bermata satu dan juling, hina, kotor, dan tidak setia.”
Lalu Hudhud menceritakan satu kisah pada burung itu tentang seorang raja yang bertanya pada darwis, siapa yang terbaik di antara mereka. Darwis itu menjawab, bahwa orang sepertinya lebih baik seratus derajat daripada sang Raja, karena dirinya telah berhasil menjinakkan anjing dalam dirinya. Sedangkan sang Raja, begitu dikuasai oleh anjing yang ada dalam tubuhnya. Dan untuk dapat menjadi seratus kali lebih baik derajatnya daripada sang Darwis, maka ia harus menjinakkan pula anjing itu.
Satu kisah yang mengajarkan bahwa godaan itu selalu muncul, dan godaan itu dapat dihilangkan dengan pengekangan hawa nafsu yang ada dalam diri. Sikap seperti itulah yang harus ditumbuhkan para pencari di awal pencarian mereka, melawan godaan dan memunculkan keberanian untuk meninggalkan godaan itu.
Ketiga, fase penyucian. Setelah sang Salik telah mempersiapkan diri dan memantabkan tujuan sebenarnya yang ingin dicapai, tahap berikutnya adalah penyucian diri. Sang Raja Agung telah menunggu jiwa-jiwa wangi mereka. Jiwa yang masih dikotori kotoran semacam nafsu-nafsu terhadap duniawi tidaklah pantas bertemu dengan Sang Raja dari segala raja. Di sinilah Attar mengajarkan bahwa kesucian jiwa dapat diperoleh melalui tujuh maqam atau tahapan. Maqam-maqam yang tidak mudah dicapai apalagi dilalui. Manthiq at-Thair dalam tahapan-tahapan itu memberikan kisah-kisah yang selalu terus mengobarkan semangat para pencari. Ini tahapan yang bukan main beratnya, tujuh tingkatan denga rintangan dan misteri yang menyertainya. Pada fase inilah ribuan burung-burung itu berguguran satu persatu, meninggalkan tiga puluh burung lainnya yang akhirnya mampu menemui Simurgh. Kisah-kisah di fase akhir pencarian ini selalu saja mengatakan; “Bertahanlah…bertahanlah…Rajamu telah menunggumu di singasana-Nya. Bertahanlah…bersemangatlah, kau akan segera menemuinya. Dan jalanilah petunjuk-petunjuk cinta yang ada pada mata batinmu. Kau akan segera sampai…kau akan segera sampai. Percayalah gerbang istana Sang Raja selalu membuka, menunggu kehadiranmu! ”
Dalam kisah-kisah itupun dijelaskan gambaran-gambaran yang ada pada setiap tahapan. Bagaimana sikap, laku, dan hal-hal yang mesti dilakukan seorang salik ketika ada di setiap lembah. Di lembah cinta misalnya, Attar memberikan gambaran bagaimanakah itu cinta yang sejati dengan menceritakan kisah Yusuf dan Zulaikha. Cinta sejati adalah pengorbanan dan ketulusan, demikian kata Attar. Cinta tidak memandang tua, muda, miskin, kaya, borjuis, ataupun proletar. Cinta pada hal-hal yang ada di dalam dunia berlaku demikian, apalagi cinta pada kesejatian yan abadi itu. Ketulusan benar-benar ketulusan harus dimunculkan. Di lembah keesaan, Attar memberika kisah Syaikh Ali Abu Dakkah. Mengajari tentang wujud Abadi. Tak patut sang salik memalingkan pada yang selain Dia. Semua milik Dia, untuk Dia, dan bersama Dia, barang siapa tidak berendam dalam lautan keesaan maka ia tidak layak disebut manusia, atau bahkan para pencari kesejatian. Semuanya satu, lenyap di dalam Wujud Abadi, itulah gambaran lembah keesaan.
