Pesantren Bisa Lebih Berkontribusi
Nashih Nasrullah
JAKARTA - Pesantren memiliki potensi besar membangun akhlak dan masyarakat di sekitarnya. Apalagi, jelas Amin Haedari, ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama, pesantren kini tak lagi ada di pinggiran. Sekarang, pesantren sudah mulai bergerak ke tengah dan diakui dalam sistem pendidikan nasional.
Oleh karena itu, jelas dia, pesantren di Indonesia yang berjumlah 24.604 unit dengan lima juta santri merupakan potensi besar. "Pesantren dapat berkontribusi," katanya dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (2/10), saat acara "Halaqah Membangun Karakter Kebangsaaan di Kalangan Pemuda Melalui Pesantren" di Pesantren Kempek, Cirebon, 1-3 Oktober 2011.
Para santri bisa mengisi berbagai lapangan kerja sambil membawa misi perubahan. Pendidikan yang mereka peroleh di pesantren digunakan untuk mendukung langkah itu, misalnya, mengenai disiplin, terus terang, dan rajin. Meski ia pun mengingatkan kalau ada pesantren yang masih belum mencapai kondisi ideal, mestinya mereka mengejar ketertinggalannya.
Amin mengatakan, para santri memungkinkan memberikan teladan mengenai etos kerja. Menurut dia, di Indonesia, sebenarnya tidak ada masyarakat miskin, tetapi ada sebagian masyarakat yang dihinggapi rasa malas. Kalau ada kemauan, pasti semua orang mampu melakukan apa pun. Terbukti ada kelompok yang dalam keadaan terbatas, namun meraih kejayaan.
Keberagaman masyarakat di Indonesia dianggap Amin sebagai peluang bagi pesantren memainkan peran di dalamnya, terutama bagaimana mereka merespons keberagaman itu. Tak sebatas itu, menurut Katib Syuriah PBNU Musthofa Aqil, pesantren dan para kiainya selama ini berhasil menjaga Pancasila dan nasionalisme.
Dia mengatakan, pendidikan, penghayatan, dan pengamalan Pancasila yang menghabiskan triliunan rupiah gagal karena dilakukan oleh kalangan yang tidak tepat. Yang paling berhak bicara soal Pancasila, ujar dia, adalah kiai pesantren. Alasannya, mereka membentuk dan menjaga Pancasila selama bertahun-tahun.
Kurikulum pesantren
Jumat (30/9) lalu, pemerintah mengatakan, sedang mengupayakan standardisasi kurikulum pesantren. Ini bertujuan agar tingkat kompetensi dan penguasaan santri terhadap pelajaran agama terukur. Meski Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku proses itu tidak mudah. Sekarang, tinggal merumuskan kurikulum apa saja yang diterapkan.
Ia menuturkan, muncul kecenderungan penurunan penguasaan santri terhadap kitab kuning di sejumlah pesantren. Hal ini diakibatkan berbagai faktor, antara lain, mandeknya kaderisasi di pasantren. Gejala merosotnya kualitas tersebut harus diantisipasi dengan meningkatkan minat santri terhadap kitab kuning.
Sebelumnya, sebuah penelitian oleh Balitbang dan Diklat Kementerian Agama atas 951 pesantren di 15 provinsi menyimpulkan, pengajaran kitab kuning dalam berbagai bidang keilmuan di pesantren tergolong rendah. Fakta itu dilihat dari keterpilihan kitab-kitab oleh kiai, baik secara nasional, per provinsi, maupun dilihat dari karakter masing-masing pesantren. [ed: ferry kisihandi]
JAKARTA - Pesantren memiliki potensi besar membangun akhlak dan masyarakat di sekitarnya. Apalagi, jelas Amin Haedari, ketua Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama, pesantren kini tak lagi ada di pinggiran. Sekarang, pesantren sudah mulai bergerak ke tengah dan diakui dalam sistem pendidikan nasional.
Oleh karena itu, jelas dia, pesantren di Indonesia yang berjumlah 24.604 unit dengan lima juta santri merupakan potensi besar. "Pesantren dapat berkontribusi," katanya dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (2/10), saat acara "Halaqah Membangun Karakter Kebangsaaan di Kalangan Pemuda Melalui Pesantren" di Pesantren Kempek, Cirebon, 1-3 Oktober 2011.
Para santri bisa mengisi berbagai lapangan kerja sambil membawa misi perubahan. Pendidikan yang mereka peroleh di pesantren digunakan untuk mendukung langkah itu, misalnya, mengenai disiplin, terus terang, dan rajin. Meski ia pun mengingatkan kalau ada pesantren yang masih belum mencapai kondisi ideal, mestinya mereka mengejar ketertinggalannya.
Amin mengatakan, para santri memungkinkan memberikan teladan mengenai etos kerja. Menurut dia, di Indonesia, sebenarnya tidak ada masyarakat miskin, tetapi ada sebagian masyarakat yang dihinggapi rasa malas. Kalau ada kemauan, pasti semua orang mampu melakukan apa pun. Terbukti ada kelompok yang dalam keadaan terbatas, namun meraih kejayaan.
Keberagaman masyarakat di Indonesia dianggap Amin sebagai peluang bagi pesantren memainkan peran di dalamnya, terutama bagaimana mereka merespons keberagaman itu. Tak sebatas itu, menurut Katib Syuriah PBNU Musthofa Aqil, pesantren dan para kiainya selama ini berhasil menjaga Pancasila dan nasionalisme.
Dia mengatakan, pendidikan, penghayatan, dan pengamalan Pancasila yang menghabiskan triliunan rupiah gagal karena dilakukan oleh kalangan yang tidak tepat. Yang paling berhak bicara soal Pancasila, ujar dia, adalah kiai pesantren. Alasannya, mereka membentuk dan menjaga Pancasila selama bertahun-tahun.
Kurikulum pesantren
Jumat (30/9) lalu, pemerintah mengatakan, sedang mengupayakan standardisasi kurikulum pesantren. Ini bertujuan agar tingkat kompetensi dan penguasaan santri terhadap pelajaran agama terukur. Meski Menteri Agama Suryadharma Ali mengaku proses itu tidak mudah. Sekarang, tinggal merumuskan kurikulum apa saja yang diterapkan.
Ia menuturkan, muncul kecenderungan penurunan penguasaan santri terhadap kitab kuning di sejumlah pesantren. Hal ini diakibatkan berbagai faktor, antara lain, mandeknya kaderisasi di pasantren. Gejala merosotnya kualitas tersebut harus diantisipasi dengan meningkatkan minat santri terhadap kitab kuning.
Sebelumnya, sebuah penelitian oleh Balitbang dan Diklat Kementerian Agama atas 951 pesantren di 15 provinsi menyimpulkan, pengajaran kitab kuning dalam berbagai bidang keilmuan di pesantren tergolong rendah. Fakta itu dilihat dari keterpilihan kitab-kitab oleh kiai, baik secara nasional, per provinsi, maupun dilihat dari karakter masing-masing pesantren. [ed: ferry kisihandi]
Sumber: Republika Online
Komentar
Posting Komentar