Pidato KH. Said Aqil Siroj pada Harlah NU ke-85: Tausiyah untuk Bangsa
Dibacakan oleh KH Said Aqil Siroj dalam peringatan
Harlah ke-85 NU
Sabtu, 18 Juni 2011 di Gedung PBNU
بسم الله
الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, hingga saat ini kita diberi
kesehatan jasmani dan rohani serta kesehataan akal dan pemikiran. Hari ini, 16
Rajab 1432 H, bertepatan dengan 18 Juni 2011, adalah Hari Lahir Nahdlatul
Ulama. Dalam perhitungan Hijriyah kali ini merupakan peringatan yang
ke-88 karena NU lahir pada 16 Rajab tahun 1344 H atau dalam perhitungan
Miladiyah adalah yang ke-85, karena NU lahir bertepatan dengan 31 Januari 1926 M
. Dalam waktu kurang lebih 1tahun lagi NU akan sampai di usia seabad.
Sejak awal kelahirannya NU tak pernah lepas dari
perkembangan kesadaran nasional dan kebangsaan. Mengacu pada perjalanan sejarah
tersebut NU mempunyai keyakinan bahwa di dalam membangun masyarakat Islam tidak
mengharuskan menempuh jalan politik kekuasan, melainkan lebih mengedepankan
perjuangan kultural. Sejak awal, tujuan perjuangan NU adalah melaksanakan
syari’ah Islam di tingkat masyarakat, dan bukan Islamisasi negara.
Logika ini pun pernah dipakai KH Abdul Wahid Hasyim,
salah satu dari panitia sembilan, yang tidak ragu mengambil keputusan untuk
menghapus “Tujuh Kata” (“Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi
pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta. Hingga sekarang pun NU masih tetap
menggunakan strategi ini di dalam merumuskan hubungan antara Islam dan negara
di dalam memperkokoh NKRI. Bagi NU penghapusan tujuh kata tersebut bukanlah
kekalahan umat Islam dalam berpolitik, melainkan merupakan bentuk kesadaran
perjuangan bahwa Indonesia haruslah menjadi rumah yang nyaman bagi
siapapun,tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan budaya.
Dalam kesempatan ini NU ingin menyampaikan hasil
renungan keprihatinan sekaligus saran-saran untuk mengatasi masalah-masalah
yang dirasakan strategis dan mendasar yang dihadapi bangsa dan negara ini.
Kemerosotan Moralitas
Keprihatinan pertama berkaitan dengan kemerosotan
moral. Kita mencatat belakangan ini makin intensif terjadinya proses kemerosotan
moralitas sehingga masyarakat dapat dikategorikan: sudah dilanda sebuah bencana
moral yang serius. Bencana ini ditandai dengan maraknya pornografi, perilaku
korup dan manipulatif serta pelanggaran berbagai nilai-nilai dan norma agama,
adat-istiadat, nilai-nilai budaya serta etika kemanusiaan. Betapa makin banyak
orang yang dengan bebasnya membuka aib dan rahasia pribadi serta
menyebarluaskan fitnah secara tidak bertanggung jawab.
Semua ini menjadi bahan pergunjingan yang
kontraproduktif di tengah masyarakat. Hal ini menandakan telah mengendornya
kontrol sosial, dan semakin permisifnya masyarakat terhadap berbagai
penyimpangan sosial. Pudarnya ikatan keluarga telah mengakibatkan semakin
merenggangnya ikatan sosial, sementara merenggangnya ikatan sosial telah
semakin memperlemah kontrol sosial, sehingga dengan demikian berbagai
pelanggaran tata nilai dan norma-norma sosial sulit diatasi.
Memudarkan ikatan sosial menjadi lahan subur bagi
tumbuhnya individualisme, lebih-lebih karena di tengah masyarakat berkembang
dengan subur paham liberalisme. Berkaitan dengan krisis moral ini, NU mengajak
semua elemen bangsa untuk memperkuat tiga hal dasar. Pertama, memperkuat
kembali tatanan keluarga dengan mengacu pada ajaran-ajaran agama. Kedua,
menumbuhkan kembali nilai-nilai kebersamaan dan kegotong-royongan. Ketiga,
merevitalisasi sistem sosial yang lebih berorientasi kolektivisme sebagaimana
yang secara filosofis diletakkan oleh para pendiri bangsa dan negara Indonesia.
Krisis Kebangsaan
Di tengah persaingan antar negara yang semakin ketat
akibat globalisasi, muncul imperialisme ekonomi sebagai bentuk ancaman paling
nyata yang mengikis nilai-nilai kebangsaan. Nasionalisme bagi bangsa ini tetap
penting, bahkan makin penting, karena seharusnya menjadi pijakan untuk merumuskan
kepentingan nasional. Secara retorika kebangsaan ini tetap menggema dari waktu
ke waktu, namun hanya sebatas pembicaraan, dan tidak dihayati maknanya serta
tidak tampak pada perilakunya. Oleh karena itu tidak aneh jika ada orang yang
lantang berbicara nasionalisme namun perilaku dan tindakannya menghancurkan
bangsa.
Dalam kaitan itu NU mengajak semua elemen bangsa untuk
memperkokoh kembali identitas dan komitmen kebangsaan dalam rangka mengatasi
imperialisme ekonomi dan kebudayaan sebagai dampak negatif globalisasi.
Demokrasi
Demokrasi merupakan pilihan paling logis sebagai sistem politik untuk mengelola kepentingan bersama dalam negara berbentuk Republik seperti Negara Indonesia. Dengan demokrasi, aspirasi dan kepentingan yang beragam dapat diperdebatkan dan diolah menjadi kebijakan negara. Namun, demokrasi yang dibangun dalam sepuluh tahun terakhir sangat mengecewakan masyarakat. Kebebasan yang tanpa batas, tidak menyejahterakan rakyat, melahirkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang korup. Kebebasan yang dirasakan tanpa batas, tidak menyejahterakan rakyat, menyuburkan politik uang, menghasilkan pemimpin yang tidak amanah, semua itu merupakan hasil dari sistem demokrasi yang semata-mata menekankan prosedur dan tidak berorientasi pada pengembangan nilai-nilai luhur serta tidak mengedepankan kepentingan rakyat.
Bagi NU, demokrasi adalah alat untuk menyejahterakan
rakyat, bukan tujuan, demokrasi bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Demokrasi
bukan sekadar prosedur tetapi demokrasi adalah nilai-nilai. Karena itu
pelaksanaan demokrasi harus dibatasi oleh moral, hukum, kesepakatan pendiri
bangsa dan disangga oleh budaya bangsa. NU mengajak elemen bangsa untuk
mengevaluasi demokrasi yang sedang berlangsung dengan prinsip: Pertama,
demokrasi haruslah mampu menjaga keutuhan bangsa. Kedua, mampu menciptakan
keadilan, dan memberikan kesejahteraan pada rakyat. Ketiga, demokrasi mampu
menjaga kebersamaan dalam kebhinekaan. Keempat, demokrasi memperhatikan prinsip
permusyawaratan/perwakilan yang mencerminkan keragaman bangsa, dan tidak
semata-mata berdasarkan mekanisme pemilihan. Kelima, harus mampu menjamin
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pendidikan
Terkait dengan masalah mendasar di bidang pendidikan
kita seyogyanya jangan sekali-kali meninggalkan konstitusi. Dalam Pembukaan UUD
1945 ditegaskan bahwa salah satu tujuan terpenting membentuk Pemerintahan
Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalimat
“mencerdaskan kehidupan bangsa” ini kemudian dielaborasi pada pasal 31 UUD 1945
yang berisi tentang hak-hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang
bermutu, serta kewajiban negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya.
PBNU merasa berkepentingan mengemukakan substansi
masalah pendidikan dalam UUD 1945 karena ingin mengingatkan semua pihak,
terutama penyelenggara negara di bidang pendidikan, bahwa penyelenggaraan
pendidikan adalah ranah publik yang merupakan tanggungjawab negara, bukan ranah
privat seperti barang dan atau jasa yang diperjualbelikan. Bila pendidikan
sudah dipersamakan dengan barang dan jasa yang diperjualbelikan, maka yang
berlaku adalah hukum pasar: siapa yang punya uang akan memperoleh pendidikan
bermutu, sementara rakyat yang tak punya uang tak akan memperoleh pendidikan
bermutu.
Fenomena seperti ini sekarang sudah sangat menggejala, baik di lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negeri) maupun lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta). Adanya tekanan dari WTO (organisasi Perdagangan Dunia) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sejenis jasa atau barang dagangan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ini telah menambah runyamnya soal pendidikan nasional. Perkembangan ini amat memprihatinkan karena makin menjauhkan kita, terutama penyelenggara negara yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, dari rel konstitusi serta semakin jauh dari cita-cita para pendiri republik ini mengenai pendidikan. Oleh karena itu, PBNU mengajak semua pihak untuk terus berjuang agar penyelenggaraan pendidikan nasional dikembalikan ke rel semula sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita.
Ekonomi
Fenomena seperti ini sekarang sudah sangat menggejala, baik di lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan pemerintah (negeri) maupun lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (swasta). Adanya tekanan dari WTO (organisasi Perdagangan Dunia) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah sejenis jasa atau barang dagangan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia ini telah menambah runyamnya soal pendidikan nasional. Perkembangan ini amat memprihatinkan karena makin menjauhkan kita, terutama penyelenggara negara yang bertanggungjawab di bidang pendidikan, dari rel konstitusi serta semakin jauh dari cita-cita para pendiri republik ini mengenai pendidikan. Oleh karena itu, PBNU mengajak semua pihak untuk terus berjuang agar penyelenggaraan pendidikan nasional dikembalikan ke rel semula sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita.
Ekonomi
NU melihat bahwa kebijakan ekonomi negara dalam dekade
terakhir ini cenderung berorientasi pasar bebas atau yang biasa disebut
fundamentalisme pasar. Di berbagai negara berkembang, kebijakan ekonomi semacam
itu tidak pernah berhasil menyejahterakan masyarakat. Kebijakan ekonomi seperti
ini adalah kebijakan yang bersifat ekstrem yang selalu mengundang reaksi yang
ekstrem pula. Jika keadaan ini terus dipertahankan akan menyuburkan paham-paham
ekstrem atau radikal, termasuk radikalisme agama.
Dalam sistem ekonomi pasar yang tak terkendali seperti
ini, hanya menguntungkan pelaku ekonomi besar atau konglomerat, dan
meminggirkan pelaku ekonomi kecil. Kebijakan semacam ini hanya akan membesarkan
yang besar, sementara yang kecil semakin tersisihkan. Oleh sebab itu, NU
memandang perlu untuk mengingatkan bahaya kebijakan semacam itu. Hendaknya
kebijakan ekonomi negara dikembalikan pada amanat pasal 33 UUD 1945 tentang
ekonomi berkeadilan. Dalam sistem tersebut peran negara amatlah penting untuk
menciptakan keseimbangan antara pemberian kesempatan terhadap yang besar dan
pemihakan terhadap yang kecil. Untuk memainkan peran itu negara harus serius
dan tegas.
Kedaulatan Negara
Masalah kedaulatan negara merupakan persoalan
strategis yang perlu memperoleh perhatian. Sejauhmana kita sebagai bangsa
merdeka dapat menggunakan kedaulatan secara penuh dalam menentukan kebijakan
tanpa disubordinasikan oleh kepentingan negara lain. Hubungan dengan negara lain,
tidak boleh menghilangkan kemandirian kita.
Kita tidak boleh menukar kedaulatan negara dengan
bantuan yang diberikan negara lain, perusahaan multinasional dan lembaga
multilateral. Kebutuhan terhadap utang luar negeri, seharusnya tidak membuat
kita tunduk dan kehilangan kemandirian di hadapan negara dan lembaga donor
internasional. Sejarah mencatat negara kita berkali-kali tidak berdaya
menghadapi intervensi politik asing, pemimpin negara yang mencoba menjalankan
kedaulatan negara secara mandiri harus menghadapi berbagai gangguan
pemberontakan sampai pada tingkat penggulingan.
Pengaruh kepentingan asing di negeri ini merupakan hal
yang nyata terutama dalam rangka merebut kesempatan untuk mengelola kekayaan
alam Indonesia yang melimpah.
Masalah kedaulatan menjadi keprihatinan NU. Rakyat merasakan betapa besar pengaruh asing ini melalui kebijakan negara sepanjang kekuasaan negeri ini. Menyusutnya kedaulatan negara ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Itulah sebabnya di negari ini tidak ada kedaulatan pangan dan begitu dominannya penguasaan asing atas sumber daya alam kita.
Negeri ini tampak menjadi begitu penurut terhadap aturan lembaga multilateral seperti WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), IMF (Dana Moneter Internasional), dan lain-lain yang merugikan hampir seluruh sektor ekonomi, terutama di sektor pertanian yang tidak memperoleh perlindungan yang cukup sebagaimana dilakukan di negara-negara maju. Kuatnya pengaruh neo-liberalisme, yang mengharuskan pengurangan peran negara dan anggaran untuk kesejahteraan rakyat, semakin memprihatinkan NU karena sudah sangat melemahkan kedaulatan negara untuk menjalankan kewajibannya menciptakan kesejahteraan rakyat. Sekali lagi NU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan negara kita.
Masalah kedaulatan menjadi keprihatinan NU. Rakyat merasakan betapa besar pengaruh asing ini melalui kebijakan negara sepanjang kekuasaan negeri ini. Menyusutnya kedaulatan negara ini terlihat dari berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Itulah sebabnya di negari ini tidak ada kedaulatan pangan dan begitu dominannya penguasaan asing atas sumber daya alam kita.
Negeri ini tampak menjadi begitu penurut terhadap aturan lembaga multilateral seperti WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), IMF (Dana Moneter Internasional), dan lain-lain yang merugikan hampir seluruh sektor ekonomi, terutama di sektor pertanian yang tidak memperoleh perlindungan yang cukup sebagaimana dilakukan di negara-negara maju. Kuatnya pengaruh neo-liberalisme, yang mengharuskan pengurangan peran negara dan anggaran untuk kesejahteraan rakyat, semakin memprihatinkan NU karena sudah sangat melemahkan kedaulatan negara untuk menjalankan kewajibannya menciptakan kesejahteraan rakyat. Sekali lagi NU mengajak seluruh elemen bangsa untuk menegakkan kembali kedaulatan negara kita.
Korupsi
Dalam waktu kurang lebih sepuluh tahun terakhir,
korupsi di negeri ini begitu menyebar. Tidak hanya terjadi di pusat, tetapi
juga di seluruh daerah tanpa kecuali, dengan skala yang makin besar. Tindakan
negatif ini juga tidak hanya dilakukan oleh aparat negara atau pengusaha tetapi
sudah dilakukan aparat penegak hukum dan politisi.
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum dan
politisi menjadi ukuran paling tinggi, betapa parahnya tingkat korupsi di
negeri ini. NU merasa prihatin karena merasuknya korupsi di kalangan penegak
hukum dan politisi membuat penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi
menjadi mandul dan pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara akan semakin
lemah. Makin memprihatinkan karena disinyalir bahwa masyarakat pun sudah sangat
permisif, kurang peduli, terhadap persoalan korupsi. Parahnya tingkat korupsi
ini dengan sendirinya akan makin menggerogoti moral bangsa dan
mempercepat pengeroposan pilar-pilar NKRI, yang ujungnya akan menghancurkan
bangsa dan negara ini.
NU berkewajiban mengajak semua elemen bangsa untuk tergerak dan pro-aktif sesuai kedudukan, kompetensi dan kemampuan masing-masing untuk ikut dalam gerakan pemberantasan korupsi yang membahayakan kelangsungan negara ini. Sejarah menunjukkan banyak negara besar di dunia seperti Kekaisaran Romawi, Babilonia, dan lain-lain, kemudian hancur, antara lain, karena tidak mampu mengatasi wabah korupsi. Masih membekas dalam ingatan kita, bahwa imperium Uni Sovyet pun hancur, dan bertahan hanya dalam kurun waktu 70 tahun, antara lain, karena gagal memberantas wabah korupsi yang merasuk tokoh-tokoh pemerintahan dan birokrasi negara.
NU berkewajiban mengajak semua elemen bangsa untuk tergerak dan pro-aktif sesuai kedudukan, kompetensi dan kemampuan masing-masing untuk ikut dalam gerakan pemberantasan korupsi yang membahayakan kelangsungan negara ini. Sejarah menunjukkan banyak negara besar di dunia seperti Kekaisaran Romawi, Babilonia, dan lain-lain, kemudian hancur, antara lain, karena tidak mampu mengatasi wabah korupsi. Masih membekas dalam ingatan kita, bahwa imperium Uni Sovyet pun hancur, dan bertahan hanya dalam kurun waktu 70 tahun, antara lain, karena gagal memberantas wabah korupsi yang merasuk tokoh-tokoh pemerintahan dan birokrasi negara.
Kepemimpinan
Masalah kepemimpinan di negara yang selalu dalam proses mencari bentuk baik dari segi nation building maupun state building menjadi sangat penting dan menentukan. Indonesia pernah melahirkan figur-figur pemimpin yang kuat dan berkarakter baik pemimpin yang membangun solidaritas maupun pemimpin yang bersifat teknokratis. Namun, dalam satu dan dua dekade terakhir ini kita selalu dihadapkan pada kesulitan dalam menentukan figur pemimpin yang dianggap layak pada saat menghadapi pergantian kepemimpinan di semua level
Masalah kepemimpinan di negara yang selalu dalam proses mencari bentuk baik dari segi nation building maupun state building menjadi sangat penting dan menentukan. Indonesia pernah melahirkan figur-figur pemimpin yang kuat dan berkarakter baik pemimpin yang membangun solidaritas maupun pemimpin yang bersifat teknokratis. Namun, dalam satu dan dua dekade terakhir ini kita selalu dihadapkan pada kesulitan dalam menentukan figur pemimpin yang dianggap layak pada saat menghadapi pergantian kepemimpinan di semua level
NU mengajak semua kekuatan sosial dan politik untuk
memikirkan sistem rekrutmen dan penggemblengan calon-calon pemimpin nasional.
Ada dua ironi yang dihadapi oleh bangsa ini, Pertama, organisasi-organisasi
sosial politik mandul dalam menjalankan fungsi rekrutmen dan kaderisasi
kepemimpinan yang efektif. Kedua, sebagai bangsa besar tidak cukup hanya
memiliki lembaga-lembaga atau institusi yang diberi fungsi mengembangkan
kepemimpinan nasional seperti Lemhanas, lembaga di lingkungan TNI, Polri dan
PNS. Kita memerlukan sebuah sistem nasional untuk rekrutmen dan kaderisasi
kepemimpinan nasional yang inklusif sekaligus tidak diskriminatif.
Sebagai negara dengan wilayah yang sangat luas dan
berpenduduk yang besar dengan latar belakang budaya yang sangat beregam,
Indonesia perlu membangun budaya kepemimpinan yang berorientasi pada terbuka
dan demokratis. membangun kultur kepemimpinan yang bertanggungjawab, amanah dan
mengedepankan kepentingan bersama.
Sebagai sebuah bangsa yang besar Indonesia
membutuhkan kepemimpinan yang efektif di berbagai level organisasi politik
maupun sosial kemasyarakatan. Kepemimpinan yang efektif dan terpercaya akan
mampu menggerakan segenap dinamika sosial di tengah masyarakat menuju
masyarakat yang modern, terbuka dan demokratis. NU berpandangan bahwa saat ini
terjadi krisis kepemimpinan di berbagai level kehidupan sosial pilitik kemasyarakatan
sehingga kelompok-kelompok masyarakat sering bergerak tanpa arah, mengedepankan
kekerasan dalam penyelesaian konflik dan lemahnya solidaritas sosial antar
kelompok. Jalan untuk memperbaiki semua itu adalah dengan membangun
kesadaran melakukan kaderisasi, membangun kultur kepemimpinan yang
bertanggungjawab, amanah dan mengedepankan kepentingan bersama.
Komentar
Posting Komentar