Dari Pesantren untuk Indonesia


Sejumlah mesin pengatur suhu menyejukkan gelanggang olahraga di kompleks Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, Senin (17/9) siang lalu. Duduk di kursi berderet-deret di tengah ruangan, ratusan alim ulama tengah menyimak sidang Pleno Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama 2012.

Di panggung, Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Malik Madani menjelaskan hasil rumusan Komisi Masail al-Maudhu’iyah (membahas persoalan-persoalan tematis). ”NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan hasil kesepakatan bangsa dan Pancasila sebagai dasar negara,” katanya.

Meskipun Indonesia bukan negara Islam, menurut dia, hal tersebut sah menurut pandangan Islam. Pancasila, meski bukan syariat agama, selaras dan tidak bertentangan dengan Islam. ”Segenap elemen bangsa wajib mempertahankan dan membela kedaulatan negara,” kata Malik.

Malik meneruskan semua hasil rumusan komisinya yang mencakup konsep negara, Pancasila, pemilihan umum kepala daerah, teologi pajak, dan kriteria ketaatan kepada pemerintah (ulil amri).

Pimpinan sidang pleno, Sekretaris Jenderal PBNU Marsudi Syuhud, kemudian membuka dialog. Setelah beberapa komentar masuk, peserta sidang memberikan persetujuan. ”Hasil komisi ini telah disepakati. Al Fatihah…,” kata Marsudi.

Selain Komisi Masail al-Maudhu’iyah, Munas NU juga memiliki Komisi Masail al-Qanuniyah (perundang-undangan) dan Masail al-Waqi’iyah (persoalan aktual). Pleno memutuskan, ada sejumlah undang-undang yang direvisi karena mengandung pasal-pasal yang menyimpang dari spirit UUD 1945. Sebut saja antara lain UU Migas, UU Mineral dan Batubara, UU Sumber Daya Air, RUU Pangan, dan UU Sistem Pendidikan Tinggi.

Terkait persoalan aktual, sidang mendukung hukuman mati bagi koruptor yang membangkrutkan negara atau dilakukan berulang-ulang. Politik uang diharamkan karena merusak moral masyarakat. Dibahas juga soal kekayaan negara, kesejahteraan rakyat, dan dana talangan haji.

Dinamis

Sebelum pengesahan akhir di pleno, sidang komisi-komisi yang berlangsung lebih dinamis. Sidang Komisi Masail Al Waqi’iyyah, misalnya, cukup seru saat mengkaji hukuman mati bagi koruptor. Kepada peserta sidang, Ketua Komisi Saifuddin Amsir menyampaikan wacana itu mengingat bangsa kian runyam akibat korupsi.

Perwakilan dari Sumatera Selatan menghendaki hukuman mati perlu dengan syarat perbuatan tersebut telah berkali-kali dilakukan dan tidak bisa ditawar. Perwakilan dari Jawa Barat berkeberatan karena khawatir bisa jadi keterlibatan seseorang dalam korupsi itu hasil jebakan.

Saifuddin berpendapat, hukuman mati dijatuhkan lewat pertimbangan panjang dari pengadilan. ”Koruptor dihukum mati jika sudah berkali-kali melakukan korupsi, pernah dihukum, dan tidak juga jera,” katanya.

Sidang komisi-komisi lain juga berlangsung ketat. Meski panitia telah menerbitkan buku draf materi yang cukup lengkap, ternyata beberapa isinya bisa berubah sesuai aspirasi peserta. Itu terjadi karena alim ulama di lingkungan NU memang cukup beragam.

Menurut Ketua Komisi Rekomendasi Maduki Baidlowi, materi Munas telah disiapkan enam bulan sebelumnya. Selain diskusi di lingkungan tim perumus, panitia juga menghadirkan sejumlah narasumber ahli demi memperkaya atau mempertajam perspektif. Terlibat juga sejumlah kaum muda NU yang aktif mengikuti berbagai perkembangan aktual di Tanah Air dan mancanegara.

”NU memang punya tradisi berbeda pendapat. Apalagi, alim ulama peserta sidang cukup 
beragam. Ada yang ahli fiqh (hukum), mendalami masalah sosial, akademisi kampus, dan sebagian juga berpengalaman politik praktis,” katanya.

Sumbangan

Pergulatan gagasan seperti di Munas itu melatarbelakangi berbagai keputusan, sebagian kontroversial, dari NU untuk bangsa Indonesia. Ketua PBNU KH Said Aqil Siroj mengungkapkan, sebagian besar munas atau muktamar dari organisasi yang didirikan tahun 1926 itu digelar di pesantren pelosok kampung. Namun, hasilnya kerap mengejutkan dan memberikan sumbangan besar bagi kemajuan bangsa.

Pada muktamar di Situbondo, Jawa Timur, tahun 1984, misalnya, NU menetapkan Pancasila dan NKRI sebagai harga mati. Munas di Cilacap, Jawa Tengah, tahun 1986, mengeluarkan rekomendasi tentang pembangunan nasional dan konsep ijtihad yang mampu menggerakkan dunia pemikiran Islam.

Pada munas tahun 1987 di Bagu, desa terpencil di Nusa Tenggara Barat, NU mengeluarkan keputusan diperbolehkannya perempuan menjadi presiden, yang saat itu dianggap masih sangat kontroversial.

Semua hasil Munas tersebut dituangkan dalam bentuk rekomendasi, dan akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah. Salah satunya kemudian dijadikan acuan untuk melakukan judicial review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi, yaitu tentang kewajiban pemerintah daerah untuk membantu lembaga pendidikan swasta dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebelumnya, pemda hanya membantu pendidikan negeri.

”Rekomendasi itu ada yang diterima, ada yang tidak. Tetapi, itulah sumbangan NU untuk bangsa Indonesia,” kata Said Aqil Siroj.

Guru Besar Studi Islam dari Monash University, Australia, Greg Barton, menilai, NU harus selalu membuat dirinya terus relevan bagi bangsa Indonesia. Bagaimanapun, organisasi yang memiliki massa Islam terbesar di Indonesia itu menjadi bagian penting dalam sejarah kemerdekaan, dan dibutuhkan untuk mengawal perjalanan bangsa ini ke depan.

”NU perlu terus ikut memecahkan masalah-masalah bangsa Indonesia. Jangan sampai merosot,” katanya.

(Ilham Khoiri/ Elok Dyah Messwati/Rini Kustiasih)



posting: cetak.kompas.com
repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP.RMI.NU)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?