Dari kisah-kisah itu para salik dapat memperolah petunjuk tentang gambaran tiap maqam yang harus dilalui. Dengan gambaran ini, Attar membantu para Salik menemukan kesejatian itu. Kisah-kisah yang menjadi penerang jalan-jalan suci itu. [13]
Penutup
Demikianlah kia dapat belajar menjadi salik, mencapai Simurgh sesuai dengan petunjuk guru spiritual Attar. Attar telah menunjukkan salah satu jalan menuju Qaf tempat Simurgh berada. Hanya salah satu. Beribu-ribu petunjuk akan jalan ke sana mungkin telah diajarkan oleh para darwis dan pencari kesejatian lainnya. Semuanya tidak mudah dicapai. Semuanya hampir sama penuh rintangan, cobaan, dan godaan. Namun, Attar adalah Attar yang menunjukkan satu jalan khusus, ke sana melalui Manthiq at-Thair maha karyanya.
“Wahai Attar bejana wewangian rahasia telah kau tumpahkan isinya. Cakrawala dunia dipenuhi wangianmu dan para pecintapun terusik karena engkau. Puisimu itulah gelarmu, mereka akan mengenalmu sebagai Manthiq at-Thair dan Maqamat at-Thair. Keduanya adalah percakapan, pembicaraan sebagai tahapan di jalan kebenaran, atau katakan sebagai Diwan kemabukan.”[14]
Daftar Pustaka
Abdul Hadi W.M.,, Tasawuf Yang Tertindas; Kajian Hermneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Jakarta: Paramadina 2001
——————–,“Cinta Ilahi dalam Tasawuf Menurut Faridudin Attar Melalui Manthiq at-Thair”,diktat kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta
———————, “Mantiq al-Tayr, Alegori Sufi Faridudinal-Attar”, diktat kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta
Faridudin Attar, Perjalanan Menuju Tuhan; Manthiq at-Thair, terj. Surgana, Yogyakarta: Hijrah, 2003
***************************
[1]Abdul Hadi W.M., “Mantiq al-Tayr, Alegori Sufi Faridudinal-Attar”, Diktat kuliah Sejarah Seni dan Sastra Islam, ICAS-Paramadina Jakarta.
[2] www.nurulkhatami.com, Majelis Kajian Tasawuf.
[3] Jubah kebanggaan para Darwis yang biasanya berupa kain yang banyak tambalannya. Atau juga kadang terbuat dari wool.
[4] www.nurulkhatami.com
[5] FaridudinAttar, Manthiq at-Thair, terj. Surgana, Yogyakarta: Hijrah 2003, catatan kaki hal. 88.
[6] Satu hal yang menjadi kekurangan dari tulisan ini adalah penulis tidak membaca karya aslinya, atau paling tidak karya dalam bahasa Parsinya. Dalam karya terjemahan yang telah menjadi rujukan penulis, Manthiq at-Thair telah tertata sebegitu rapi, dan jika memang dalam penunjukkan bagian-bagian itu ada yang kurang pas dengan karya yang berbahasa Parsi, pembaca dapat langsung merifer ke karya terjemahan yang penulis gunakan.
[7] Abdul Hadi W.M, Op.Cit., dan , “Cinta Ilahi dalam Tasawuf Menurut Faridudin Attar Melalui Manthiq at-Thair”
[8] Ibid, hal 188.
[9] Dr. Abdul Hadi W.M, Op.Cit.
[10] Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang diperoleh manusia melalui mata hati sang pencari.
[11] Kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Sense yang nampak dari lembah keesaan sepertinya sama dengan kata-kata sang Budha ini.
[12] Faridudin Attar, Op.Cit. hal. 39.
[13] Pertanyaan yang selalu muncul ketika membaca penjelasan Attar. Apakah setiap Salik akan membutuhkan pengalaman yang sama dengan apa yang diajarkan Attar. Dan sayapun menjawabnya, tentu tidak harus.
[14] Ibid, hal 251.
Komentar
Posting Komentar