Sajen [Mohamad Sobary]

Mereka yang belajar kebudayaan selalu mencoba memperlihatkan empati dan pemihakan terhadap kebudayaan dan manusia-manusia pendukungnya. Pemihakan ini lahir dari sikap ‘merasa’ ikut memiliki, ‘merasa’ menjadi orang dalam, dan kecenderungan untuk ‘merasa’ tak punya jarak.

Padahal, sedalam apapun empati, pemihakan dan keterlibatan orang tersebut tak mungkin menyamai kedalaman rasa cinta seorang kepala suku, pemimpin adat, atau ketua kelompok di dalam suatu kebudayaan. Sedalam apapun kepedulian orang luar, kepedulian itu terbatas.

Sikap maupun perilakunya mungkin --hingga kapan pun-- menyamai kewibawaan yang memancar dalam perilaku para pemimpin di dalam kelompok tersebut. Tapi bagaimana pun, orang luar bisa bicara mengenai apa yang dilihatnya. 

Di banyak etnis di dalam masyarakat kita, ada ritus-ritus adat yang melibatkan ‘sajen’: suatu unsur kelengkapan upacara tradisional yang tak mungkin diabaikan, bukan semata karena hal itu sudah menjadi suatu tradisi mapan melainkan karena hal itu sarat dengan makna-makna. Ini bedanya tradisi dari birokrasi. 

Tradisi memelihara sesuatu persoalan karena ada esensinya. Birokrasi mentradisikan sesuatu karena di balik itu ada duit --dan sering dalam jumlah besar-- yang bisa dimakan bersama tanpa memperhitungkan halal-haramnya lagi. Mari kita bicara tradisi, yang melembagakan sesuatu seolah sesuatu itu suci, dan masyarakat pendukungnya betul-betul menganggapnya suci. 

Lepaskan pikiran mengenai apa yang terjadi ini dari cara berpikir lain tentang apa yang harus terjadi. Dengan begitu, kita bebas mengikuti jalan logika sebuah tradisi --bagian penting dari kebudayaan-- yang berkembang di dalam setiap komunitas. Dalam sajen tadi kita melihat unsur penting: tembakau --bisa dimodernisasikan menjadi rokok linting, buatan tangan atau rokok pabrik-- kembang, kemenyan, dan doa-doa. 

Boleh juga disebut --itu memang lebih tepat-- mantra-mantra. Tembakau, kembang, kemenyan, dan mantra-mantra itu bagi masyarakat bersangkutan tampaknya dianggap bukan lagi sekadar sebagai bagian dari cara hidup mereka, melainkan sebagai bentuk identitas diri komunitas bersangkutan. 

Dengan begitu, tembakau, kembang, kemenyan, dan mantra-mantra adalah wujud inti kehidupan mereka. Dan sekali lagi, orang yang belajar kebudayaan, ikut masuk ke dalam upacara demi upacara dan ritus demi ritus buat mempelajari dan berusaha menangkap ruh dan jiwa kebudayaan bersangkutan. 

Ketika orang yang belajar ini paham akan makna ‘sakral’-nya --dalam komunitas tradisional banyak hal dianggap “sakral”-- maka dia akan menunduk hormat pada tradisi lain dan para pendukungnya yang telah memberinya nuansa hidup yang unik dan tak ditemukan di dalam wilayah kebudayaannya. 

Tembakau, yang tadi disebut bisa dimodernisasikan menjadi rokok buatan tangan maupun buatan pabrik, membuat kita merasa jelas bahwa dia telah menempati posisi kebudayaan yang begitu luhur dan agung di dalam banyak etnis di masyarakat kita. 

Tembakau dan kemenyan itu disedot dalam-dalam oleh sang kepala suku --mungkin juga oleh orang yang disebut ahli rohani setempat, yang selalu menolong warganya dari suatu kegelapan persoalan. 

Pelan-pelan persoalan terkuak dan orang yang disebut kepala suku atau ahli rohani setempat itu bisa mengurai keruwetan persoalan warganya yang datang minta tolong kepadanya dengan wajah gelap. Tembakau dan kemenyan --sebut saja rokok-- bisa mengungkap rahasia di balik kehidupan nyata yang ruwet? 

Saya pribadi tidak ahli. Tapi, hal itu terjadi dan selalu terjadi secara berulang-ulang. Kita tidak pernah tahu mekanisme rohaniah macam apa dan pola komunikasi rohani yang bagaimana yang bisa membuka rahasia persoalan tersebut tapi sebagai orang belajar mengenai perkara seperti itu, saya menaruh rasa hormat. 

Apakah ini tak melawan agama? Sekali lagi, saya tak bicara mengenai apa yang harus ada, melainkan belajar dari apa yang sudah ada dan sudah di tempat tersebut berabad-abad yang lalu. Saya sedang bicara mengenai suatu pola dan jenis kebudayaan, dan tidak sedang bicara mengenai agama. 

Sebagai orang yang belajar, saya merasa tak punya hak tanya pada mereka, karena bila mereka ditanya, ada lagi jawabnya. Dalam kebudayaan, tiap hal ada rasionalitasnya sendiri. Tiap hal ada maknanya sendiri. 

Diantara makna demi makna tadi ada juga makna politik yang kuat yang menandakan bahwa masyarakat bersangkutan tak sebeku batu dan tak sestatis anggapan-anggapan jumawa dari orang-orang modern, yang hidupnya kering, memuja rasionalitas, dan kandas di dalam banyak segi kehidupannya tanpa jalan keluar. 

Tradisi yang dilembagakan --dan diberi nuansa megah-- dengan tembakau atau rokok berbau kemenyan membukakan mata, baik mata hati maupun mata pikiran kita bahwa di luar hidup kita ada corak kehidupan lain. Hidup kita satu-satunya corak kehidupan. Dunia kita hanya salah satu bagian kecil dari dunia yang luas ini. 

Maka apa salahnya kita mencoba tahu kearifan di dalam dunia yang lain itu. Apa salahnya sebuah tradisi, sebuah kebudayaan, sebuah dunia, dan produk-produknya kita hormati? Ada orang modern, sekolahnya kedokteran, yang dengan enak berkata: kebudayaan itu kan tidak suci?

Dan, kebudayaan yang ada kaitan dengan rokok pun juga tidak? Kita menyaksikan banyak kebudayaan mati karena tak relevan lagi. Ya apa salahnya kalau rokok dianggap tak relevan lagi dan mati? Rokok hendak dibunuh dalam suatu medan pembunuhan yang disebut bisnis. 

Kepada dokter itu, kita balik bertanya: bagaimana sikap, bila kakek Anda yang sudah tua itu sakit parah sekali? Dapatkah --sebagai dokter-- Anda berkata dengan enteng: biarlah dia meninggal, toh dia sudah tua?

Kalau tidak --dan pasti tidak-- maka biarlah rokok hidup di dalam dunianya, sebagaimana dia hidup di dalam sebuah ritus yang berisi sajen-sajen, yang sakral dan meaningful bagi komunitas pendukungnya.{}

M. SOBARY
Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan


Repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?