Watak Asli Pesantren itu Mandiri
Sejak bulan Maret lalu Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) atau asosiasi pesantren NU bergiat melatih kewirausahaan di sejumlah pesantren di Indonesia.
Kegiatan ini merupakan bagian dari semangat membangkitkan kemandirian ekonomi di kalangan santri, selain mengkader mereka menjadi insan berakhlak yang mengerti ilmu agama. Bagaimana pesantren menghadapi etos kewirausahaan ini? Apa potensi dan tantangannya?
Dr. Amin Haedari bersama KH. Asep Saefudin, dalam Halaqah peningkatan SDM Pesantren di Amanatul Umah, Mojokerto |
Berikut wawancara Mahbib Khoiron dari NU Online dengan Ketua Pengurus Pusat RMI NU Amin Haedari di Jakarta beberapa waktu lalu.
Bagaimana hubungan pesantren dengan etos kewirausahaan?
Sebenarnya, watak asli pesantren itu ya mandiri, penuh dengan kewirausahaan, penuh dengan entrepreneurship. Jadi persoalan entrepreneurship, persoalan kewirausahaan di pesantren itu bukan hal yang baru. Memang sejak awal pesantren itu sebagai lembaga wirausaha, lembaga entrepreneurship. Dulu beberapa lembaga pesantren di beberapa daerah, di situ ada pesantren kemudian kiainya punya lahan, secara tidak langsung pesantrennya ikut terjun ke kebun, ikut ke kebon, ikut menanam tanaman.
Itu cara kiai mendidik para santrinya. Jadi saat mereka kembali masyarakat, mereka bisa berkebun, bisa bertani, berternak, dan sebagainya. Itu karena kiainya punya lahan.
Saya masih ingat waktu kecil dulu, santri-santri itu pergi ke sawah, nanem; ada kolam, kemudian santri ternak ikan, jadi ketika mereka kembali ke masyarakat dia bisa nanem polowijo, bisa ternak ikan.
Jadi memang aslinya pesantren itu ya tempat entrepreneur, wirausaha. Terus entah kenapa sekarang kok jadi berubah. Padahal kalau kembali ke aslinya pesantren itu ya entrepreneur. Santri-santrinya kan jarang dulu yang pegawai negeri. Kiainya pun juga tekun di situ: ngaji, dia punya lahan. Bahkan awal Islam masuk ke Indonesia kemudian berdiri pesantren-pesantren itu juga perdagangan di wilayah-wilayah pantai, itu juga usaha semua.
Kenapa berubah?
Sekarang ini pesantren kan makin banyak. Kalau dulu pesantren punya lahan banyak, sekarang karena keluargannya juga banyak akhirnya dibagi-bagi. Yang dulunya tempat pertanian sekarang sudah tidak ada lagi. Tidak mampu lagi bertani. Sudah berubah. Tapi sebetulnya, sekarang masih bisa karena entrepreneur itu bukan hanya di bidang pertanian saja.
Di bidang ketrampilan-ketrampilan lain masih sangat terbuka. Seperti bidang industri, ketrampilan di bidang mesin, pengelasan atau ketrampilan lain yang tidak memerlukan lahan luas, itu bisa sekarang. Karena sekarang ini kan kegiatan-kegiatan tidak mesti memiliki lahan yang luas, jadi sekarang harus diupayakan berubah. Mungkin industri jasa, bisa juga. Pertanian pun sekarang kalau menggunakan teknologi tinggi bisa juga; pertanian hidroponik, umpamanya, bisa di lapis-lapis tanah itu, tidak memerlukan tanah yang luas, teknologi semakin caggih. Pesantren harus mengikuti perkembangan-perkembangan seperti itu.
Potensi yang membangkitkan kewirausahaan pesantren itu apa?
Nah, potensi itu ada tiga. Pertama, kita potensi sosial. Bahwa pesantren itu punya masyarakat, punya penggemar, punya umat, punya jamaah, punya santri, sekaligus itu dapat dijadikan pelanggan. Itu potensi sosial yang luar biasa. Perusahaan-perusahaan itu kan bagaimana cara menarik customer sebanyak-banyaknya, nah pesantren udah punya itu. Bagiamana memanfaatkan jamaah, memanfaatkan alumni, memanfaatkan masyarakat. Yang kedua, pesantren mempunyai peluang di bidang ketrampilan. Ketrampilan itu harus ada. Ketrampilan itu yang harus ditingkatkan. Kalau potensi sosialnya sudah ada, potensi ketrampilannya sudah ada maka akan semakin mudah.
