Meninjau Kembali Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Ulama


Banyak orang,kadang-kadang bahkan ahli pendidikan, tidakkenal pe­santren. Mereka menyangka bahwa pe­santren adalah sarang kekolotan, pesan­tren sarang konservatisme, dan merek-merek keterbelakangan lain. Tetapi bagi pengamat perkembanganmasyarakat di Indonesia ini orang akan mengetahui bahwa tidak sedikit ulama-ulama, pemimpin-pemimpin di Indonesia dilahir kan olehpesantren.

Mengapadari pesantren itu lahir ulama-ulama atau pemimpin-pemimpin masyarakat?Barangkali hal ini dapat dilihat dari sistim pendidikan yangada di pesantren itu. Di antara ciri-ciri pen­didikan dipesantren itu ialah :
  1. Adanya hubungan yang akrab antara murid (santri) dengan Kyai. Kyai itu memperhatikan sekali kepada santrinya. Hal ini dimungkinkan karena mereka tinggal dalam satu pondok atau kampus;
  2. Tunduknya santri kepada Kyai. Pa­ra santri menganggap bahwa menentang Kyai selain dianggap kurang sopan juga bertentangan dengan ajaran agama;
  3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan pesantren. Hidup mewah tidak terdapat dalam pesantren itu. Bahkan tidak sedikit para santri itu hidupnya terlalu sederhana dan terlalu hemat hingga mengabaikan kesehatannya. Orang mengetahui bahwa hidup hemat dan sederhana merupakan syarat mutlak bagi suksesnya pembangunan yang harus terus menerus kita lakukan ini;
  4. Semangat menolong diri sendiri amat terasa dan kentara di pesantren. Hal ini disebabkan para santri itu menyuci pakaiannya sendiri, membersihkan kamar tidurnya sendiri dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang memasak makanannya sendiri;
  5. Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren. Hal ini disebab­kan kehidupan yang merata di kalangan para santri; juga karena para santri harus mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang sama, baik yang berupa pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agama, seperti shalat berjamaah, atau yang bukan bersifat agama seperti membersihkan tempat shalat seperti masjid atau tempat belajar, secara bersama;
  6. Disiplin sangat ditekankan dalam ke­hidupan pondok pesantren itu. Pagi-pagi benar antara jam 4.30 atau jam 5.00 pagi Bapak Kyai telah membangunkan santri untuk diajak shalat bersama (berjama'ah). Bahwa pen­didikan yang semacam itu mempunyai pengruh yang sangat besar dalam kehidupan orang, tidak perlu diragukan.
  7. Berani menderita untuk mencapai sesuatu tujuan merupakan salah satu pendidikan yang diperoleh dalam pesantren. Hal ini dilakukan oleh para santri dengan kebiasaan 'tirakat' , baik dengan puasa sunat seperti puasa Senin-Kamis; shalat tahajud di dalam waktu malam, i'tikafdi Masjid dengan merenungkan Kebesaran dan Kemurnian Allah, maupun dengan amalan-amalan lainnya.

Itulah antara lain ciri-ciri pendidikan dalam pesantren; dan itu pulalah barangkalimengapa dari pesantren lahir ulama-ulama,pemimpin-pemimpin masyarakat.

Di lain pihak pesantren bukanlah suatu lembaga pendidikan untuk men­cetak 'pegawai' yang mau diperintah oleh orang lain. Tetapi pesantren adalah lembagapendidikan yang mencetak 'majikan'untuk dirinya sendiri. Pe­santrenadalah lembaga pendidikan yangmencetak orang-orang yang berani hidup berdiri di ataskakinya sendiri dengan tidak tergantungkepada orang lain. Pedagang-pedagangbesar atau kecil, petani-petanibesar atau kecil, nelayan-nelayanbesar atau kecil di Indonesia,sebagian besar dari mereka itu adalahterdiri dari bekas-bekas san­tripesantren.

Di samping birokrasi yang baik, maka adanya pengusaha dan pedagang itu, yang sebagian besar terdiri dari bekas-bekas santri pesantren, sangat diperlukan bagi pembangunan negara kita.

Pada akhir-akhir ini, dunia usaha telah banyak bergeser, tidak lagi ter­diri dari santri-santri pesantren, tetapi lebih banyak terdiri dari para bekas pegawai,baik sipil maupun ABRI. Kalau pengamatan ini betul,maka tergesernya para santri dari dunia usaha bukankarena 'kurang cakap' me­reka,tetapi karena mereka tidak pandai mengambil 'kesempatan untuk ikutterjun dalam dunia busines 'gaya baru' ini. Santri-santri kurang pandai 'berpolitik' dagang. Kami katakan di sini, bahwasoalnya bukan karena kurang kecakapan para santri, karena ternyata orang-orang yang terjun dalam bidang usaha sekarang ini sebagian be­sarbukan orang-orang yang terdidik dalam bidangekonomi. Sarjana-sarjana ekonomirupa-rupanya sudah puas untuk menjadi 'juru tulis' dalam perusahaan-perusahaan yang dipimpin oleh orang-orang yang bukan berpendidikanekonomi. Memang sarjana ekonomi kita rupa-rupanya pandai berteori tentangdagang dan usaha, tetapi tidak mempunyai mental dan keberanian untuk dagang danusaha, sedang santri-santri kita tidakmempunyai teori dagang dan usaha, tetapi mempunyai mental dan keberanianuntuk dagang dan usaha. Namun semua inimasih perlu penelitian oleh ahli-ahlinya de­ngan lebih cermat.

Sekalipundalam satu segi, yaitu ketinggalannya para santri dalam mengisi barisan usahadewasa ini, tetapi kedudukan mereka sebagaiulama dan pemimpin agama ternyata masih tetap di pegang.

Pengembangan Pesantren

Sudah agak lama orang berusaha untuk membaharui dan mengernbang-kan pesantren itu.

Sebenarnyausaha pembaharuan dan pengembanganpendidikan dan pe­ngajaran dipesantren tidaklah mudah, sebagaimanamelaksanakan pembaharu-an danpengembangan pendidikan dan pengajarandi sekolah-sekolah umum. Hal ini disebabkan antara lain: Kyai bukanlahorang yang hanya memimpin pesantren, tetapi sekaligus yang mempunyai pesantren. Oleh karena itu, kemungkinan pembaharuan dan pengembangansistim pengajaran dan pendidikan di pesantren menjadi tergantung kepada kerelaan para Kyai untuk membaharui dan merubah. Untuk itu perlu direnungkan seberapa jauh pengaruh Departemen Agama dalam memberikan wawasan kepada pa­ra Kyaiyang memiliki pesantren itu untuk mengadakan pembaharuan dan perubahan dalam sistim pelajaran dan pendidikan pesantrennya.

Lebih dariempatpuluh tahun kita mempunyai DepartemenAgama, per­ubahan yang tampak pada sistim pe­ngajaran dan pendidikan pesantren adalah 'dari Pesantren murni berubah (ditambah) dengan sistim Madrasah'. Ini dapat dikatakanbahwa perubahan itu lebih bersifat ' kedalam" dan bukan 'perluasari, perubahan yang lebih bersifat 'introvert' dari pada 'extro­vert' , baik dalam di taktik maupun dalam sistim dan metode pengajaran dan pendidikannya. Saya kira per­ubahan 'perluasari akan lebih banyak mempengaruhi hidup dan kehidupan pesantren. Namun hal itu belum terjadi. Memang setelah timbulnya ma­drasah dipesantren, apa yang dikatakan 'pengetahuanumum' ditambahkan, tetapi belum memadai. Pada asasnya orientasi tentangilmu belum mengalami perubahan di kalangan pesantren.

Madrasah di Pesantren

Sebagaimanakita ketahui, dewasa ini hampir semua pesantren telah me­rubah dirinyamenjadi madrasah. De­ngan perubahan ini sebenarnya selain terdapat keuntunganjuga terda-pat kerugian.

Di Pesantren bakat dankemampuan santri tidak mendapat perhatian dari Kyai. Santri bebas untuk belajar, danbebas untuk tidak belajar, sebagaimanasantri itu bebas untuk memilih matapelajaran dan tingkatan pe­lajaranyang ia sukai. Pokoknya sistem pengajaranpesantren ini 'bebas' . Inilahsebabnya mengapa tidak sedikit santriyang bertahun-tahun lamanya di pesantren,tetapi tidak mendapatkan ilmusebagaimana diharapkan.

Tetapidengan perubahan menjadi madrasah, maka kerajinan murid diawasi, mata pelajaranberjenjang, kemampuan dan kegiatan murid dinilai oleh Kyai. Namun disamping kebaikan cara pengajaran madrasah, madrasah itu kehilangan kebaikan sistim pendidikan yang diberikan oleh pesantren, sebagai­mana tersebut di atas.

Olehkarena itu sistim pengajaran dan pendidikan agama yang palingbaik di Indonesia adalah sistem pengajaran alamadrasah dalam lingkungan pen­didikan pesantren. Jelasnya :Madrasah dalam Pesantren adalah sistim pengajar-andan pendidikan agama yang paling baik.

Pesantrenkita sebagaian besar ada di desa-desa, dan kebanyakan santriyang mengunjunginya juga dari desa. Oleh karena itu, madrasah dalam pesantren harus tegas-tegas berorientasi ke desa. Para santri itu harus dipersiapkan untuk menjadi pemimpin agama dan dalam waktuyang sama juga menjadi penggerak pembangunandi desanya masing-masing. Bahwaorientasi ke pedesaan ini banyaksekali manfaatnya, sudah barang tentutidak perlu lagi kita bahas di sini.Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa santri itu kita bekali pelbagaicabang ilmu pengetahuan yang diperlukan desa hingga dengan demikian iamempunyai wawasan ke arah kehidupan desa. Untuk itu sebaiknya pelajaran dan pendidikan di madrasah dalam pesantren itu kurang lebih mencakup hal-hal berikut :

  1. Pendidikan dan Pengajaran Agama. Inilah yang pokok, karena memang pesantren itu diadakan untuk mendidik calon Ulama :
  2. Pendidikan Ketrampilan, seperti peternakan, pertanian, pertukangan, koperasi dan sebagainya. Hal ini di-maksudkan bukan untuk supaya santri-santri itu menjadi peternak ayam, tukang kayu, atau menjadi ahli pertanian. Tetapi yang dimaksud supaya santri dapat menghayati pentingnya ketrampilan itu, hingga dengan demikian ia tidak menganggap rendah pekerjaan yang sifatnya ketrampilan, seperti pertukangan, pertanian dan sebagainya. Orang mengetahui bahwa tidak semua santri dikemudian hari menjadi Kyai. Tetapi sebagian besar dari santri menjadi petani biasa, pedagang biasa, tukang biasa, dan se­bagainya. Dan sudah barang tentu pendidikan ketrampilan yang diberikan di pesantren akan besar sekali manfaatnya dalam kehidupan me-reka di kemudian hari;
  3. Pendidikan Kepramukaan. Pendidik­an Kepramukaan adalah pendidikan di luar pendidikan rumah tangga dan sekolah, yang sangat baik. De­ngan pendidikan kepramukaan ini, pendidikan agama dapat dimasukkan dengan melalui disiplin pramuka;
  4. Pendidikan Kesehatan dan Olahraga. Ini besar sekali gunanya untuk menjaga kesehatan badan para santri;
  5. Pendidikan Kesenian, apakah seni membaca al-Qur'an, membaca Barzanji Rebana, Pencak Silat, Seni tulis indah, dan sebagainya. Pen­didikan kesenian ini perlu diberikan untuk menghaluskan budi.

Dengancorak dan isi pendidikan dan pengajaran sebagaimana tersebut di atas,dapatlah diharapkan dalam pen­didikan madrasah dalam pesantren ituakan terhimpun seni, ilmu dan agama, yangmerupakan tiga komponen pen­didikan yang harus terkumpul dalam diriorang, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok masyarakat.

Orientasi Ilmu

Kitamengetahui bahwa pada akhir-akhir ini banyak dari pesantren-pesantren yangmembuka Perguruan Tinggi atau Universitas. Ini perkembangan yangbaik.

Dewasa ini, ilmu-ilmuyang diajarkan di Universitas dalampesantren selain ilmu agama Islam,yang meliputi Ushuluddin, Syari'ah,Tarbiyah, Da'wah dan Adab - sebagaimana pola IAIN - juga ilmu-ilmu sosial, sekalipun masih dalam tingkat permulaan. Ilmu-ilmu eksakta dan humaniora masih belum diberikan dalam universitas-universitas itu. Orientasi ilmu dilingkungan pesantren belum mengalamiperubahan. Inilah barangkali salahsatu sebab kelemahan pesantren.

Sebagaimanakita mengetahui maka bukanhanya di Indonesia saja, bahkan diseluruh dunia orang selalu tidak puas dengan hasil-hasil yangdiperoleh oleh perguruan tinggi. Masyarakat selalu menuntutlebih dari yang dihasilkan oleh perguruan tinggi. Hal inidisebabkan perubahan dalam masyarakat terjadi lebih cepat daripadayang terjadi dalam perguruan tinggi. Sementara itu lulusan perguruan tinggi tidakseluruhnya selalu dapat menghayatiperubahan-perubahan yang terjadidalam masya­rakat.

Juga orang mengkritiktentang ketidak mampuan lulusan IAIN - yang merupakan salah satu corak perkembangan pesantren untuk membaca kitab Arab. Oleh karena itu pengajian 'kitab kuning' harus digiatkan.

Apakah betul hal yangsedemikian itu? Saya kira lulusan IAIN dariFakultas Syari'ah, Ushuluddin, Adab tidak sedikit yang mampu membacakitab-kitab Arab, karena memang itu yang merekapelajari. Dari lulusan Tarbiyah banyakyang kurang mahir dalam mem­bacakitab-kitab Arab, karena mereka banyakmembaca bahan-bahan yang ditulisdalam bahasa bukan Arab.

Menurutpendapat saya, kelemahan lulusan IAIN terletak pada orientasi ilmunya.Orientasi ilmu agama Islam oleh IAIN dewasa ini adalahsebagaimana terwujud dalam ilmu-ilmu yang dihimpun dalam Fakultas-fakultas da­lam lingkungannya : inilah yang bisa dilakukanoleh IAIN, sesuai dengan per-aturanperundangan yang ada. Terobosan mulaidilakukan dengan adanya S-2 dan S-3 yangsudah dimulai sejak tahun 1975 itu, yaitu denganperluasan mata pelajaran humaniora dan perluasan ilmu-ilmu sosial dan bahasa.

Oleh karena itu, saya berpendapat sebaiknya pesantren-pesantren yang membuka Universitas, orientasi ilmu­nya jangan hanya seperti IAIN tetapi hendaknya meliputi ilmu agama, humaniora, sosial daneksakta.

Adapun untuk membina pemimpin-pemimpin agama atau ulama yang me­rupakanproduk dari Universitas-universitas dalamlingkungan pesantren itu, maka 4 macam ilmu perluditekankan, yaitu (1) sejarah, (2) filsafat,(3) metodologi dan (4) bahasa.

Karenaperguruan tinggi harus sang-gup menjawabperubahan-perubahan yang terjadi dalammasyarakat, maka apakahperubahan-perubahan yang ter­jadi itujuga harus diberikan dalam perguruan tinggi? Tentu sajajawabnya: "Ya". Tetapi disamping perubahan-per­ubahan yang terjadi di dalam masyara­kat yang harus diberikan dalam per­guruan tinggi, maka siswa di dalam per­guruan tinggi itu harus juga diajarkan beberapa hal mengenai sejarah dan prosesterjadinya perubahan-perubahan itu.

Inilah pentingnya Ilmu Sejarah, ka­rena hakekat ilmu Sejarah adalah ilmu yang berusahamemahami masyarakat dengan perubahan-perubahannya.Ma­syarakat umat manusia dalam totalitasnya denganperubahan-perubahan yang terjadi padanyamerupakan sasaran yang dibahas oleh Ilmu Sejarah.

Untuk   hal  ini prinsip-prinsip asasi dari  perubahan masyarakat harus di pahami. Ibnu Khaldun menyatakan :

  1. Gejala-gejala sosial rupanya mengikuti hukum-hukum tertentu, yang sekalipun tidak semutlak sebagaimana hukum-hukum yang meliputi gejala-gejala alam, tapi cukup konstan dan ajeg untuk menyebabkan kejadian-kejadian sosial mengikuti pola dan uruatan teratur.
  2. Hukum-hukum itu mengenai massa dan tidak banyak mengenai individu-individu, oleh karena itu apabila suatu masyarakat sudah rusak maka perbaikan tidaklah dapat dilakukan oleh perorangan karena usaha pero-rangan akan ditelan oleh tekanan-tekanan sosial.
  3. Hukum-hukum itu dapat difahami hanya dengan mengumpulkan banyak fakta dan meneliti sebab dan akibat suatu kejadian.
  4. Hukum sosial yang sama akan juga terjadi pada suatu masyarakat yang strukturnya sama, sekalipun berbeda dalam waktu dan tern pat.
  5. Masyarakat itu tidak statis tetapi berubah dikarenakan hubungan antara sesama manusia dan kelompok dalam masyarakat yang diikuti dengan mencontoh, menyesuaikan diri, menentang dan sebagainya.
  6. Hukum-hukum itu bukan hanya refleksi dorongan biologis atau karena faktor-faktor fisik saja, tetapi merupakan hasil dari kondisi dan si-tuasi sosial.
  7. Oleh karena itu situasi dan lingkungan hidup manusia mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap masyarakat juga pada perseorangan.
  8. Perubahan sosial tidaklah disebabkan adanya sesuatu faktor yang berdiri sendiri. Kelompok-kelompok dalam masyarakat dan transformasinya ber-ada dalam saling ketergantungan dan saling hubungan yang sangat kompleks.
  9. Generalisasi   atau pengambilan hukum secara umum yang dihasilkan dari mempelajari masyarakat umat manusia harus didasarkan kepada dasar-dasar yang empiris.
  10. Bahwa orang yang ingin mempelajari Ilmu sejarah harus menguasai cabang-cabang ilmu tertentu dan sikap ter­tentu yang menjamin objektivitas dalam hasil penyelidikannya.

Agarsupaya orang dapat memahami masyarakat dengan objektif, menurutIbnuKhaldun, orang harus menghindarisumber-sumber kesalahan sebagai berikut: 1. Semangat membela ter­hadap sesuatu kepercayaan atau pendapat. Apabila orang menerima sesuatu keterangan maka keterangan itu diselidiki dan diteliti hingga dengan demikian dapat memisahkan mana yang benar danmana yang salah. Tetapi apabila pikiran itusudah memihak kepada suatu pendapatatau kepercayaan maka pikiran ituakan menerima keterangan yang sesuaidengan pendapat atau kepercayaanyang disukainya. Oleh karena itusemangat membela merupa­kan penutup bagi akal pikiran yang menghalang-halangi orang itu dari penyelidikan danpenelitian. 2. Terlalu percaya kepada bahan keterangan dan sumber-sumbernya yang diterima. 3. Ketidaksanggupan dalam memahami apa yang dimaksudoleh suatu keterang­an atau kejadian. 4. Ketidak sanggup­an untuk menempatkan sesuatu kejadi­an dalam konteks yang sebenarnya disebabkankarena kompleks dan samarnya situasi. 5.Keinginan untuk mendapatkan pujian dan persetujuan sosial. 6. Kurangpengertian terhadap hukum-hukum yang meliputi perubahan masyarakat untukmanusia. 7. Ke-cenderungan untukmelebih-lebihkan. 8. Ketidak sanggupan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu yang panjang karena lamban danpelan-pelannya perubahan itu.

Inilahbeberapa hal tentang hukum-hukum perubahan dalam masyarakat dan sebab-sebab yang harus dijauhi agarorang dapat memahami masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat ini secara obyektif.

Dengan ini maka jelaslah bahwa apa-bila yang diajarkan di perguruan ting-gi itu hanya perubahan-perubahan yang terjadipada waktu ini, maka segera perguruan tinggi itu akan ketinggalan zaman.

Problema-problema yang akan di-hadapi oleh orang-orang yang kini menjadi siswa di perguruan tinggi, pada masa 30-40 tahunmendatang akan sangat berbeda dari problema-problema yang kini kita hadapi.Untuk itu kunci untuk memahaminya harus kita berikan, yaitu Ilmu Sejarah.

Soal keduayang harus ditekankan dalam universitas itu adalah ilmu fil-safat. Kitamemahami bahwa bermacam-macam ilmu pengetahuan berada di muka kita ini,misalnya ilmu pasti, ilmu alam, ilmu ekonomi, ilmu hukum dan sebagainya. Dapatdikatakan bah­wa tiap-tiap ilmu menyelidikisalah satu lapangan atau lapisan kenyataan. Masing-masing ilmu merupakansatu ilmu vak. Ahli ilmu vak mengarahkan segala fikirannya kepada suatu lapisantertentu dan dengan sengaja mengesampingkanlapisan-lapisan lain dari perhatian akalnya. Gambarkanlah sebuah pohon kelapa yang menjadi sasaran ahli-ahli ilmu. Ketika seorang ahli ekonomimelihat pohon kelapa itu umpamanya, tidakmenghiraukan fisika dari pohon itu. Bagi ahli ilmu hayat ia akanmemperhatikan fisika dari po­hon itu; ia akan meneliti susunan molekul-molekul atau atoom-atoom di da­lampohon itu. Sebaliknya ahli kebudayaan akan melihat pohon kelapa itu dari segi peranannya dalam sejarahkebudayaan di negeri ini. Dengan perkataan lain tiap-tiap ahli vak, sesuai dengan vaknya masing-masing, menyendirikansatu lapangan atau aspek ter­tentu dari kenyataan pohon itu seluruhnya lalumemberikan segala perhatiannya kepada lapangan tadi. Dengan jalan ini ahli ilmuvak dapat mencapai pengetahuan yang teratur,teliti dan da­lam sekali tentang lapangan yang diselidikinya. Akantetapi harus diinsafi juga bahwa pengetahuan ilmu vak memang terbatas karenahanya berlaku mengenai lapangan tertentu dan tidak boleh dikenakan denganbegitu saja akan lapangan-lapangankenyataan lain. Karena ilmu vak tidak dapat terhindar dari segala prasangka atau pengaruh yangdatang dari luar vaknya, maka ilmu vak tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitasnya.

Acapkali ilmu vak menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai disiplinya sendiri. Seorangahli ilmu vak tidak mengetahui dengan pasti batas-batas lapangan yang ia selidiki,lapangan ilmu yang diselidikinya dalam kenyataan seluruhnya, hubungan antarasatu cabang ilmu vak dengan cabang yang lain. Dan ini semua tidak bisadiketahui hanya dengan ilmu vak saja; tetapibaru bisa diketahui dengan ilmu filsafat. Ilmu Filsafat memang berbeda sifatnya dengan ilmu vak. Ilmu Filsafat menyelidiki hubung­an antaralapangan-lapangan khusus yangdiselidiki ilmu vak.

Filsafat memikirkan susunan dan ke­nyataan sebagai keseluruhan, juga susunandari pengetahuan pada dirinya sendiri. Hasil-hasil yang di dapat ilmu filsafattentu saja mempengaruhi usaha-usaha ilmu vak. Berhubung de­ngan adanya aliran-aliran filsafat yang bermacam-macam, tak mengherankan bahwadalam ilmu-ilmu vak pun terdapat aliran-aliran yang berupa-rupa. Pengaruh initerutama tampak jelas atas ilmu-ilmukebudayaan seperti ilmu sejarah, ilmuekonomi, ilmu hukum dan sebagainya. Memang peranan subyektivitas dariahli-ahli dalam bidang ilmu kebudayaan itu bisa lebih besar. Namun demikian takdapat disangkal bahwa ilmu alam pun menerimapengaruh dari bermacam-macam aliranfilsafat.

Sekarang timbul pertanyaan : apakah ilmufilsafat itu obyektif ? Kalau kita mengambilaliran rasionalisme dalam filsafatumpamanya yang berpendapat bahwa akal manusia itu cukup mampu memecahkansegala soal, dapat membuka segala rahasia,dan mencapai kebenaran terakhir maka orang tentunya akan bertanya:"Atas dasar apakah si rasionalismemilih akal sebagai suatu alat yang kompeten di dalam soal-soal pengetahuan?"Sudah barang tentu si rasionalis dalammenjawabnya tidak lagi rasionil, tetapi akan mendasarkan diri padakepercayaan dan keyakinan. Sedangkepercayaan dan keyakinan adalahsubyektif.

Dengan ini maka orang dapat me­ngambilkesimpulan bahwa akal itu tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisaobyektif penuh, karena obyektivitas dari akal itu bertolak dari sumber yang subyektif.

Tetapi ini tidak mengurangi pentingnya filsafat.Filsafat sangat penting bagi calon-calon ulamakita. Sayangnya ilmu filsafat selama initidak mempunyai tempat terhormat dalam pemikiranulama-ulama kita pada umumnya, jugadi kalangan ulama-ula­ma Indonesia. la dicap sebagai ilmu yang perlu'dicurigai'.

Yang ketiga harus diberikan kepada santri-santri di universitas itu adalah metodologi.Tiap ilmu mempunyai sistim danmetodenya sendiri. Hal ini harusdiketahui oleh calon-calon ulama. Salah satu hal yang menunjukkankurangnya penguasaan metodologi ialah, umpamanyadalam mengajar tafsir, ma­ka yang ditanyakan kepada mahasiswa adalahsoal i'rab, soal marfu' dan mansubnya,soal mubtada' dan khabar-nya, dan sebagainya. Memang Crab itu penting, tetapitempatnya bukan dalam pelajaran tafsir,tetapi dalam mata pelajaran bahasa. Akibatnya maka santri itu tidakmengetahui ilmu tafsir, sekalipun iamemahami i'rabnya sesuatuayat.

Kemampuankeempat yang harus diberikan kepada santridi universitas adalah bahasa. Palingtidak dua bahasa harus dikuasai oleh calon-calon ulama kita, yaitubahasa Arab, karena kitab-kitab agama Islam sekian besar ditulis dalam bahasaArab, dan yang lain umpamanya bahasa Inggris, karena sekarang ini terlalubanyak masalah-masalah Islam ditulis dalambahasa ini. Dengan mengetahui bahasa Inggris umpamanya, maka sebagiandari dunia orientalisme telah terbuka bagi kita, hingga kita dapat mempelajaridan menelitinya. Adapun guna dan faedah bahasa dilihat dari segisosiologi dan psikologi rasanya disinibukan tempat­nya urituk dibahas.

Demikianlah,dengan ilmu sejarah orang faham proses, dengan filsafat orangfaham essensi, dengan metodologi orang faham sistim dan metode ilmu, dan dengan bahasa orangfaham dunia yang ditulis dalam bahasa itu. Dengan menguasai empat kemampuan itu, maka orientasi ulama kita akan menjadi luaskarena ia akan dapat menguasai selain ilmuagama juga ilmu masyarakat dan humaniora, dan ia selain dapat menguasaikitab-kitab yang dikarang oleh ulama-ulamaMuslim juga oleh orientalis-orientalis,yang senang atau tidak senang,sangat berpengaruh dalam dunia Islam.




oleh: Dr. Mukti Ali

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat