Potret dan Kepemimpinan Politik Kyai

Santri Berangkat Mengaji - Potret dan Kepemimpinan Politik Kyai

RMI NU, Media Pesantren

PONDOK pesantren atau pesantren awal mulanya dikenal sebagai bagian dari "gejala desa" (meminjam istilah Imam Suprayogo-Rektor UIN Malang), artinya pondok pesantren merupakan institusi pendidikan Islam tradisional di desa-desa.
Memang keberadaan pesantren bukan dimaksudkan untuk menyiapkan kebutuhan pasar tenaga kerja industri, sebagaimana tuntutan masyarakat modern sekarang ini. Tetapi pesantren didirikan oleh perorangan yang memiliki ilmu agama yang disebut dengan kyai.
Lembaga pendidikan ini dimaksudkan untuk mengajari para santri belajar agama mulai tingkat dasar hingga tingkat lanjut. Kyai bertindak selaku pemimpin dan menjalankan gaya kepemimpinan khasnya dalam menjalankan kegiatan proses belajar mengajar di pesantren.

Kepemimpinan Kyai

Kyai sebagaimana kita ketahui merupakan sentra utama berdirinya pondok pesantren, tidak ada pesantren tanpa kyai. Otoritas kepemimpinan sepenuhnya berada pada kyai. Oleh karena itu keberadaan dan perkembangan pesantren ditentukan oleh kekuatan kyai yang bersangkutan. Jika kyai wafat, maka secara otomatis akan diteruskan oleh para keturunan atau keluarga dekat kyai yang bersangkutan.
Dalam teori kepemimpinan tipe kepemimpinan kyai adalah tipe kepemimpinan otoriter, di mana kepemimpinan menempatkan kekuasaan di tangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal, sehingga semua determinasi "policy" dilakukan oleh sang pemimpin (Sonhaji 2003).
Sekalipun akhir-akhir ini di pesantren sudah dibangun struktur organisasi sebagaimana insitusi pendidikan modern, akan tetapi tampaknya tetap saja kyai memegang otoritas semua hal yang berkaitan dengan dinamika kehidupan pesantrennya. Sedemikian kokoh kekuatan kyai pada masing-masing pesantren, sehinngga organisasi seperti Robithoh Ma’had Islam (RMI) sebagai lembaga persatuan pondok-pondok pesantren tidak terlalu berkuasa ikut ambil bagian dalam mengendalikan internal pesantren. Karakter pesantren memang tidak memerlukan intervensi dari kalanngan eksternal semacam RMI atau pemerintah.
Para pemerhati pondok pesantren mengidentifikasikan pesantren dengan beberapa karakteristik, bahwa dalam pesantren terdapat rumah kyai, masjid dan pondokan santri. Hubungan santri dan kyai menyerupai hubungan bapak dan anak. Kyai tidak saja mengajarkan ilmu pengetahuan agama, tetapi juga membimbing, memberi contoh atau memberikan teladan, dan “mendoakan” para santrinya. Hubungan mereka menyeruak ke berbagai aspek kehidupan, baik aspek rasional maupun spiritual secara mendalam. Kyai memperlakukan santri seperti anak-anak mereka sendiri dengan membagi rasa kasih sayang dan menjadikan dirinya sebagai panutan ideal santri.

Orientasi Pendidikan

Akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dulunya pesantren hanya sebagai tempat mengkaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan dan bandongan, maka saat ini telah membuka pendidikan sistem klasikal dan bahkan program baru yang berwajah modern dan formal, seperti madrasah, sekolah dan bahkan perguruan tinggi. Namun demikian masih harus tetap mempertahankan tradisinya yaitu mempertahankan pengajaran agama secara utuh, karena memang sejak awal bukan dimaksudkan menyiapkan tenaga kerja terampil pada sektor modern sebagaimana yang dituju oleh sekolah dan universitas pada umumnya.
Kehadiran lembaga pendidikan formal ke dalam pesantren dimaksudkan untuk memperkokoh tradisi yang sudah ada yaitu pendidikan model pesantren. Adaptasi dilakukan di pesantren tanpa menghilangkan ciri khas yang dimiliki pesantren (al-muhafazhoh ‘ala al-qodim as-sholeh wa al akhdzu bi al jaded al-ashlah).
Ciri khas pesantren yang mandiri dan otonom dengan kyai sebagai pusat orientasi, menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan dilirik sebagai sistem pendidikan alternatif. Kunci kemandirian dan kekokohan pesantren ada pada kyai. Jika kyainya cukup "kuat", maka pesantren itu akan maju. Karena itu amatlah naïf kalau ada seseorang atau kelompok yang mengecilkan arti pesantren.
Bisa dibayangkan bahwa pesantren yang dikonotasikan sebagai pendidikan tradisional tetap kokoh di tengah pergulatan sistem dan model pendidikan yang kian modern. Sebab kemuliaan pesantren bukan semata-mata pada materi tetapi keberadaannya lebih berorientasi pada pengayaan ilmu dan keluhuran budi pekerti.

Power Politik Kyai

Kita menyadari bahwa bergulirnya reformasi pasca lengsernya Presiden Soeharto tahun 1998 merupakan awal terbukanya kran demokrasi yang memiliki kebebasan dalam menyalurkan aspirasi. Lalu lahir sejumlah partai politik, baik partai berbasis agama seperti partai Islam maupun non Islam (nasionalis).
Bagi partai Islam yang dipimpin seorang kyai atau tokoh agama mungkin akan lebih mudah untuk menarik gerbong massa pesantren agar dalam pemilihan umum memilih partai Islam tersebut. Namun bagi partai nasionalis pun tidak kalah cekatan strategi dan taktik yang dilakukan. Sejumlah kyai pesantren pun banyak yang dilibatkan di organisasi partai nasionalis tersebut, baik sebagai fungsionaris maupun sebagai penasehat spiritual. Jadilah kemudian pesantren dengan jajaran klyainya memasuki era baru perpolitikan nasional yang melibatkan diri dalam situasi politik praktis.
Dengan kekuatan kepemimpinan kyai di pesantren dan juga memiliki pengaruh cukup luas disekitar lingkungan pesantren menjadikan pesantren bidikan partai-partai yang muncul demikian banyaknya sejak era reformasi ini. Partai Islam atau berbasis umat Islam yang dipimpin oleh kyai dan tokoh Islam sudah tentu perlu merangkul kyai di pesantren-pesantren yang memiliki basis massa nyata di desa dan pelosok daerah. Tidak hanya partai Islam tetapi sejumlah partai nasionalis yang tidak bersandarkan asas keagamaan berlomba-lpmba menarik simpati para kyai dan kalangan pesantren.
Tentu saja kondisi semacam ini bukan tanpa masalah. Peran kyai sebagai tokoh netral yang bertugas hanya untuk memberikan fatwa dan nasihat kepada umatnya menjadi tergerus dan tereduksi seolah kyai hanya miliki golongan atau partai tertentu. Sifat ajaran agama yang universal itu menjadi terkooptasi oleh kepentingaan politik sesaat bagi kelompok-kelompok tertentu. Alhasil, obyektivitas kyai menjadi dipertanyakan. Kepemimpinan dan power politik kyai pun terusik. Walaupun demikian keikutsertaan kyai dalam politik praktis pun bukan tanpa maksud. Ide kultural untuk menerapkan ajaran Islam yang paripurna (kaafah) menjadi terbuka besar peluangnya apabila partai yang diusung memenangi pemilu.
Kenyataan saat ini politik di Indonesia banyak disorot oleh karena perilaku dari sejumlah politisi yang tidak menampilkan akhlakul karimah atau budi pekerti agung yang diajarkan agama untuk diterapkan dalam setiap kehidupan berpolitik. Para politisi banyak yang terjebak dan terjerat pada kasus hukum dan moral yang tidak hanya mencerminkan pudarnya kesalehan sosial sebagai pemeluk agama tetapi juga menempatkan peran tokoh agama (kyai) yang terlanjur terjun dalam politik praktis dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Menurut Sonhaji (2003) politik merupakan salah satu sumber power (kekuatan) dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Namun kekuatan politik kyai akan menjadi boomerang atau kontra produktif jikalau banyak politisi tempat para kyai menyalurkan aspirasi politiknya bahklan mendukungnya berada dalam kemelut hukum dan moral seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Oleh karena itu, agar citra pesantren tidak terdegradasi sebagai akibat dari penyimpangan oknum partai politik yang didukung kyai, maka sudah selayaknya para kyai yang memiliki kepemimpinan berpengaruh untuk tidak tergoda akan janji-janji "surga" partai sehingga kyai terlibat di partai politik. Kondisi di atas seharusnya menuntut para Kyai Pesantren untuk ikut berperan memberikan pencerahan dalam kegaduhan politik di Indonesia dan berdiri di semua golongan.
Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain memberikan pencerahan misalnya dengan penjelasan tentang kebutuhan akan arti penting hubbul wathan, ukhuwah basyariah dan ukhuwah wathaniyah dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (NKRI). Pentingnya sebagai warga negara untuk saling nasihat menasihati dan menjaga kehormatan sesama muslim dan non muslim, serta pentingnya penegakan keadilan dan HAM. Hal ini sangat diperlukan sebab kalau masyarakat sudah mulai bosan dengan bualan-bualan politisi yang tidak menyatu antara kata dan perbuatan itu, maka dikhawatirkan rakyat akan melakukan tindakannya sendiri dan kondisi akan menjadi lebih runyam.
(Penulis, mahasiswa Program Doktor Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang)

Post: Media Indonesia, 13 Juni 2011
Link: http://www.mediaindonesia.com/citizen_read/1811

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat