Selalu Lakukan Riset terhadap Anak-Anak untuk Menilai Kualitas Tontonan
P3M, PENCINTA serial Jalan Sesama pasti sudah bertanya-tanya, kapan tayangan tersebut kembali diputar. Penikmat serial edukasi itu mungkin sudah kangen kepada Tatan, Jabrik, Momon, dan Putri. Mereka adalah karakter utama serial Jalan Sesama.
Serial edukasi sekaligus menghibur tersebut merupakan hasil kerja sama Sesame Workshop, si pemilik lisensi Sesame Street, dengan PT Creative Indigo Production.
Ditemui di kantor Indigo pada Rabu lalu (22/6), Zuhdi langsung menyapa dengan senyum khas. Pria yang hingga kini aktif menjadi PNS dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu tidak menampakkan raut muka lelah, meski bekerja di dua tempat.
Ngobrol ringan sambil ditemani teh hangat, Zuhdi menuturkan bahwa produksi Jalan Sesama sudah masuk tahun atau season keempat. Tiga musim pertama sudah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Penayangan perdana dimulai 2008. Untuk season keempat, produksinya sudah rampung. Tapi, sementara disimpan dulu karena Zuhdi bersama timnya masih mencari kerja sama dengan stasiun televisi yang cocok untuk penayangannya.
Zuhdi menjelaskan, dalam setiap musim, tema utama pendidikan yang ingin disampaikan kepada anak-anak sasaran Jalan Sesama selalu berbeda. Dalam satu musim ada 52 episode. Dia menuturkan, untuk musim pertama dulu, tema utama yang ingin disampaikan adalah tentang keragaman. ’’Lahir di Indonesia, anak-anak harus mulai diberi wawasan bahwa kita hidup beragam,’’ jelas pria kelahiran Jakarta, 4 Juli 1972, tersebut.
Tahun berikutnya, Zuhdi menjelaskan, tema utama Jalan Sesama adalah pembentukan karakter. Dia menuturkan, tidak perlu memberikan contoh yang muluk-muluk kepada anak untuk menanamkan karakter yang baik dan mulia. Membiasakan anak untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa pun, termasuk kepada pembantu rumah tangga, sudah menjadi bagian dari penanaman karakter.
Untuk musim ketiga yang ditayangkan tahun lalu, Jalan Sesama mengambil tema utama kesadaran menjaga lingkungan hidup. Tema tersebut berkaitan dengan isu pemanasan global yang sudah menjadi isu dunia.
Musim keempat yang belum ditayangkan mengambil tema utama inclusiveness atau keterbukaan. Menurut dia, anak-anak terlahir dengan fitrah bisa bergaul dengan siapa pun. ’’Peran keluargalah yang akhirnya membuat anak-anak cenderung bersifat eksklusif,’’ ucap alumnus pesantren Al Masthuriyah, Sukabumi, tersebut.
Dalam setiap episode yang terdiri atas beberapa segmen, kata Zuhdi, pesan-pesan atau muatan pendidikan dibuat sevisual mungkin. Pria yang bergelar doktor dan menekuni disiplin ilmu pendidikan itu menjelaskan, pada fase anak-anak, pesan bisa tersampaikan dengan optimal jika banyak visualisasinya. Sebaliknya, jika disampaikan secara lisan atau pitutur oleh karakter-karakter Jalan Sesama, pesan pendidikan tersebut bakal sulit diserap anak-anak.
Saking bersemangatnya menggarap visualisasi Jalan Sesama untuk menanamkan pesan pendidikan, pernah suatu ketika pesan yang diterima anak-anak salah. Saat itu, jelas Zuhdi, pesan yang ingin disampaikan dalam salah satu segmen Jalan Sesama adalah pelajaran huruf P. Supaya pemirsa anak-anak cepat paham, tim menentukan pisang sebagai contoh benda yang berawalan huruf P.
Nah, visualisasi adegan tersebut berlebihan hingga pesan belajar huruf P itu tidak tersampaikan kepada pemirsa. Saat itu, ceritanya, si Tatan (sosok orang utan betina) menunjukkan sekaligus berteriak: ini pisang! Selanjutnya, Tatan mengupas lalu memakan pisang itu. Kemudian, kulit pisang ia lempar begitu saja. Akibatnya, teman Tatan terpeleset. ’’Saya kira adegan tersebut tidak akan membuat anak-anak berpaling,’’ ucap Zuhdi.
Tapi, setelah dilakukan penelitian terhadap beberapa anak usia 3–6 tahun sebagai sampel, Zuhdi tercengang. Ternyata, anak-anak tidak menyerap pesan belajar huruf P. Sebaliknya, mereka seperti mendapat wejangan bahwa boleh membuang sampah sembarangan. Akhirnya, Zuhdi bersama tim kreatif mengolah kembali adegan tersebut.
Dia menjelaskan, pengerjaan Jalan Sesama berbeda dari serial-serial umumnya. Terutama sinetron. Menurut dia, setelah beberapa episode Jalan Sesama diproduksi, dirinya dan tim langsung mengadakan penelitian atau riset formatif.
Riset tersebut dilakuan untuk menguji apakah pesan-pesan atau muatan pendidikan tersampaikan kepada pemirsa. Selain itu, Zuhdi menguji seberapa kuat tayangan tersebut. ’’Intinya, pertanyaan anak itu suka atau tidak harus terjawab. Jika sudah tidak suka, percuma ditayangkan,’’ tegas suami Sri Wijayaningrum tersebut.
Secara teknis, riset itu melibatkan 20–30 anak dari kelas ekonomi yang beragam. Mereka ditempatkan dalam satu ruangan untuk menonton salah satu episode Jalan Sesama. Dalam ruangan tersebut, anak-anak benar-benar bebas. Tidak ada intervensi dari orang tua atau guru. Mereka bebas, apakah mau menonton Jalan Sesama atau tidak. Menurut Zuhdi, jika anak-anak tertarik, berarti tayangan sudah baik. Jika pesan-pesan yang ingin disampaikan sudah dipahami anak, tayangan itu pun siap ditayangkan di televisi.
Zuhdi lantas menceritakan, awal keterlibatan dirinya dengan produksi Jalan Sesama dimulai pada pengujung 2006. Saat itu, dia sedang merampungkan kuliah doktoral di McGill University, Kanada. Dia mendapat informasi bahwa Sesame Street bersiap mengembangkan sayap di Indonesia. ’’Saat itu, ada kesempatan bagi para ahli pendidikan,’’ kenang Zuhdi. Dia pun mengirimkan lamaran dan akhirnya diterima.
Sebelum memulai proses produksi untuk musim pertama, kata Zuhdi, dirinya sempat melakukan riset di beberapa pulau besar di Indonesia. Riset itu diperlukan untuk mengetahui potensi serta kebiasaan sasaran tayangan Jalan Sesama.
Selain itu, riset tersebut digunakan Zuhdi untuk lebih menghidupkan beberapa karakter Jalan Sesama. Contohnya, untuk menghidupkan karakter Tatan, si orang utan, dia dan timnya meluncur ke Sumatera guna mengetahui langsung perilaku orang utan.
Pascariset lapangan tersebut, Zuhdi menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari beberapa kali seminar. Salah satu seminar itu diikuti unsur guru, ahli pendidikan, pemerhati pendidikan, orang tua siswa, dan unsur-unsur lain. Tujuan seminar tersebut, Zuhdi mendapat masukan ide-ide dan gagasan pesan pendidikan yang bakal ditanamkan di Jalan Sesama.
Setelah semua terkumpul, produksi season pertama Jalan Sesama dimulai pada 2007 dan kemudian ditayangkan pada 2008. Hingga tiga tahun penayangan, Zuhdi menyebutkan bahwa sambutan pemirsa cukup hangat. Saat ini, kata dia, ketika Jalan Sesama tidak lagi nongol di layar kaca, banyak fans yang menyatakan rindu dan bertanya kapan ditayangkan lagi. ’’Unek-unek itu juga terekam di Facebook Jalan Sesama,’’ jelas bapak dua anak tersebut.
Terkait dengan belum ditayangkannya season keempat Jalan Sesama, Zuhdi menjelaskan, hal itu sudah menjadi PR bagi dirinya dan tim Indigo. Dia optimistis, memasuki paro kedua tahun ini, ada stasiun televisi yang bersedia membeli hak tayang Jalan Sesama.
Keyakinan Zuhdi tersebut didasari sambutan pihak-pihak lain terhadap Jalan Sesama. Selama tayang dalam tempo tiga tahun itu, ada beberapa penghargaan yang berhasil disabet Jalan Sesama. Di antaranya, piala emas dalam World Media Festival di Jerman dan Cine Golden Eagle Award di AS untuk kategori children’s entertainment. Di dalam negeri, penghargaan pernah diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sebagai tayangan pendidikan.
Untuk bisa segera tayang, Zuhdi terus menjajaki beberapa stasiun televisi. Selain itu, berusaha meminta pertimbangan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Upaya tersebut dilakukan supaya lebih meyakinkan bahwa Jalan Sesama adalah program edukasi sekaligus menghibur untuk anak-anak.
Usaha tersebut beradu kuat dengan kecenderungan televisi yang lebih mengutamakan penayangan acara-acara bersifat komersial. Celakanya, sulit menemukan muatan-muatan pendidikan, terutama untuk anak-anak, dalam tayangan yang cenderung bersifat komersial tersebut.
Selain bersaing dengan tayangan lain, Zuhdi menegaskan bahwa tim Jalan Sesama butuh sponsor. Selama ini, proses produksi masih ditopang donatur dari AS. Dia menjelaskan, untungnya, tim produksi bisa menghemat. Dengan demikian, anggaran dari donatur yang dialokasikan untuk tiga musim bisa ditekan. Anggaran tersebut masih cukup untuk proses produksi Jalan Sesama satu hingga dua tahun ke depan. (c5/kum)
Serial edukasi sekaligus menghibur tersebut merupakan hasil kerja sama Sesame Workshop, si pemilik lisensi Sesame Street, dengan PT Creative Indigo Production.
Ditemui di kantor Indigo pada Rabu lalu (22/6), Zuhdi langsung menyapa dengan senyum khas. Pria yang hingga kini aktif menjadi PNS dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu tidak menampakkan raut muka lelah, meski bekerja di dua tempat.
Ngobrol ringan sambil ditemani teh hangat, Zuhdi menuturkan bahwa produksi Jalan Sesama sudah masuk tahun atau season keempat. Tiga musim pertama sudah ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta nasional. Penayangan perdana dimulai 2008. Untuk season keempat, produksinya sudah rampung. Tapi, sementara disimpan dulu karena Zuhdi bersama timnya masih mencari kerja sama dengan stasiun televisi yang cocok untuk penayangannya.
Zuhdi menjelaskan, dalam setiap musim, tema utama pendidikan yang ingin disampaikan kepada anak-anak sasaran Jalan Sesama selalu berbeda. Dalam satu musim ada 52 episode. Dia menuturkan, untuk musim pertama dulu, tema utama yang ingin disampaikan adalah tentang keragaman. ’’Lahir di Indonesia, anak-anak harus mulai diberi wawasan bahwa kita hidup beragam,’’ jelas pria kelahiran Jakarta, 4 Juli 1972, tersebut.
Tahun berikutnya, Zuhdi menjelaskan, tema utama Jalan Sesama adalah pembentukan karakter. Dia menuturkan, tidak perlu memberikan contoh yang muluk-muluk kepada anak untuk menanamkan karakter yang baik dan mulia. Membiasakan anak untuk mengucapkan terima kasih kepada siapa pun, termasuk kepada pembantu rumah tangga, sudah menjadi bagian dari penanaman karakter.
Untuk musim ketiga yang ditayangkan tahun lalu, Jalan Sesama mengambil tema utama kesadaran menjaga lingkungan hidup. Tema tersebut berkaitan dengan isu pemanasan global yang sudah menjadi isu dunia.
Musim keempat yang belum ditayangkan mengambil tema utama inclusiveness atau keterbukaan. Menurut dia, anak-anak terlahir dengan fitrah bisa bergaul dengan siapa pun. ’’Peran keluargalah yang akhirnya membuat anak-anak cenderung bersifat eksklusif,’’ ucap alumnus pesantren Al Masthuriyah, Sukabumi, tersebut.
Dalam setiap episode yang terdiri atas beberapa segmen, kata Zuhdi, pesan-pesan atau muatan pendidikan dibuat sevisual mungkin. Pria yang bergelar doktor dan menekuni disiplin ilmu pendidikan itu menjelaskan, pada fase anak-anak, pesan bisa tersampaikan dengan optimal jika banyak visualisasinya. Sebaliknya, jika disampaikan secara lisan atau pitutur oleh karakter-karakter Jalan Sesama, pesan pendidikan tersebut bakal sulit diserap anak-anak.
Saking bersemangatnya menggarap visualisasi Jalan Sesama untuk menanamkan pesan pendidikan, pernah suatu ketika pesan yang diterima anak-anak salah. Saat itu, jelas Zuhdi, pesan yang ingin disampaikan dalam salah satu segmen Jalan Sesama adalah pelajaran huruf P. Supaya pemirsa anak-anak cepat paham, tim menentukan pisang sebagai contoh benda yang berawalan huruf P.
Nah, visualisasi adegan tersebut berlebihan hingga pesan belajar huruf P itu tidak tersampaikan kepada pemirsa. Saat itu, ceritanya, si Tatan (sosok orang utan betina) menunjukkan sekaligus berteriak: ini pisang! Selanjutnya, Tatan mengupas lalu memakan pisang itu. Kemudian, kulit pisang ia lempar begitu saja. Akibatnya, teman Tatan terpeleset. ’’Saya kira adegan tersebut tidak akan membuat anak-anak berpaling,’’ ucap Zuhdi.
Tapi, setelah dilakukan penelitian terhadap beberapa anak usia 3–6 tahun sebagai sampel, Zuhdi tercengang. Ternyata, anak-anak tidak menyerap pesan belajar huruf P. Sebaliknya, mereka seperti mendapat wejangan bahwa boleh membuang sampah sembarangan. Akhirnya, Zuhdi bersama tim kreatif mengolah kembali adegan tersebut.
Dia menjelaskan, pengerjaan Jalan Sesama berbeda dari serial-serial umumnya. Terutama sinetron. Menurut dia, setelah beberapa episode Jalan Sesama diproduksi, dirinya dan tim langsung mengadakan penelitian atau riset formatif.
Riset tersebut dilakuan untuk menguji apakah pesan-pesan atau muatan pendidikan tersampaikan kepada pemirsa. Selain itu, Zuhdi menguji seberapa kuat tayangan tersebut. ’’Intinya, pertanyaan anak itu suka atau tidak harus terjawab. Jika sudah tidak suka, percuma ditayangkan,’’ tegas suami Sri Wijayaningrum tersebut.
Secara teknis, riset itu melibatkan 20–30 anak dari kelas ekonomi yang beragam. Mereka ditempatkan dalam satu ruangan untuk menonton salah satu episode Jalan Sesama. Dalam ruangan tersebut, anak-anak benar-benar bebas. Tidak ada intervensi dari orang tua atau guru. Mereka bebas, apakah mau menonton Jalan Sesama atau tidak. Menurut Zuhdi, jika anak-anak tertarik, berarti tayangan sudah baik. Jika pesan-pesan yang ingin disampaikan sudah dipahami anak, tayangan itu pun siap ditayangkan di televisi.
Zuhdi lantas menceritakan, awal keterlibatan dirinya dengan produksi Jalan Sesama dimulai pada pengujung 2006. Saat itu, dia sedang merampungkan kuliah doktoral di McGill University, Kanada. Dia mendapat informasi bahwa Sesame Street bersiap mengembangkan sayap di Indonesia. ’’Saat itu, ada kesempatan bagi para ahli pendidikan,’’ kenang Zuhdi. Dia pun mengirimkan lamaran dan akhirnya diterima.
Sebelum memulai proses produksi untuk musim pertama, kata Zuhdi, dirinya sempat melakukan riset di beberapa pulau besar di Indonesia. Riset itu diperlukan untuk mengetahui potensi serta kebiasaan sasaran tayangan Jalan Sesama.
Selain itu, riset tersebut digunakan Zuhdi untuk lebih menghidupkan beberapa karakter Jalan Sesama. Contohnya, untuk menghidupkan karakter Tatan, si orang utan, dia dan timnya meluncur ke Sumatera guna mengetahui langsung perilaku orang utan.
Pascariset lapangan tersebut, Zuhdi menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari beberapa kali seminar. Salah satu seminar itu diikuti unsur guru, ahli pendidikan, pemerhati pendidikan, orang tua siswa, dan unsur-unsur lain. Tujuan seminar tersebut, Zuhdi mendapat masukan ide-ide dan gagasan pesan pendidikan yang bakal ditanamkan di Jalan Sesama.
Setelah semua terkumpul, produksi season pertama Jalan Sesama dimulai pada 2007 dan kemudian ditayangkan pada 2008. Hingga tiga tahun penayangan, Zuhdi menyebutkan bahwa sambutan pemirsa cukup hangat. Saat ini, kata dia, ketika Jalan Sesama tidak lagi nongol di layar kaca, banyak fans yang menyatakan rindu dan bertanya kapan ditayangkan lagi. ’’Unek-unek itu juga terekam di Facebook Jalan Sesama,’’ jelas bapak dua anak tersebut.
Terkait dengan belum ditayangkannya season keempat Jalan Sesama, Zuhdi menjelaskan, hal itu sudah menjadi PR bagi dirinya dan tim Indigo. Dia optimistis, memasuki paro kedua tahun ini, ada stasiun televisi yang bersedia membeli hak tayang Jalan Sesama.
Keyakinan Zuhdi tersebut didasari sambutan pihak-pihak lain terhadap Jalan Sesama. Selama tayang dalam tempo tiga tahun itu, ada beberapa penghargaan yang berhasil disabet Jalan Sesama. Di antaranya, piala emas dalam World Media Festival di Jerman dan Cine Golden Eagle Award di AS untuk kategori children’s entertainment. Di dalam negeri, penghargaan pernah diberikan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) sebagai tayangan pendidikan.
Untuk bisa segera tayang, Zuhdi terus menjajaki beberapa stasiun televisi. Selain itu, berusaha meminta pertimbangan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Upaya tersebut dilakukan supaya lebih meyakinkan bahwa Jalan Sesama adalah program edukasi sekaligus menghibur untuk anak-anak.
Usaha tersebut beradu kuat dengan kecenderungan televisi yang lebih mengutamakan penayangan acara-acara bersifat komersial. Celakanya, sulit menemukan muatan-muatan pendidikan, terutama untuk anak-anak, dalam tayangan yang cenderung bersifat komersial tersebut.
Selain bersaing dengan tayangan lain, Zuhdi menegaskan bahwa tim Jalan Sesama butuh sponsor. Selama ini, proses produksi masih ditopang donatur dari AS. Dia menjelaskan, untungnya, tim produksi bisa menghemat. Dengan demikian, anggaran dari donatur yang dialokasikan untuk tiga musim bisa ditekan. Anggaran tersebut masih cukup untuk proses produksi Jalan Sesama satu hingga dua tahun ke depan. (c5/kum)
Komentar
Posting Komentar