HIPSI: Jaringan Kaum Santri Bergiat dan Berkarya

“Wahai pemuda putra bangsa yang cerdik, cerdas dan para ustadz yang mulia, mengapa tidak kau dirikan saja satu badan ekonomi yang berkoperasi, di mana setiap kota terdapat satu badan usaha yang otonom,” K.H Hasyim Asy’ari, Deklarasi Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Saudagar) 1918
Sekjen RMI, Drs. Miftah Faqih mengunjungi Stand Pameran Hipsi di Munas-Konbes NU 2012, di Pesantren Kempek, Cirebon. doc: rmi-nu
Selain menampilkan sejumlah lembaga , badan otonom Nahdlatul Ulama dan berbagai karya serta kinerjanya, stand bazar di acara Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar (Munas dan Konbes NU), di Pondok Pesantren Kempek, Cirebon, juga diisi oleh promosi sejumlah perusahaan.
Dari sejumlah stand itu, ada sebuah stand menawarkan pisang arania, lele sangkuriang disertai promosi e-commerce tokonu.com . Stand itu mengukuhkan eksistensi Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (Hipsi) yang kini bernaung di bawah Rabithah Ma’had Islamiah (RMI) NU.
Hipsi yang pertamakali dibentuk di Surabaya bermula dari keprihatinan sekelompok santri yang kuliah di Institut Tekhnologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), atas meredupnya semangat kewirausahaan kaum pesantren.
“Padahal, keberadaan NU tak pernah terlepas dari lembaga Nahdlatut Tujjar (kebangkitan pedagang), Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) dan Tashwirul Afkar (gerakan kaum pemikir). Bahkan di awal pergerakannya, hingga tahun 1960-an, kaum santri sebagai basis utama NU, masih menguasai sektor perdagangan,” papar Mohammad Ghozali, Ketua Umum Hipsi, Minggu (15/9).
Ghozali dan kawan-kawan berpendapat, semangat kewirausahaan di kalangan pesantren harus kembali dibangkitkan, setelah meredup akibat represi orde baru, dan kapitalisme global. Pesan Kiai Hasyim Asy’ari yang mendorong kaum muda untuk membentuk lembaga ekonomi yang independen, pada tahun 1918 lalu harus diimplementasikan.
Dengan jargon “saatnya santri bersatu membangun negeri,” mereka mencoba meretas kembali semangan wira usaha yang didengungkan para ulama, melalui Hipsi yang dibentuk sejak tahun 2002 lalu, Ghozali dan kawan-kawan telah membina ratusan santri di seratus pesantren, di seantero jawa dan sumatera.
“Visi kami adalah mencetak satu juta santri pengusaha, dan melahirkan pengusaha besar nasional dari pesantren,” tandasnya.
Meski belum diakui secara resmi oleh NU, Hipsi, kata Ghozali telah membulatkan tekad untuk menumbuhkan klaster pengusaha kecil dan menengah yang memiliki nilai tambah, bersinergi dan bermartabat.
“23 ribu pondok pesantren yang tergabung dalam RMI merupakan potensi besar yang bias dikembangkan untuk melahirkan jutaan pengusaha local dari kalangan pesantren,” ujarnya.
Perlunya membina kewirausahaan para santri, menurut Ghozali dilakukan untuk menjawab tantangan dunia global yang kini tak hanya mensyaratkan ijazah dan penguasaan teori keagamaan di tengah kehidupan yang materialistik.
“ Kami telah mengadakan workshop di ratusan pesantren berdasarkan cluster potensi ekonomi yang kita survey. Kami juga mengadakan pelatihan keterampilan web desain untuk mempermudah para pengusaha santri dalam mempromosikan produknya,” papar Ghizali.
Tak hanya itu, pada bulan Juli lalu, Hipsi menghelat entrepreneur camp, untuk menyatukan visi para santri yang terjun di dunia usaha, agar mau membantu sesame dan mempertajam ideology kepesantrenan, serta memperluas jaringan usaha mereka.
“Kami mengedepankan kejujuran, keadilan, profesionalitas, kerja cerdas, serta menjunjung tinggi norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hokum,” ujarnya.
Upaya kaum muda pesantren itu mendapat sambutan dari para kiai pengasuh pesantren di Kempek, Cirebon. Kiai Ahmad Ade Idris, pengasuh Pondok Pesantren Alidrisiyah mengungkapkan, NU perlu generasi muda kreatif, untuk mengimplementasikan sejumla misi social NU.
“yang terpenting dari NU saat ini adalah manajerial, kedisiplinan dan komitmen para pengurusnya. Agar umat tak lagi sekedar dijadikan obyek politis, tetapi dijadikan mitra untuk bangkit bersama,” ujarnya

posting: Malik Mugni
repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?