Pesantren dan Transformasi Nilai Pendidikan

ilustrasi pesantren: Pesantren Buntet-Cirebon
Beratus-ratus tahun yang lalu pesantren telah ada. Pesantren adalah madrasah atau wadah pendidikan Islam yang mengajarkan nilai-nilai keislaman. Pesantren didirikan oleh para waliyallah yang berdakwah di tanah Nusantara. Pesantren adalah sebagian dari tradisi budaya Islam Indonesia dengan penuh keunikan. 

Meskipun pesantren telah ada sejak beberapa abad, namun suatu kenyataan yang sangat menarik ialah bahwa sistem pendidikan tradisional Islam itu berkembang pesat pada peralihan abad yang lalu (abad kolonial dan post-kolonial). Pesantren-pesantren besar di kompleks Jombang-Kediri, seperti Tebuireng, Tambakberas, Rejoso, Denanyar, Jampes, Lirboyo, dan lain lain yang sangat besar pengaruhnya pada kehidupan.

Di era modern ini, pesantren menjadi sorotan publik karena pesantren bukan hanya mengajarkan pendidikan agama Islam, namun juga mengajarkan ilmu pengetahuan di luar ajaran Islam. Diantara pengamalan pondok pesantren dalam pendidikan adalah nilai ahlussunnah wal jamaah dan koridor keilmuan dengan transisiturats wa tajdid. Era modern dengan bentuk dunia pada sekularisasi, pesantren ditantang ekstra waspada, dan ekstra disiplin memahami kontur dunia.

Arus globalisasi dan modernisasi yang kencang membuka tabir sains dan wacana yang lebih besar. Tentu pesantren menyambut globalisasi dan modernisme dengan penuh "suka dan duka". Pesantren dituntut menyesuaikan bentuk pendidikan agar tak tergerus oleh zaman. Karena basis pesantren adalah pendidikan, maka modal intrinsik dari pesantren adalah memaksimalkan intelektualitas, baik itu mutu kurikulum maupun pendidikan yang sifatnya non-formal.

Intelektualitas dalam ranah pesantren harus diperkuat dalam ranah epistemologi Islam, dan dibentuk dalam susunan kurikulum yang mengacu pada interdisipliner ilmu. Hal ini pernah dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas (1978) pada konferensi pendidikan muslim dunia di Mekkah pada tahun 1977. Konferensi ini mengacu pada tiga asas pendidikan keislaman. Pertama, percaya kepada prinsip-prinsip Islam dengan menyebarkan kemuliaan budaya seluruh masyarakat Islam di dunia, dengan kekuatan rohani, nilai-nilai moral, keadilan. Kedua bertekad bekerjasama dengan menyediakan manusia dengan karakter islami. Ketiga, berperilaku kemanusiaan pada dunia. 

Hasil konferensi pendidikan muslim dunia tersebut adalah bentuk Islamisasi Ilmu. Dengan mengacu pada konferensi tersebut, pesantren sebagai basis pendidikan Islam dengan kultur Indonesia didorong untuk memacu kembali wacana keislaman dengan karakter manusia. Dengan tampuk pengajaran oleh kyai, kyai memiliki posisi penting dalam pendidikan pesantren. Posisi kepemimpinan kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek kepengurusan. Keumuman kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai pemilik pesantren. Menurut Dawam Rahardjo (1995), posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya similator aspek-aspek kebudayaan dari luar. Dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan kyai sebagaicultural brokers (agen budaya) 

Output pesantren bukan saja melahirkan cendikia yang berkualitas, namun pendidikan yang diberikan oleh para ulama adalah kepemimpinan. Dalam fakta sejarah, pesantren berkontribusi penting dalam perkembangan lebih lanjut, kesulitan mereka juga menjadi kesulitan seluruh bangsa dan negara. Karena itu, dengan sedikit membuat loncatan kepada kesimpulan, persoalan bangsa dan negara tidak akan selesai jika persoalan masyarakat lingkungan pondok pesantren tidak terselesaikan. Mengingkari mereka akan berarti mengingkari kenyataan amat asasi tentang masyarakat Indonesia. Bagi Nurcholis Madjid (2006), mereka adalah "the corner stone of the house neglected by the builders", "batu sudut rumah (negara) yang diabaikan oleh para pembangun rumah".(*)

Oleh: Ahmad Sidqi
Penulis: Kandidat M.Phil Universitas Gadjah Mada

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?