Dan yang ketiga, potensi yang datang dari luar. Ini menyangkut dengan modal. Tapi kalau di situ sudah ada ketrampilan, terutama SDM (sumber daya manusia)-nya, potensi sosialnya juga ada, maka otomatis ada yang mau memberikan modal ke situ. Ketiga-tiganya itu harus dikuasai, dan pesantren sudah punya itu. Paling tidak dua dari tiga ini. Nah, bagaimana kita menggait modal untuk membantu ekonomi pesantren. Ada macam-macam itu: ada yang bisa berbentuk hibah, potensi zakat potensi infaq, atau bisa kerjasama.
Yang sudah dilakukan RMI?
Kita sudah banyak melakukan sesuatu. Kalau di bidang entrepreneurship itu kita kerjasama dengan—baru-baru ini—Bank Mandiri untuk pengembangan usaha di lingkungan pondok-pondok pensantren, mulai dari pemodalannya, pelatihannya, tempat usahanya. Kemudian dengan Kementerian Agama juga sama, memberi pelatihan, pemodalan. Tapi lagi-lagi, yang harus ditingkatkan adalah potensi SDM dan ketrampilan di pondok-pondok pesantren. Karena kalau tidak ditingkatkan SDM dan ketrampilannya, seberapapun modal yang diberikan maka akan hilang dengan sendirinya. Karena soal permodalan, kalau pesantren itu sudah trampil, SDM-nya sudah kuat, potensi sosialnya juga sudah kuat, otomatis modal itu akan datang dengan sendrinya.
Apa tantangan pesantren untuk bangkit di dunia wirusaha?
Tantangannya lebih banyak pada mentalitas. Mentalitas entrepreneur harus terus ditingkatkan. Semangat untuk berjuang, semangat untuk melakukan kompetisi, itu yang harus ditingkatkan. Pesantren kan “tawadhu” itu, padahal kalau entrepreneur harus fight betul, siap bertarung, siap kompetisi. Mental semacam ini yang harus digerakkan. Kalau terlalu “tawadhu” juga kurang bagus di bidang wirausaha. Jadi tantangannya, kesiapan mental itu.
Yang kedua, perilaku-perilaku yang sekarang ini terkontaminasi denga sesuatu yang instan, pengen langsung jadi, lebih senang mendapatkan uang dengan menjadi jurkam saja daripada harus mikir-mikir pening. Ini kan kurang bagus karena akan menimbulkan kesulitan, ketika disodorkan bantuan usaha dan bantuan lokal, orang itu lebih senang memiliki bantuan lokal. Karena kalau bantuan usaha, orang itu harus mikir, harus kerja. Padahal dengan bantuan usaha ini mereka akan dapat membangun lokal. Jadi memang ada mental-mental yang ingin instan aja lah.
Bagaimana dengan ajaran pesantren selama ini?
Kita memang mesti terus melakukan sosialisasi, kemudian pelatihan-pelatihan, kemudian kita harus tidak mengesampingkan pihak-pihak luar bahwa sebetulnya Islam itu yang melatih kita harus sungguh-sungguh, bekerja keras. Semangat man jadda wajada kan di situ. Banyak juga base practice, Ibnu Hajar al-Asqalani dulu juga kan giat karena terinspirasi degan air yang menetes ke batu. Batunya keras, namun dengan tetesan terus-menerus akhirnya berlobang.
Jadi di situ kita tak boleh lelah untuk terus melakukan pembinaan-pembinaan, sehingga akan menggugah tingkat kesadaran mereka bahwa berwirausaha itu ya harus kerja keras. Memang nggak bisa satu dua kali bertemu lalu jadi entrepreneur. Itu nggak bisa. Itu harus berkali-kali sampai pada titik dia sadar betul. Samalah, di agama juga tidak serta-merta langsung sadar. Memang harus ada pembiasaan. Pembiasaan ini lah yang harus dilakukan oleh RMI dan segenap komponen NU, karena RMI tidak bekerja sendirian, masih ada lembaga pertanian (LPPNU, red), lembaga perekonomian (LPNU, red), ini kalau bersama-sama akan lebih bagus. Ada singkronisasi.
Selain di bidang wirausaha apa lagi yang dilakukan RMI?
Kita ini masuk di ranah yang kira-kira membantu pesantren. Kalau persoalan pengajian, itu urusan pesantren, persoalan-persoalan kaderisasi masuk di situ, yang mana pesantren terbatas di bidang itu.
Jadi RMI tidak ngajarin ngaji, tapi di bidang lain, di bidang sosial, di bidang ekonomi. Tapi ekonomi lebih banyak daripada sosial. Pemberdayaan santri, tapi lebih banyak ke ekonominya. Karena intinya di situ, kalau pesantren sudah kuat ekonominya akan berkembang, kalau ekonominya lemah, ya susah. []
Komentar
Posting Komentar