Santri dan Semangat Nasionalisme

"Selama ini, kurikulum di pesantren-pesantren NU terutama searah dengan semangat keindonesiaan. Salah satu kitab kuning yang biasa diajarkan di pesantren NU adalah kitab I'anah al-Thalibin yang memaknai jihad tidak dalam arti kekerasan, melainkan memberi makan orang miskin dan menggelar pengobatan gratis." 

Oleh: KH. Said Aqil Siraj

MEMBICARAKAN perihal memupuk jiwa nasionalis dan membentuk karakter bangsa (nation character building) yang saat ini tengah digundahkan, benak saya langsung teringat pada kisah tentang nadzar. Nadzardalam kajian fikih merupakan suatu janji atau ikrar untuk menjalankan kebaikan secara khusus dan diamalkan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. 
Tersebutlah Mbah Lim -panggilan populer KH Muslim Imampuro-, sosok kiai karismatis yang tinggal di sebuah desa kecil di Sumberrejo, Kelurahan Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten, Jateng. Di desanya itu, Mbah Lim sudah lama memangku ''Pesantren Pancasila Sakti''. Pesantren tersebut merupakan salah satu pesantren tertua di Indonesia. Mbah Lim juga mendirikan sekolah formal hingga tingkat aliyah (SMA). Nama yang dilabelkan pun ''keren'', yaitu Kader Kampus Bangsa Indonesia (KKBI). Setiap ada kegiatan-kegiatan di pesantren, Mbah Lim selalu mengawali dengan menyanyikan Indonesia Raya. Mbah Lim wafat pada Mei 2012.
Lalu, apa nazarnya? Mbah Lim pernah bernazar, dirinya siap diberi azab oleh Allah hingga terwujudnya Indonesia bersatu, adil, dan makmur. Aneh bin ajaib. Tiba-tiba, Mbah Lim tidak bisa berak sampai beberapa bulan, meski makan kenyang. 
Orang pasti superkaget. Siapa yang mau diazab oleh Allah ''hanya'' karena demi negara yang menyangkut kepentingan banyak orang. Kalau toh bernazar, lebih enak untuk kepentingan pribadi. Umpamanya, demi jabatan, proyek, rezeki, atau jodoh. Apalagi, keadaan negara tengah karut-marut, ada opera perseteruan antarelite, leletnya ekonomi, atau maraknya kekerasan, kejahatan, pengeboman, dan terorisme. Lalu, bikin orang menjadi cuek. Yang penting dirinya sendiri tercukupi, biarpun orang lain semaput.
Kita pun jadi ingat Sumpah Palapa-nya Patih Gadjah Mada pada zaman Majapahit. Yakni, sumpah untuk menaklukkan segenap wilayah Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Apa kesamaannya dengan nazar Mbah Lim? Keduanya, tampaknya, punya substansi semangat yang sama. Yakni, tekad untuk mewujudkan nasionalisme yang kukuh serta impian agar negeri ini adil dan makmur. 
Hanya, Mbah Lim bukanlah seorang patih atau birokrat yang mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan kenegaraan. Mbah Lim hanya seorang ''kiai kampung'', figur asali civil society yang dekat dengan masyarakat bawah. Apa yang bisa diperbuatnya demi negara ini hanyalah nazar, doa atau permohonan seorang hamba kepada Sang Khalik. Doa sendiri memiliki maqam (tingkatan). Yang tertinggi adalah, seperti yang dipilah sufi besar Andalusia Muhyiddin Ibn Al-Arabi, yang dinamai su'al al-isti'dad. Yakni, doa hamba yang dibarengi sikap pasrah dengan menerima (qana'ah) segala risiko yang diberikan Sang Khalik. Doa itu sudah tentu harus dilalui dengan ketulusan hati tanpa mengharap imbalan yang serbainstan.
Doa terasa menjadi kekuatan spiritual dan moral bagi mereka yang tak punya kuasa dan berjiwa jernih. Di tengah situasi baur, doa atau nazar Mbah Lim terasa mencacah-cacah jiwa. Itulah doa seorang pencinta dan nasionalis sejati yang senantiasa peduli serta cinta terhadap tanah airnya tanpa harus berteriak-teriak (bil lisan), mencari kesempatan dalam situasi krisis demi kepentingan pribadi atau kelompok (bil hal), atau ramai-ramai berdemo, mendirikan forum-forum atau partai, sembari membuat pernyataan serta deklarasi yang malah kerap membingungkan dan meminggirkan rakyat. 
Sikap cinta tanah air yang bersesambung dengan empati kemanusiaan ternyata bisa diungkapkan dalam suatu ''gerakan diam'' (silence movement). Simaklah pula kata-kata seorang sufi, Abu Hasan al-Kharaqani, yang secara heroik berkata lantang, ''Ya Allah, seandainya aku dapat mati demi semua umat manusia sehingga aku tak perlu menunggu kematian.''

