Menyegarkan Visi Negara “Semua Buat Semua”

Mengenang Pidato Soekarno 1 Juni 1945: Menyegarkan Visi Negara “Semua Buat Semua”
Enam puluh enam tahun yang lalu, tepatnya 1 Juni 1945, Soekarno berpidato dengan berapi-api di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
 “Kita hendak mendirikan suatu Negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua. Kebangsaan Indonesia yang bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo (Kalimantan), Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.”
Agus Muhammad
Kebangsaan yang diusulkan Soekarno bukan kebangsaan yang chauvinistic, yang sempit dan menyendiri, tetapi kebangsaan yang menjadi bagian dari dunia. “Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia,” ujar Soekarno.
Karena itu, Soekarno mengusulkan “internasionalisme” sebagai prinsip kedua. “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme,” lanjut Soekarno.
Prinsip ketiga adalah  permusyawaratan, perwakilan.“Badan Permusyawaratan yang akan kita buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik demokrasi saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvarrdigheid dan sociale rechtvarrdigheid,” keadilan sosial politik. Karena itu Soekarno mengusulkan “kesejahteraan” sebagai dasar keempat.
Dasar kelima adalah Ketuhanan. Tapi bukan ketuhanan yang mengarah pada “egoisme-agama”, tetapi yang berkeadaban. “Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain,” kata Bung Karno yang disambut tepuk tangan para hadirin.
Lima dasar itulah yang oleh Soekarno disebut sebagai “Panca Sila”, lima azas atau dasar. Melalui perdebatan yang panjang, usulan presiden pertama tersebut dirumuskan menjadi Pancasila seperti yang kita kenal sekarang. Tanggal 1 Juni kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Pancasila.
Identitas Kultural
Kesepakatan para pendiri bangsa untuk menjadikan Pancasila sebagai falsafah, pandangan hidup dan dasar kehidupan bersama bukan semata-mata karena Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat beragam dari segi etnik, budaya dan agama. Tetapi juga karena Pancasila sudah menjadi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Prinsip ketuhanan merefleksikan religiusitas yang sangat kental dari bangsa ini. Kemanusiaan adalah representasi dari solidaritas yang oleh Bung Karno diistilahkan sebagai gotong royong. Persatuan Indonesia adalah refleksi dari rasa kebangsaan yang tercipta sejak zaman Majapahit dan Sriwijaya. Sila kelima juga mencerminkan tradisi musyawarah yang sudah membudaya di masyarakat.
Itulah sebabnya, ketika NU membahas masalah asas tunggal Pancasila dalam Munas Alim Ulama di Situbondo (1983), KH Ahmad Siddiq (almarhum) merasa sangat aneh dengan kesangsian sejumlah orang yang mempertanyakan Pancasila. “Wong barang sudah sekian lama ‘dimakan’, kok baru dibahas halal haramnya,” kata Kiai Ahmad Siddiq.
Sebagai konsensus dasar, Pancasila adalah panduan bagi kita untuk memahami seperangkat nilai yang menjadi kesepakatan bersama. Sementara, sebagai identitas kultural, Pancasila adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat, bukan sesuatu yang asing. 
Visi Kebangsaan
Kini, setelah 66 tahun kelahiran Pancasila, kita makin jauh dari cita-cita Indonesia merdeka seperti tersimpul dalam Pembukaan UUD 1945, “yang  merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur“, dan yang “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan  kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Cita-cita Soekarno dan para pendiri bangsa lainnya mengenai Pancasila sebagai falsafah Negara, pandangan hidup dan dasar kehidupan bersama terancam punah. Prinsip Negara “semua untuk semua” digerogoti oleh menguatnya kecenderungan primordial dan kedaerahan. Kepentingan pribadi dan kelompok jauh lebih dominan ketimbang kepentingan bersama. Prinsip kemanusiaan dihancurkan dengan pengabaian dan pengingkaran hak-hak kelompok minoritas, baik etnis maupun agama. Solidaritas dan gotong royong berubah menjadi kecurigaan, kebencian dan kebringasan. Prinsip musyawarah digantikan oleh budaya main hakim sendiri. Ketuhanan yang berkeadaban tergerus oleh arus intoleransi, radikalisme dan terorisme. Keadilan sosial tertimbun di bawah kasus-kasus korupsi.
Bisa dipahami jika penelitian yang digelar oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dilakukan selama Oktober 2010 hingga Januari 2011 terhadap 100 sekolah di wilayah Jabotabek menunjukkan bahwa dari 993 siswa SMP dan siswa SMA, 25, 8 persen siswa menganggap Pancasila tidak lagi relevan sebagai dasar negara.
Fakta ini tentu tidak perlu diratapi. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana  menyegarkan kembali Pancasila sebagai falsafah dan visi masa depan. Penguatan visi kebangsaan terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI merupakan pilihan yang tidak bisa ditunda lagi. Jika tidak, visi kebangsaan yang digagas oleh para pendiri bangsa terancam hilang dari memori kolektif bangsa ini.[]

Agus Muhammad, Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI-NU)




Tag: Artikel, Agus Muhammad, Pidato Soekarno 1 Juni 1945, PP RMI NU, RMI-NU, Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama, 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?