Pesantren dan Civil Society
PESANTREN adalah lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang selama ratusan tahun menjalankan fungsinya sebagai pusat pendidikan dan sekaligus benteng pertahanan Islam Nusantara. Dari sosok kelembagaannya pesantren merupakan adopsi dari pusat-pusat pendidikan keagamaan yang telah ada sebelumnya, baik Hindu maupun Budha dalam asrama-asrama (ashram) pembinaan kader para imam sebagai pelayan dan pembimbing kehidupan spiritual dan keagamaan masyarakat awam. Dalam tradisi Kristiani, lembaga sejenis ini dikenal dengan seminari-seminari. Seperti juga di lembaga sejenis dalam lingkungan umat yang berbeda, pesantren bukan hanya sebagai tempat pendalaman keilmuan dan tradisi keagamaan yang dianutnya, tidak kalah penting adalah sebagai pusat pelayanan masyarakat dalam pengertian yang luas.
Masyarakat Sipil ( Civil Society ) di lain pihak, dipahami sebagai gugusan masyarakat yang berada di luar domein kekuasaan Negara (state) yang dikenal sebagai Political Society. Sivil society adalah gugusan masyarakat yang mengatur kehidupan mereka dengan tertib social yang mengacu pada nilai-nilai etika dan moral yang mereka yakini. Sementara Political Society adalah gugusan masyarakat yang mengandalkan tertib social mereka pada wibawa aparat pemaksa (coersive) melalui penegak hukum dan ketentuan-ketentuan formal lain atas nama Negara. Negara dan masyarakat Sipil bukan dua entitas yang saling menolak dan harus dipertentangkan. Tapi dalam suatu komunitas yang teratur dimana masyarakat sipil menguat, maka peranan Negara bisa diringankan; sebaliknya ketika masyarakat sipil melemah, maka Negara sebagai lembaga pemaksa pun menjadi sangat dominant.
Dalam konstelasi seperti tersebut di atas, maka keyakinan dan kesadaran agama yang dianut penuh kesetiaan oleh warga masyarakat merupakan suatu elemen yang sangat penting bagi kehadiran Masyarakat Sipil. Warga masyarakat yang karena imannya dan ketaatan agamanya mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang merugikan orang lain maupun diri sendiri, bahkan lingkungan alamnya, dengan sendirinya tidak terlalu bergantung pada peranan “negara” sebagi kekuatan pemaksa. Sebaliknya, dalam masyarakat di mana kesadaran berbuat baik (makruf) dan menjauhi kejahatan (mungkar) melemah, maka campur tangan negara sebagai kekuatan pemaksa dianggap sebagai penyelamat yang niscaya. Memang, persoalan utama bukan apakah kita harus memilih agama (sebagai kekuatan penyadar) atau negara sebagai (kekuatan pemaksa); melainkan bagaimana memastikan tertib masyarakat secara lebih bermartabat. Tentu bahwa yang lebih sesuai dengan martabat manusiawi tentulah tertib social yang tumbuh dari kesadaran dalam hati dan akal budi, bukan karena paksaan atau ancaman. Pendekatan paksaan (coertion) adalah pilihan terakhir ketika kekuatan kesadaran gagal membimbing manusia di jalan yang benar.
Sesunguhnya, keimanan seseorang terhadap ajaran agama tidak otomatis menempatkan yang bersangkutan pada apa yang kita sebut maqam kesadaran yang tinggi martabatnya. Dalam disiplin sprititualitas Islam (tasawuf), misalnya, diteorikan bahwa motivasi seseorang meninggalkan perbuatan jahat dan berbuat kebaikan pun bertingkat-tingkat: Tingkatan paling rendah adalah seseorang yang meninggalkan kejahatan (dosa) karena takut siksaan (neraka); tingkatan kedua adalah orang yang meninggalkan kejahatan dan berbuat kebaikan karena menginginkan pahala (sorga). Tingkatan ketiga, yang tertinggi, adalah orang yang meninggalkan keburukan dan berbuat kebaikan semata-mata karena ingin meraih Ridlo-Nya. Dalam bahasa secular, pertama orang yang meningggalkan keburukan karena takut hukuman (punishment) baik oleh masyarakat atau Negara; kedua, oang yang berbuat kebaikan karena ingin mendapatkan imbal jasa (reward) dari sesama; dan ketiga orang yang meninggalkan keburukan dan menjalankan kebaikan semata-mata karena, dalam kesadaran nurani-nya bahwa di situlah hakikat kemanusiaannya.
***
Jika fundasi civil society adalah “kesetiaan pada nilai-nilai luhur kemanusiaan” sebagai panggilan atau kewajiban moral (moral oblogation) dari dalam, bukan suatu paksaan kekuasaan dari luar, maka pertanyaan yang harus kita jawab di sini adalah: Seberapa besarkah peranan pendidikan, pesantren khususnya dan pendidikan Islam pada umumnya telah berhasil membangun basis kesadaran tersebut? Jika jawabannya positif maka kita boleh mengklaim bahwa pesantren dan Islam memang adalah soko guru Masyarakat Sipil. Tapi jika jawaban negatif, maka klaim itu pun secara otomatif menjadi terbantah. Untuk menjawab pertanyaan ini, ada pertanyaan primer yang harus dijawab lebih dahulu: Seberapa besarkan tradisi pesantren khususnya dan tradisi Islam umumnya menghargai akal sebagai pusat kesadaran perihal nilai-nilai moral tentang mana yang baik (makruf) dan mana dan yang buruk (munkar)? Pertanyaan ini diakui telah menjadi pusat perdebatan kalam dan filsafat Islam yang panas, bahkan keras.
Dari bukti-bukti teks al-Qur’an dan Hadits Rasulullah sebenarnya sangat jelas pesannya bahwa “akal” manusia diyakini mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Hampir semua kebenaran dan kebaikan yang digaris bawahi oleh agama juga digarisbawahi oleh akal, dan sebaliknya. Ini tidak berarti bahwa – seperti dikatakan Muktazilah - agama (wahyu) tidak benar-benar diperlukan untuk tegaknya moralitas. Ada persoalan moralitas yang tidak mampu dijawab semata-mata oleh akal. Yakni, setelah nilai baik dan buruk menjadi jelas oleh akal, pertanyaan penting selanjutnya adalah: Kenapa kita harus mengambil yang baik baik dan menjauhi yang buruk, dengan segala resikonya? Harus diakui, bahwa pertanyaan ini tidak selalu jelas bagi manusia dengan akal-budinya.
Pertimbagan rasional untuk melakukan kebaikan kepada orang lain, paling lazim, adalah agar orang lain juga berbuat baik kepada kita. Inilah motivasi etika timbal balik (etika resiprokal, pamrih) yang bisa dijangkau oleh akal: “Jika Anda ingin orang lain berbuat baik kepada Anda, maka berbuat baiklah kepadanya. Jika tidak ingin orang lain berbuat buruk kepada Anda, maka jangan berbuat buruk kepadanya”. Landasan baik-buruk seperti ini mengandung problem serius. Jika ada orang yang sudah tidak lagi memerlukan kebaikan dari orang lain karena merasa telah memiliki segalanya, motifasi seperti apakah agar orang tersebut bisa tetap berbuat baik dan menjauhi yang buruk? Ketika tidak ada lagi ketergantungan atau kebutuhan pada orang lain, apalagi setelah meyakini bahwa orang lain sudah tidak mampu berbuat buruk padanya (mustaghni ‘amman siwâhu), maka dia tidak termotivasi lagi untuk berbuat baik kepada orang lain.
Kebaikan sejati adalah ketika seseorang berbuat baik karena memang meyakini kebaikan sebagai keharusan dan sebagai tujuan hidup. Etika rasional tidak menjangkau motifasi yang bersifat transenden seperti ini, yakni manusia harus berbuat baik karena perintah dari Dzat Yang Maha Baik. Berdasarkan motivasi transenden dalam berbuat ini, maka untuk membangun masyarakat yang baik diperlukan beberapa persyaratan. Pertama, mengetahui baik buruk. Kedua, memastikan bahwa alasan berbuat baik dan menjauhi yang buruk adalah keyakinan transendental. Kemampuan etika rasional untuk mendorong perilaku masyarakat modern dengan kebaikannya sebetulnya karena dipaksakan oleh sistem hukum yang ada dan dipaksakan secara terus menerus sehingga lama-lama menjadi kebiasaan (habit). Di beberapa negera, sulit ditemukan orang yang membuang sampah di jalan. Orang Indonesia yang tinggal di sana pun ikut terbawa. Sebaliknya, ketika orang-orang negeri itu datang ke Indonesia, kembali menjadi orang jorok dan membuang sampah sembarangan. Hal ini menunjukkan bahwa motivasi untuk disiplin adalah keterpaksaan sistem, karena aturan main yang dipaksakan dan diawasi dengan sangat ketat oleh negara dengan sanksi berat yang benar-benar diterapkan secara tegas dan tanpa, pandang bulu.
Ada sebuah negara yang dinilai sebagai paling rendah tingkat korupsinya dengan skala 0,9. Jika dikaji, prestasi itu pun terjadi bukan karena kesadaran moral, melainkan karena keterpaksaan hukum atas kalkulasi nalar pragmatis; bahwa jika korupsi dibiarkan maka eksistensi negara dan bangsa bersangkutan akan hancur. Jadi, korupsi di sana dikutuk bukan karena korupsi sebuah kemungkaran, yang secara moral harus ditolak, tetapi karena membahayakan eksistensi dirinya. Artinya, jika ada korupsi yang tidak mengancam eksistensi dirinya, maka tentu akan dibiarkan. Ini dibuktikan ketika sejumlah koruptor negeri tetangga bersemubunyi disana berikut uang hasil korupsinya, ternyata mereka tetap dibiarkan karena justru menguntungkan pihaknya. Inilah “moralitas’ yang dibangun berdasarkan rasa takut kepada keburukan dan konsekuensinya (neraka), belum berdasarkan kecintaan terhadap kebaikan dengan segala kemuliaannya (Sorga dan ridlo Tuhannya). Dalam pandangan kaum Sufis, moralitas seperti itu adalah yang terendah derajatnya.
***
Bagaimana dengan umat Islam? Harus dikaui, bahwa Umat Islam mempunyai masalah besar dalam upaya membangun kesadaran etik-moral ini. Pertama-tama karena tema kebaikan dan keburukan sebagai issu utama etika harus dipahami benar oleh akal. Maka, tidak ada keasadaran moral kalau tidak ada proses penalaran oleh akal, ta’aqqul. Sementara dalam sejarah intelektual Islam apresiasi terhadap akal telah lama mandeg akibat pemahaman yang keliru terhadap posisi Al-Ghazali terhadap filsafat. Akibatnya, dengan munculnya dominasi cara keberagamaan yang yang formalistik, Umat Islam berhenti bicara perihal etika dan moralitas sebagai kesadaran yang inherent dan hanief pada fitrah manusia. Yang lebih mereka suka adalah bicara syariat dalam pengertian sistem hukum (legal) tentang mana yang boleh dan mana yang terlarang seperti dikatakan oleh teks (nash).
Padahal etika-moral di satu pihak dan hukum-legal di lain pihak, mempunyai perbedaan yang sangat jelas. Hukum yang dicari adalah kepatuhan, atau bahkan ketakutan, terhadap ancaman. Sementara etika-moral yang diandalkan adalah kesadaran. Di siniliha mengapa umat Islam pada umumnya selalu saja bicara tentang kemestian adanya negara sebagai yang tak bisa dipisahkan (undispensible) dengan keyakinan agamanya. Bahkan syariat tertentu yang sepenuhnya bersifat personal (seperti salat, puasa, dsb) pun hendak disandarkan penegakkannya kepada negara. Bagi mereka, tidak ada kebaikan (baca: perintah agama) dapat ditegakkan tanpa negara; seperti halnya tidak ada kejahatan (: larangan agama) dapat dihindarkan tanpa negara.
Konsekuensi logis dari perspektif ke-Islaman seperti ini adalah munculnya bahaya permissivisme di kalanghan umat Islam manakal negara yang didambakan, negara yang sepenuhnya memikul implementasi syari’at Islam, tidak ada dalam kenyatan. Dan inilah, rupanya, kenyataan yang terjadi selama ini dan khususnya dewasa ini. Segala hal yang sebenarnya menurut akal budi atau standard etik dan moral sebagai “buruk” (seperti: korupsi, nepotisme dan vavoritisme), ternyata begitu banyak dilakukan warga umat, semata-mata karena tidak ada ketentuan syariat (legal normatif) yang secara definitif (qath’iy) menghukumnya “buruk” dan kekuasaan negara pun tidak sungguh-sungguh mengancamnya. Demikian pula, begitu banyak kebaikan dan keutamaan menurut akal budi atau common sense (seperti: pengembangan science, menjaga kelestarian alam dan keindahan lingkungan), tapi sedikit sekali yang peduli untuk menjalankannya, semata- karena tidak ada ketentuan syariat (legal normatif) yang secara definitif (qath’iy) menegaskan kebaikannya dan negara pun tidak sungguh-sunguh menuntutnya.
***
Tapi keberagamaan (Islam) yang serba negara (etatistik) inilah yang justru tengah berkembang sekarang. Seolah tidak ada satupun ajaran Islam yang bisa tegak tanpa negara.
[Masdar F. Mas'udi]
[Masdar F. Mas'udi]
Komentar
Posting Komentar