Nyentrik tapi Tunggal Ika 
Lingkungan santri memang menyimpan, katakanlah, sejenis ''life style'' yang bisa dipandang nyentrik. Model kiai-kiai ataupun santri seperti itu akan mudah divonis ngawur. Cermati saja, kiai dengan ''Pesantren Metal''-nya, kiai bergelar ''Kiai al-Hamdulillah'', kiai yang hobi bermuhibah, kiai ''liberal'', kiai yang penampilannya selalu berserban tapi hobi main musik klasik dan rock, hingga kiai yang suka kelayapan di dunia malam. 
Para santri di pesantren pun tak kalah nyentrik. Misalnya, santri berambut gondrong tapi ke mana-mana bersarung, berkopiah, dan bawa kitab kuning serta santri yang demen menghafal syair lagu-lagu rock, pop, atau dangdut. Ada pula istilah ''santri kalong'', ''santri hobi ziarah kubur'', hingga santri berjuluk abdul buthun dan abdul qafa alias santri yang hobi tidur dan makan melulu. 
Dalam beragamnya polah tingkah para kiai dan santri tersebut ternyata tersimpuh ''kalimatun sawa''' (common platform) yang menautkan keragaman tersebut dalam bingkai ''Bhineka Tunggal Ika''. Maksudnya, keragaman itu ternyata bisa menyatu dalam satu ''ayat'' bahwa mereka meresapi keislamannya bersaturaga dengan kecintaan terhadap tanah air.
Selama ini, kurikulum di pesantren-pesantren NU terutama searah dengan semangat keindonesiaan. Salah satu kitab kuning yang biasa diajarkan di pesantren NU adalah kitab I'anah al-Thalibin yang memaknai jihad tidak dalam arti kekerasan, melainkan memberi makan orang miskin dan menggelar pengobatan gratis. Begitulah, kurikulum di pesantren NU menjamin seseorang menjadi al-washathiyah, bersikap moderat. 
Itulah yang membedakan dari fenomena kekinian ketika arus baru ideologi keagamaan mulai merasuki negeri kita. Misalnya, munculnya kelompok keagamaan yang menolak untuk menghormati bendera merah-putih karena hal itu dipandang ''musyrik''. Dalam beberapa kasus, ada pelajar SMA yang menolak menghormati bendera merah-putih saat upacara bendera di sekolahnya. Atau, menolak menyanyikan lagu Indonesia Raya. Begitu pula, ada kelompok-kelompok puritan-radikal yang menolak memperingati hari kemerdekaan RI. Kelompok-kelompok keagamaan itu sesungguhnya hendak berjihad menolak segala rupa ''tradisi Nusantara''.
Tandasnya, pemikiran itu hendak menyumpahi nasionalisme modern sebagai ''bid'ah dan musyrik''. Itu jelas-jelas bisa mengganggu roh demokrasi dan kebinekaan NKRI. Terlebih, jika negara tidak mampu menyejahterakan rakyatnya, ancaman terhadap eksistensi kebangsaan kita akan semakin menganga di tengah masyarakat luas yang dilanda gejala distrust.
Akhirnya, semua elemen negeri ini perlu sigap berpikir dan bertindak bersama dalam rangka membangun bangsa serta negara dalam semangat persatuan perjuangan serta mewujudkan program nyata yang bermanfaat bagi masyarakat. ●

Post: Jawa Pos
Repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP-RMI-NU)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat