Pentingnya Filologi bagi Pesantren, NU, dan Kemenag RI

Pada 16 September 2012, kami berbincang-bincang bersama mantan Dubes RI untuk Lebanon, H Abdullah Syarwani. Beliau menceritakan perihal pembajakan kitab Sirâj al-Thâlibîn karya Syaikh Ihsan Jampes Kediri oleh salah satu penerbit besar di Lebanon. Pihak penerbit telah mengakui kesalahannya dan bersedia mentashih serta menarik peredaran kitab tersebut. Ini juga yang beliau sampaikan kepada pihak PBNU.
Di samping kesalahan penerbit dalam mencantumkan nama penulis kitab menjadi Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Makkah), kata pengantar (taqrîdz) juga dihapus. Diantaranya ditulis oleh Kiai Hasyim Asy’ari dan para pengasuh pesantren Jawa Timur saat itu. Dalam sejarahnya, kitab ini pertama kali diterbitkan oleh penerbit Salim Nabhan di Surabaya pada awal tahun 1950-an, dan tahun 1955 diterbitkan penerbit al-Babi Al-Halabi Mesir, dan pada tahun 1990-an diterbitkan Darul Fikr Lebanon. Baru pada 2006 diterbitkan oleh penerbit Darul Kutub Al-Ilmiyah Lebanon dengan nama pengarang yang berbeda. Beliau juga menghimbau kepada kami agar generasi muda pesantren betul-betul menjaga warisan leluhur. Jangan sampai tragedi di atas kembali terulang. Salah satu upaya yang bisa ialah dengan banyak menulis biografi ulama nusantara, mengkaji kitabnya juga mempublikasikannya. Beliau memberi apresiasi baik ketika kami beritahu bahwa kami tengah meneliti kitab Tanbîh al-Muta’allim sebagai bahan skripsi. Kitab ini merupakan karya pena Kiai Maisur Sindi Atthursidi berupa puisi ( nazham) atas materi akhak yang pernah disampaikan guru beliau Kiai Hasyim Asy’ari. KH Salahuddin Wahid yang mendampingi H Abdullah Syarwani menuturkan bahwa beberapa tahun lalu, ratusan manuskrip di Aceh hendak dibeli oleh peneliti dari Barat. Pemerintah Aceh tidak mengizinkan, dan ironinya naskah tersebut pun tidak dimanfaatkan. Bangsa ini memang kekurangan peneliti, terutama ahli filolog. Ada seorang sahabat H Abdullah Syarwani yang menjadi ketua perpustakaan di Leiden Belanda. Ini menunjukkan sebenarnya negeri ini potensi memiliki banyak pakar dan ilmuwan tetapi tidak ”teropeni” dengan baik. Justru dimanfaatkan oleh pihak luar.
Menarik untuk diulas, The Wahid Institute pernah mengadakan acara Abdurrahman Wahid Memorial Lecture (AWML) dengan salah satu pemateri Dr Oman Fathurahman. Koodinator Islamic Manusript Unit UIN Jakarta ini berhasil merekam cerita sejarah yang tak tercatat di media, yakni aksi Gus Dur menitipkan 67 manuskrip asal pesantren-pesantren di Jawa Timur ke Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) di awal tahun 1993. Koleksi manuskrip Gus Dur kemudian diberi kode “AW” dalam katalog Tim Behrend dkk. (1998) itu, kini menjadi salah satu di antara 18 koleksi naskah Perpusnas yang ditulis dalam beragam bahasa dan aksara.
Jauh sebelum itu Gus Dur pernah mengulas sosok Kiai Mas’ud dari Kawunganten, Purwokerto sebagai kiai yang memiliki hobi dan semangat memburu kitab (Tempo, 18 September 1982). Berkat ‘perburuan’nya yang intensif Kiai Mas’ud berhasil menemukan naskah unik karya Kiai lhsan Jampes selain kitab Sirâj al-Thâlibîn yaitu Manâhîj al-Imdâd. Kitab itu berada pada Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani dan bersedia akan dicetaknya di Makkah. Kini kitab tersebut sudah diterbitkan oleh pihak keluarga Pesantren Jampes pada tahun 2005 setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua jilid.

***
Dua hari setelah bertemu mantan Dubes RI itu kampus kami kedatangan peneliti dari Litbang Kemenag RIMulyani Mudis Taruna. Dalam FGD (Focus Group Discussion) bertajuk ”Eksistensi, Legalitas dan sistem pembelajaran Ma’had Aly” yang dihadiri oleh Rektor, Dosen dan 20 Mahasiswa itu, Mudis menyampaikan beberapapa usulan. Diantarnya terkait tentang metode penelitian. Menurutnya, selain metode kuantitatif dan kualitatif, Mahasiswa Ma’had Aly—atau lembaga perguruan tinggi di pesantren lainnya—etidaknya ditambah dengan metode Filologi. Apalagi jika jurusan yang didalami adalah syariah, dimana kajian fikih dan ushul fikih memiliki porsi paling dominan daripada yang lain. 
Kami sangat setuju dengan usulan tersebut. Jika perlu segera dilaksanakan. Entah apakah ini tugas lembaga pesantren pribadi untuk mendatangkan dosen pembimbing filologi ataukah dari Kemenag RI? Syukur-syukur PBNU ikut terlibat dalam hal ini, mengingat pesantren nusantara mayoritas berbasis NU. Wallahu a’lam


Post: moejieb22
Repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP-RMI-NU)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat