Seratus Tahun ‘Ngalap Berkah’ di Ponpes Lirboyo
Sedikitnya 9.000 santri Ponpes Lirboyo Kediri bersama warga setempat mengkuti Salat Id di Masjid Besar AL Hasan, Rabu (31/8). Ada tradisi yang tetap ditegakkan selama seratus usai Salat Id bagi para santri.
Mereka tak lekas meninggalkan masjid meskipun salat dan khotbah selesai. Ribuan santri berjubel menunggu Kiai Idris duduk di kursi samping tempat imam guna menunaikan ritual ngalap berkah dengan cara sungkem.
“Sungkem memiliki makna lebih dari meminta maaf. Para santri mencari berkah (ngalap berkah) dari sungkem tersebut,” tutur Muthi’ulloh, Pengurus Santri Putra Ponpes Lirboyo Kediri. Ia pun menambahkan tradisi sungkeman hanya dilakukan para santri putra saja pada Kiai Idris. “Bagi santri putri tidak diperkenankan, karena bukan muhrim (tidak memiliki hubungan darah),” tambahnya.
Tradisi ngalap berkah dengan cara sungkem pada kiai telah dilakukan para santri Ponpes Lirboyo sejak zaman KH Abdul Karim, pendiri ponpes. “Sejak Kiai Abdul Karim hingga Mbah Kiai Idris, tradisi sungkem telah dikakukan para santri lepas Salat Jumat dan Id,” tutur Muthi’.
Ponpes Lirboyo sendiri didirikan tahun 1910 oleh KH Abdul Karim, seorang alim dari Magelang Jawa Tengah. Sejak KH Abdul Karim menjabat sebagai pengasuh, tradisi ngalap berkah telah dipertahankan hingga generasi ketiga, KH Idris Marzuqi. Terhitung 101 tahun sudah Ponpes Lirboyo menjalankan dan menjaga tradisi ngalap berkah.
Dengan ngalap berkah dipercayai ilmu yang telah didapatkan para santri di Ponpes Lirboyo dapat bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat tidak hanya bagi diri sendiri dan keluarga, namun juga masyarakat ketika kelak para santri tersebut terjun ke masyarakat. “Kepandaian para santri yang didapat di pondok tidak seberapa, tapi setelah mendapat berkah dari kiai. Harapannya saat tamat belajar dapat mendirikan pondok di kampung halaman,” ujar Muthi’.
Selain itu, ngalap berkah juga untuk mencari kemantapan ilmu yang didapat. “Kadangkala ada santri yang pandai di pondok, tapi jarang ngalap berkah ke kiai. Setelah pulang ke rumah, ilmu yang didapatnya menjadi sia-sia. Ada juga santri dengan kemampuan pas-pasan, tapi rutin sungkem. Setelah pulang kampung mampu mendirikan pondok. Itulah namanya mendapat barokah dari kiai,” tambahnya.
Tradisi khas Ponpes Lirboyo selain sungkeman saat Hari Raya Idul Fitri adalah sowan. “Sebenarnya, selain sungkem di masjid. Ada sowan ke ndalem kiai yang dilakukan para santri hari raya pertama Idul Fitri. Biasanya, setelah itu para santri mudik ke kampung halaman masing-masing,” tutur Muthi’.
Jika dalam istilah masyarakat umum, sowan dapat diartikan dengan bertamu. Namun, istilah sowan berlaku bagi keluarga kiai yang memiliki pondok pesantren. Sebutan sowan atau istilah populernya saat ini ‘open house’ hanya berlaku bagi para santri atau alumni santri pada keluarga kiai yang pernah diikutinya.
Selain sungkem dan sowan, kegiatan lain yang dilakukan para santri dan keluarga kiai adalah ‘nyekar’ ke makam para kiai terdahulu di Ponpes Lirboyo. “Istilah ‘nyekar’ untuk para santri, namun sebutan bagi keluarga kiai adalah dzuriah,” ucap Muthi’. Ia pun menjelaskan bahwa ritual ‘tabur bunga’ ke makam dilakukan sore hari sebelum malam takbir, ketika pagi hari lepas Salat Id keluarga kiai melakukan dzuriah.*
Sumber: Surabaya Post Online
Komentar
Posting Komentar