Pergolakan Di Jantung Tradisi , NU yang saya amati
Logo Nahdlatul Ulama |
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di negeri ini , bahkan di dunia, selalu menarik untuk dicermati secara seksama, bahkan kita tidak perlu heran bila banyak pengamat dari luar negeri menelusuri sejarah ormas Islam yang berdiri sejak tahun 1926 ini. NU yang juga memiliki ciri khas sebagai ormas yang identik dengan pesantren.
Namun dalam perjalanan panjangnya, dinamika NU sudah bergerak sedemikian rupa menuju progresifitas pemikiran. Bahkan, ditengara pergolakan pemikiran di dalam tubuh NU telah berkembang menerabas “tradisionalitas” itu sendiri.
Membandingkan NU dengan gerakan Islam kontemporer atau gerakan Islam alternatif sesungguhnya kurang pas, dimana akibat perbadingan itu, lahirlah kesimpulan seperti digunakan Deliar Noer bahwa NU itu tradisional, atau seperti sering digunakan Gus Dur bahwa NU itu Moderat.
Pergolakan di Jantung Tradisi |
Kesimpulan seperti ini akan muncul apabila gerakan NU tetap disandingkan dengan gerakan-gerakan Islam kontemporer. Demikian pandangan As’ad Said Ali yang dilahirkan dari keluarga pesantren pada tahun 1949 di Kudus, Jawa Tengah, yang dituangkannya dalam buku ” Pergolakan Di Jantung Tradisi”
Dari pada terburu-buru melakukan perbandingan yang sering melahirkan kesimpulan meleset, As’ad Said Ali mengajak semua ummat untuk lebih dahulu memahami secara mendalam bagaimana konstruksi cara pandang masyarakat NU, atau luasnya Sunni Klasik, serta pola-pola respons mereka terhadap dinamika konyemporer.
Sudut pandang terbaik dalam memahami NU, sebenarnya mengembalikan itu semua dalam tradisi-tradisi yang berkembang di pesantren. NU dan pesantren adalah sesuatu hal yang berbeda, walaupun keduanya mempuyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan, dimana kultur dalam NU adalah menifestasi dari tradisis dan norma yang berkembang di pesantren.
Memang, dari segi institusi NU adalah sebuah organisasai kemasyarakatab yang bidang garapannya cukup luas, termasuk memajukan pesantren-oesantren. Tetapi, tidak berarti NU adalah organisasi supra pesantren, yang mempunyai otoritas penuh terhadap pesantren dan kiai.
Dalam realitasnya, dua institusi ini mempunyai otonomi masing-masing, sehingga suatu saat bisa berdampingan, namun dalam kasus tertentu bisa mengambil sikap yang berbeda.
As’ad Said Ali dalam bukunya ini, memberikan pandangan bagi kita bagaimana NU memandang masalah politik dan kenegaraan yang pendekatannya dilakukan serba fiqh yang sudah tertanama dikalangan nahdliyyin .
Walaupun fiqih klasik sebagai sandaran kalangan NU tidak menyediakan perangkat hukum fiqh yang memadai dan menjawab fenomena kontemporer. Kalangan NU tetap bersikukuh untuk melihatnya dalam prespektif fiqh klasik.
Pendekatan mazhab secara qauly, metode yang paling banyak digunakan untuk menjawab persoalan kontemporer selalu menemukan solusi yang elegan tanpa ke luar dari koridor fiqh klasik dan tata cara bermazhab dengan pola qauly. Inilah keunikan cara bermazhab NU.
Salah satu tekan politik yang dirasakan pesatren pada tahun 1970-an adalah program pemerintah untuk melakukan penyeragaman kurikulum madrasah yang umumnya dikelola pesantren. Kebijakan itu seolah-olah mengabaikan sistim pendidikan pesantren yang sudah mapan.
Walaupun kebijakan pemerintah kala itu memumculkan resistensi, namun dengan sangat terpaksa dan demi menjaga keberlangsungan , sebagian pesantren mengadopsi kurikulum madrasah yang dirumuskan Departemen Agama.
Fenomena kekalahan pesantren dalam menghadapi negara Orde Baru telah mengundang keprihatinan dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sehingga harus merelakan keinginanya bersekolah ke Universitas McGill, Kanada .
Untuk membebaskan NU dan pesantren dari belenggu inferioritas dan mengangkat eksitensi dunia pesantren dalam publik yang lebih luas, Gus Dur mulai bekerja dengan melakukan serangkaian esai mengenai dinamikan kehisupan pesantren. Gus Dur berbicara kepada kalangan kelas menengah, bahwa dunia pesantren bukanlah dunia status. Pe,ikiran pesantren yang terkesan tradisional itu menyimpan potensi kuat untuk melakukan transformasi sosial.
Implikasi Politik Khittah
Keputusan NU kembali pada khittah Tahun 1926, tidak hanya memutar bandul politik NU. Tetapi juga muncul dampak lain yang tentu menjadi masalah tersendiri bagi NU. Reposisi sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyah ternyata berimpilikasi panjang menginggat setting lahirnya keputusan khittah NU 1926 Situbondo justru dari pergumulan politik.
” Keputusan keluar dari panggung politik bukanlah berarti NU berhenti berpolitik, melainkan mengubah haluan politik dari peran opisisional secara formal menjadi berpolitik secara informal, tanpa harus menggunakan embel-embel partai .
Peran seperti ini, di samping cocok dengan semangat Khittah, juga dapat menjadi saluran aspirasi politik, tidak dalam bentuk jabatan, melainkan keinginan untuk mewarnai kebijakan. Jadi, dunia politik bagaimanapun tetap mempesona partai,”tulis As’ad Said Ali
Dalam jangka pendek implikasi politik NU yang kembali ke Khittah membuat hubungan NU dan pemerintah mencair. Pemerintah, pun harus berterima kasih kepada NU karena Ormas ini berdiri paling depan dalam menerima asas tunggal.
Bersamaan membaiknya hubungan dengan pemerintah, lahirnya Khittah membuat hubungan NU dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memburuk, dimana lahirnya Khittah seakan menjadi legitimasi bagi aktivis NU yang kecewa terhadap PPP untuk menggelar penggembosan terhadap kantong-kantong PPP. Penggembosan itu memang sangat terasa dimana PPP kehilangan suara yang cukup drastis dalam Pemilu 1987. Sebaliknya, hubungan sejumlah aktivis NU makin merapat ke Golongan Karya (Golkar), yang puncaknya ditandai dengan kesediaan Gus Dur sebagai wakil utusan golongan dalam Sidang Istimewa MPR dan masuk dalam fraksi Golkar .
Hubungan baik NU dengan pemerintah Orde Baru ketika itu tidaklah berlangsung lama , merapatnya kelompok Islam modernis dalam pemerintahan Soeharto yang ditandai dengan pembentukan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) di bawa BJ Habibie , peran NU dalam pusat kekuasaan mulai menurun .
Hubungan yang tidak harmonis antara NU dan Pemerintah kembali meruncing dan terlihat jelas pada Muktamar Cipayung tahun 1994, pemerintah tidak meretuis Gus Dur kembali memimpin NU. Karena Gus Dur tidak mau mundur, pertarungan di muktamar pun berlangsung segit.
Walaupun tidak mendapat restu, Gus Dur pada muktamar itu membuktikan kepada pemerintah bahwa dirinya dipercaya kalangan nahdliyyin. Berbagai upaya dilakukan pemerintah, tetapi Gus Dur tetap tak teroyahkan.
Liberalisasi politik yang terjadi pada masa reformasi dimanfaatkan Gus Dur untuk membangun kekuatan politik dengan mendeklarasikan pembetukan Partai Kebangkitan Nasional (PKB), sehingga makna Khittah itu makin kabur. Keterlibatan NU dalam dunia politik semakin tidak terbendung taatkala Gus Dur pada tahun 1999 terpilih menjadi presiden.
As’ad Said Ali mengakui di era kepemimpinan Gus Dur di NU, daya kritis NU terhadap pemerintah menjadi inspirasi tersendiri di kalangan pesantren, seiring dengan harapan Gus Dur yang ingin membangun NU sebagai sebuah kekuatan mandiri dalam berhadapan dengan negara.
Sikap nyata kemandirian tersebut adalah meletakkan NU sebagai eksponen nyata “perlawanan” terhadap kekuasaan, khususnya yang di lakonkan NU era orde baru. Meski juga diakui manuver Gus Dur juga seringkali menggandeng jaringan kekuasaan dalam komunitas NU.
Sebagai anak yang dilahirkan dari keluarga pesantern, As’ad Said Ali bukan hanya teliti dalam menelusuru perjalannan NU, tetapi dia juga mampu membeberkan perjalanan NU yang begitu lengkap. Melalui bukunya ini As’ad Said Ali mengingatkan kembali bagaimana NU didirikan oleh KH Hasyim Asyari yang tujuannya bukan hanya untuk melestarikan nilai-nilai Aswaja, tetapi juga kepedulian untuk meningkatkan derajad ekonomi warga NU.
Bahkan, dalam Kiai Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI) memberikan pandangannya terhadap buku ini sebagai sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU.
Gus Dur menilai pemetaan yang brilian, cerdas dan telah dihadirkan As’ad Said Ali sehingga buku ini menurut Gus Dur merupakan ma’alim (rambu-rabu) perjalanan NU ke depan. (andy yanto aritonang)
Post: Berita Sore
Link: http://beritasore.com/2009/05/23/pergolakan-di-jantung-tradisi-nu-yang-saya-amati/
Komentar
Posting Komentar