Mengenang KH Ahmad Abdul Haq Watucongol (c. 1928-2010)

Mengenang KH Ahmad Abdul Haq Watucongol (c. 1928-2010)
KH Ahmad Abdul Haq. Image: Majalah Aula
Mbah Mad adalah salah seorang kiai yang cukup disegani banyak kalangan lintas golongan, para ulama dan pejabat. Sejak kecil, ia dikenal memiliki ilmu yang tidak dimiliki para kiai pada umumnya.
S
ALAH seorang putra (alm) KH Ahmad Abdul Haq Dalhar (Mbah Mad), KH Agus Aly Qayshar, menceritakan, bahwa salah satu kelebihan Mbah Mad yang dimiliki sejak kecil adalah mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui oleh masyarakat sekitar. Yang pada awalnya, makam seseorang itu dianggap biasa oleh masyarakat, justru Mbah Mad memberi tahu kalau itu makam seorang wali. Kelebihan ini merupakan warisan dari abahnya, Mbah Dalhar.

Mbah Mad adalah seorang ulama yang cukup berpengaruh, terutama di wilayah Magelang. Di mata para kiai dan umatnya, kharisma Mbah Mad sangat tinggi, di samping karena salah seorang kiai sepuh di kalangan warga NU saat itu.
Sebelum wafat, ia menjadi pengasuh keempat Pondok Pesantren Darussalam Watucongol, Gunungpring, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Pesantren ini didirikan oleh kakek buyutnya yakni Kiai Abdurrauf bin Hasan Tuqa, pada tahun 1820. Pesantren ini juga pernah ditempati Muktamar NU ke-14, pada tahun 1939.

Silsilah Keturunan

Bulan kelahiran Mbah Mad belum diketahui secara pasti. Hanya yang pasti ia lahir pada hari Ahad Kliwon, sekitar tahun 1928. Ayahnya adalah Kiai Dalhar (Mbah Dalhar) yang merupakan kiai kharismatik sekaligus waliyullah.
Kiai Abdurrauf adalah salah seorang senapati perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai Hasan Tuqa sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Karena itu, sebagai keturunan raja Kiai Hasan Tuqa juga memiliki nama sebutan lain, yaitu Raden Bagus Kemuning.

Tempat Doa Restu Pejabat

Mbah Mad dikenal sebagai tokoh spiritual yang cukup disegani hampir semua kalangan, dari masyarakat bawah hingga ulama dan tokoh nasional lainnya karena kharisma dan kewalian yang dipercayai masyarakat.
Bahkan, ia sering disowani seseorang yang akan maju menjadi pejabat. Mereka biasanya sowan dulu ke Mbah Mad untuk minta doa restu. Bukan hanya itu, tokoh-tokoh nasional dan pejabat negara juga sering berkunjung untuk meminta nasihat kepadanya. Tercatat misalnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Jusuf Kalla, Wiranto, Akbar Tanjung dan tokoh-tokoh lainnya tercatat pernah bersilaturrahim ke Mbah Mad. Susilo Bambang Yudhoyono semasa masih aktif dinas di kemiliteran dengan pangkat kapten juga pernah datang kepada Mbah Mad.
Mbah Mad merupakan sosok kiai yang memiliki sikap yang luwes. Pergaulannya cukup luas, tanpa memandang perbedaan agama, aliran dan perbedaan lainnya. Wajar jika ia pernah dipercaya menjadi Ketua Paguyuban Umat Beragama Kabupaten Magelang yang anggotanya adalah dari kalangan pemuka lintas agama.
Abah Dalhar, abahnya Mbah Mad, dikenal sebagai mursyid Thariqah Assyadziliyyah. Sebelum wafat, Mbah Dalhar menurunkan ijazah kemursyidannya kepada Mbah Mad, di samping kepada Kiai Iskandar Salatiga dan KH Dimyati Banten.
Mbah Mad memiliki sedikitnya tiga ribu jamaah yang tersebar di berbagai daerah khususnya di wilayah eks-Karesidenan Kedu (Kota Magelang, Kabupaten Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purworejo, dan Kebumen).

Berjuang Tak Mengenal Waktu

Mbah Mad tidak sekadar menyampaikan ajaran agama dan ibadah, tetapi juga olah jiwa terutama kepada putra-putri serta para santrinya. Meninggalkan tidur malam adalah juga bagian dari riyadahMbah Mad. Dituturkan Gus Ali – Panggilan KH Agus Aly Qayshar – salah satu riyadah yang dijalankan Mbah Mad adalah melek malam. Di samping itu, ia sangat tekun melakukan ziarah ke beberapa makanauliya dan ulama. Riyadah melekan ini ia jalani sejak kecil hingga menjelang wafat.
Ia juga dikenal memiliki kelebihan dari sisi ilmu dibanding kiai pada umumnya. Misalnya, ia bisa mengetahui makam para wali yang sebelumnya tidak diketahui orang sekitar. Bahkan kelebihan ini terlihat sejak dia kecil.
Mbah Mad juga diyakini memiliki ilmu laduni. Pasalnya, ia tidak pernah mondok. Meski pernah mondok di Pesantren Al-Wahdah Lasem yang saat itu diasuh KH Baidlawi, namun, ia hanya bertahan tidak lebih dari seminggu. “Abah lebih banyak berguru langsung ke pada abahnya sendiri,” terang Gus Ali.
Sepanjang perjalanan hidupnya dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan agama kepada umat. Dalam mengemban tugas mulia mengajarkan ajaran-ajaran syar’i. Mbal1 Mad seolah tidak mengenal tempat, waktu, situasi, dan kondisi. Bahkan di tempat yang sukar dilalui kendaraan, ia tetap bersedia dengan berjalan kaki.
Menurut Gus Ali. Mbah Mad sering berpesan kepada putra-putrinya agar selalu menghormati tamu, tidak meremehkan pejabat, serta menyapa kepada semua siapa pun tanpa melihat status sosial maupun agamanya.
Mbah Mad memiliki tiga istri yakni Hajah Jamilah (almarhum), Hajah Istianah (almarhum). dan Hajah Khafshah. Dari pernikahannya, dia dikaruniai 9 anak. yang dua di antaranya sudah meninggal dunia. Cucunya ada 32 orang dan 10 cicit.
Mbah Mad menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Harapan Kota Magelang, pagi sekitar pukul 05.50 WIB, Kamis, 8 Juli 2010 lalu.
Hadir dalam acara pemberangkatan jenazah di antaranya KH Maimun Zubair dari Sarang, KH Hamid Baidlawi (Rembang), Drs H Lukman Saifuddin Zuhri (Wakil Ketua MPR RI), Bupati Magelang Ir H Singgih Sanyoto, Bupati Wonosobo, Walikota Magelang, Ketua DPRD Kabupaten dan Kota Magelang, serta para kiai lainnya.

Post: Rubrik Uswah Majalah Aula, Desember 2010
Repost: Pengurus Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PP-RMI-NU)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat