Denyut Pesantren di Pulau Dewata
RMI-NU--Letak Dusun Banjar Kembang, Desa Cupel, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana, belasan meter saja dari bibir Selat Bali. Angin pantainya tak putus menerpa penduduknya yang kental akan kultur Melayu. Suasananya demikian sejuk, seteduh iklim pendidikan Pondok Pesantren Miftahul Hikmah di ujung barat Pulau Dewata itu.
Pesantren asuhan Mustasyar PCNU Jembrana KH Muhammad Yasin ini menjadi salah satu lambang bagi keharmonisan dan pertumbuhan Islam di provinsi berpenganut Hindu mayoritas. Pergumulan dengan masyarakat non-muslim bukan halangan untuk tetap eksis dan mengembangkan diri.
Datuk Yasin, sapaan akrab KH Muhammad Yasin, merintis Pesantren Miftahul Hikmah sejak tahun 1958. Kerja keras, komitmen, dan ketulusan membuat dirinya berhasil membangun di atas lahan wakaf seluas kurang lebih 600 meter persegi di Jalan Pantai Selatan No 4, Desa Cupel. Tak ada klaim, jerih payah itu dilakukan sendirian. Kerendahan hatinya berucap, ini berkat kerja sama dari masyarakat sekitar pesantren.
“Selamat datang di rumah sendiri. Masyarakat adalah keluarga besar pesantren, bukan undangan, tapi menjadi tamu di rumahnya sendiri,” tuturnya menyambut ratusan pengunjung pada peringatan Hari Jadi ke-54 dan Haflah Imtihan Pesantren Miftahul Hikmah beberapa waktu lalu.
Apresiasi masyarakat tergolong tinggi. Buktinya, mereka aktif dalam sejumlah kegiatan pesantren, termasuk menyantrikan putra-putri mereka ke pesantren. Maklum, Jembrana merupakan daerah dengan populasi muslim yang cukup banyak. Di banding kabupaten lain, gema azan lebih kerap terdengar di sini. Tak ketinggalan, tradisi tahlil, slametan, dan ziarah kubur juga mewarnai keseharian masyarakat.
Kiai berusia 79 tahun ini menyadari, pesantrennya—sebagaimana umumnya di Bali—memang tidak seperti pesantren-pesantren di Jawa. Ia merasakan perbedaan tantangan dengan sejumlah pesantren yang pernah ia singahi bertahun-tahun, antara lain di daerah Banyuwangi, Jombang, dan Semarang.
Data terakhir menyebutkan, jumlah santri mencapai 240 anak. Dari total tersebut, 124 adalah santri TPQ sedangkan sisanya merupakan santri Madrasah Diniyah (Ula dan Wustho). Di tambah jamaah pengajian kitab kuning di Masjid Baitus Salam samping Pesantren, jumlahnya kira-kira 600 orang. Hanya beberapa santri saja yang bersedia tinggal di gotakan pesantren.
“Karena mereka tidak tinggal di sini, maka kontrol pendidikannya menjadi sulit. Dengan demikian pesantren membutuhkan peran banyak dari orang tua wali,” ujarnya. Mayoritas santri berasal dari daerah setempat, sementara pengajar sebagian masih tergantung pada tenaga Guru Tugas yang dikirim oleh sejumlah pesantren, seperti Pondok Pesantren Sidogiri.
Meski punya sejumlah keterbatasan, Datuk Yasin mengaku puas dapat mengabdi kepada masyarakat melalui pendidikan. Di tengah kesibukannya sebagai pengurus NU dan MUI Jembrana, ia istiqomah meluangkan waktu untuk mengajar secara langsung.
“Pesantren ini tujuannya menciptakan bibit unggul yang dapat dikembangkan lagi di luar secara maksimal. Di daerah ini susah mendapatkan pendidikan ala pesantren,” terang kiai yang sejak 1964 aktif di berbagai organisasi NU ini.
Redaktur: A. Khoirul Anam
Penulis : Mahbib Khoiron
Sumber: NU Online
Repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)
Komentar
Posting Komentar