RMI-NU Gelar Halaqah Penguatan Karakter Kebangsaan se-Sumatera Selatan


Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, Pesantren diyakini masih menjadi tempat memupuk dan menjadi teladan bagi pola penerapan pendidikan berkarakter. Pembangunan akhlak yang menjadi ciri pendidikan karakter menjadi perhatian besar bagi pesantren seperti kejujuran, kesederhanaan, kebersamaan dan kepedulian terhadap sesama dalam seluruh proses kegiatan belajar mengajarnya
Hal tersebut mengemuka dalam Pembukaan Halaqah Penguatan Karakter Kebangsaan di Kalangan Pemuda Melalui Pesantren yang diselenggarakan Rabithah Maa’hid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RM-NU) bekerjasama dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Sumatera Selatan dan Kementrian Pemuda dan Olahraga (KEMENPORA) di Pondok Pesantren Sabilul Hasanah, Banyuasin, Sumatera Selatan (22/12/2011).
Acara Pembukaan yang dihadiri oleh para peserta halaqah, pengurus pesantren, guru madrasah dan seluruh santri pondok pesantren tersebut juga meghadirkan K.H. Muhammad Mudarris, Rois Syuriah Pengurus Wilayah NU Sumatera Selatan sekaligus Pengasuh Pesantren Sabilul Hasanah, Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama Sumatera Selatan Dr. H. Najib Haitami M.M, Sekretaris RMI-NU  H. Miftah Faqih M.A, Wakil Bupati Banyuasin, Pembantu Rektor IAIN Raden Patah dan Kapolres Banyuasin.
Mewakili PWNU Sumatera Selatan sekaligus tuan rumah, K.H. Muhammad Mudarris mengatakan keberadaan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam di Indonesia telah banyak berperan dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat.
“Sejarah perkembangan pondok pesantren menunjukan bahwa lembaga ini tetap eksis dan konsisten menunaikan fungsinya sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam sehingga melahirkan kader ulama, guru agama, dan mubaligh yang dibutuhkan masyarakat. Pesanttren sejak awal juga telah memberikan nilai-nilai kebangsaan dan pembiasaan karakter dengan cara mengenali, memilih, menyukai dan melakukan yang terbaik dalam proses pendidikan” katanya.
Sementara itu, Kepala Kantor Kementrian Agama Sumatera Selatan Dr. H. Najib Haitami M.M mengatakan, di Sumatera Selatan terdapat dua macam karakteristik pesantren yaitu pesantren dengan akar tradisi Sumatera dan pesantren dengan akar tradisi Jawa. Pesantren dengan tradisi Sumatera dimiliki oleh Pesantren Seribandung dipimpin oleh Kyai Birokrat, berorientasi pada intelektualisasi santri, menerapkan integrated curriculum system, merepakkan metode pembelajaran marakmuzakarah, mutala’ah, muhadarah dan pendekatan tematik kontekstual dalam mengkaji kitab kuning, serta memberikan ijasah literal.
Sementara pesantren dengan akar budaya Jawa dimiliki oleh Pesantren Sriwangi memiliki karakteristik berorientasi pada satrinisasi masyarakat, menerapkan disintegrated curriculum system, menggunakan metode pembelajaran sorogan, belahan, lar-laran, syawir, khitabah dan pendekatan literal – tekstual dalam negkaji kitab kuning dan memberikan ijasah oral dan literal.
Najib Haitami menegaskan bahwa Pesantren memiliki kontribusi besar dalam keikutsertaannya mencerdaskan anak bangsa. Peran tersebut semakin dirasakan ketika pesantren salafiyah juga ikut ambil bagian dalam program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang menjadi program negara. “Beberapa pondok pesantren telah mulai mengadopsi sistem pendidikan madrasah dengan sistem klasikal dan menggunakan kurikulum yang baku, disamping pesantren yang tetap fokus pada pelajaran agama semata dengan metode wetonan, sorogan dan bandongannya” katanya.
Sementara itu, Sekretaris RMI-NU H. Miftah Faqih mengatakan, pesantren sejak kelahirannya hingga sekarang memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap diri baik melewati pendidikan maupun perjuangan kebangsaannya. Pesantren terbukti telah mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mengantar negara ini menuju kemerdekaannya. Banyak sekali dalil-dalil dan tafsir keagamaan pesantren sengaja diajarkan untuk menumbuhkan kesadaran kebangsaan.
Oleh karena itu, untuk mempertahkankan pesantren tetap sebagai lembaga pendidikan yang berkarakter dan mengawal kebangsaan, Kyai Miftah mengatakan,  kalangan dunia pesantren dituntut untuk terus mengembangkan diri, wawasan, informasi, dan kemampuan untuk terus mempertahankan tradisi dari dalam dan menyaring pengaruh dari luar.
“Mana hal-hal yang bisa diterima dan mana saja yang tidak” tegasnya.
Dalam upaya itu, Kyai Miftah menyarankan, pesantren bisa melakukannya melalui penguatan tiga aspek yaitu, Pertama, aspek keilmuan diaman pesantren sebagai tempat tafaquh fi addin untuk menempa pribadi muslim dengan mempelajari keilmuan-keilmuan agama secara mendalam. Kedua, kelembagaan pesantren untuk dapat bersinergi dengan perubahan zaman dengan segala tuntutannya, pesantren harus mampu menguatkan kelembagaannya, manajemen kepesantrenan diupayakan ke arah professional. Dan Ketiga, pengabdian ke masyarakat dimana pesantren dari selalu berjalan seiring dengan kondisi kemasyarakatan yang ada.
Halaqah yang diadakan selama tiga hari ini menghadirkan para pembicara nasional dan lokal diantaranya yaitu Imam Gunawan dari KEMENPORA dengan tema Pemuda, problem kebhinnekaan dan krisis kebangsaan , Ketua RMI-NU Amin Haedari dengan tema Peran Pesantren dalam penguatan kesadaran kebangsaan, K.H. Mal’An Abdullah dengan tema Kebhinekaan dan Kebangsaan dalam perspektif ASWAJA, Dr. Amin Suyitno dengan tema Kiprah pemuda dalam sejarah kebangsan dan kebhinekaan, H. Rasyidin dengan tema Peta Radikalisme di Indonesia, Kasus Sumatera Selatan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat