Taushiyah Pertemuan Semarang
Pertemuan kiai-kiai pesantren kali ini terasa membawa kesan tersendiri. Di saat pengelola negara ini meninggalkan mandat rakyat, sementara para wakilnya sibuk dengan urusan partainya masing-masing. Di saat para pengusaha besar menganut satu-satunya motif yaitu bagaimana mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya (laissez-faire). Disaat semakin banyaknya kalangan yang menggunakan agama sebagai alat justifikasi kepentingan; para kiai-kiai pesantren ini dengan penuh kesadaran dan kearifan memberikan taushiyah kepada segenap elemen bangsa ini.
Ya, para kiai-kiai pesantren yang bahkan sebelum zaman kemerdekaan ini selalu mengedepankan kebangsaan, sampai saat ini terus menerus mengawalnya. Seakan-akan mereka tidak rela melihat bangsa tercinta ini hancur dari dalam. Pada hari Sabtu, 10 Pebruari 2007, dengan penuh keprihatinan, mereka berkumpul dan merefleksikan segala persoalan yang menimpa bangsa ini di Pon Pes Edi Moncoro, Semarang. Seperti biasa, sebagai bukti dari peran keulamaan, mereka mengeluarkan taushiyah. Pesan-pesan sebagai hasil musyawarah ini ditujukan kepada pemerintah, jajaran pengurus NU, para kiai, muballigh, tokoh masyarakat dan khalayak umum. Tulisan ini secara khusus membahas tentang taushiyah yang ditujukan kepada para penanggung jawab utama negeri ini alias pemerintah karena dipundak merekalah roda kehidupan negera ini dikelola.
Dalam musyawarah yang langsung dipimpin oleh Rais ’Am Nahdlatul Ulama, K.H. Ahmad Sahal Mahfudz ini, mereka menghasilkan empat point taushiyah untuk pemerintah. Pertama; sebagai pengelola atau pengasuh lembaga pendidikan agama, para kiai-kiai pesantren sangat merasakan betul bahwa pendidikan nasional yang berlangsung sekarang ini masih lebih menekankan kepada sisi intelektual dan kurang memperhatikan nilai-nilai moral dan sendi-sendi akhlaqul karimah.
Hal ini sangat berasalan karena fakta mengatakan pendidikan kita tidak mampu menciptakan manusia-manusia unggul yang bermoral tetapi justru menciptakan manusia yang tidak mempunyai rasa malu, bermental korup serta suka melakukan tindak kekerasan. Bahkan, seiring dengan merebaknya komersialiasi, terciptalah jurang pemisah dalam menikmati pendidikan itu sendiri. Bagi si kaya, mereka bebas menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan manapun dia suka. Sebaliknya, bagi si miskin, bagaimanapun cerdasnya, jika tidak punya uang silahkan menikmati pendidikan dengan fasilitas apa adanya.
Menyadari betapa pentingnya peranan pendidikan serta banyaknya anak bangsa yang belum bisa menikmatinya, para kiai pesantren ini memberikan peringatan serius kepada pemerintah agar segera menanganinya. Pendidikan adalah hak bagi semua warga negara. Tidak boleh ada satupun anak bangsa yang tidak bisa sekolah hanya gara-gara persoalan biaya. Pendidikan bagi semua (education for all) harus menjadi acuannya.
Kedua; melihat perkembangan akhir-akhir ini, bencana datang silih berganti. Bencana telah memenuhi seluruh relung dan sudut negeri ini, mulai dari darat, laut bahkan udara. Menurut para kiai, banyaknya bencana, baik alam maupun sosial, hendaknya dimaknai sebagai peringatan keras dari Tuhan. Hal ini semestinya mendorong semua pihak untuk bertobat, mawas diri, dan lebih medekatkan diri pada-Nya. Untuk itu, selain melakukan pertobatan nasional, pemerintah harus melakukan tindakan merehabilitasi alam yang semakin rusak ini dan meningkatkan manajemen penanggulangan bencana terutama terhadap masyarakat.
Para kiai sangat merasakan bahwa kerusakan alam akibat ulah manusia ini telah mencapai tingkatan yang serius dan membahayakan. Pergantian musim selalu dibarengi dengan pergantian bencana. Jika musim kemarau terjadi kebakaran dimana-mana dan jika musim hujan, terjadi banjir bahkan di tempat elite yang ”seharusnya” tidak terjadi. Untuk itu, para kiai menyarankan agar pemerintah tegas dalam menegakkan peraturan dan perundang-undangan yang ada untuk memberikan kesempatan bagi bumi menyembuhkan luka-lukanya, menjamin kelestarian alam dan keselamatan manusia.
Ketiga; salah satu problem besar yang melanda negeri ini adalah penegakan hukum. Banyak sekali kasus hukum besar justru bebas dari jerat pengadilan. Pepatah mengatakah, jika suatu negara mengalami masalah sistem politik atau ekonominya, maka negara tersebut masih bisa bertahan. Akan tetapi, jika yang mengalami masalah adalah persoalan hukum maka hampir bisa dipastikan suatu negara akan hancur. Para kiai sangat tidak menghendaki hal ini terjadi di Indonesia.
Mereka menghendaki, penegakan hukum seharusnya dipelopori dan diteladankan oleh para penegak hukum dan orang-orang yang mengerti hukum, sehingga supremasi dan kepastian hukum menjadi nyata bagi semua pihak. Memang, penegakan hukum harus dimulai dari para penegak hukum itu sendiri. Tidak bisa membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Orang-orang yang berkecimpung dalam bidang hukum harus mempunyai track record bagus serta terbukti bermoral tinggi.
Keempat; seiring dengan terbukanya kran demokratisasi, lembaga-lembaga sosial maupun politik semakin banyak. Masyarakat kita semakin tersadar bahwa dalam kehidupan terdapat orang lain (the other) yang berbeda kultur, kepercayaan dan kepentingan. Dalam mencapai masing-masing cita-cita tersebut, pemerintah melewati peraturannya
harus selalu menjaga kerukunan dengan memahami bahwa perbedaan pendapat dan sikap adalah fitri dan manusiawi hingga jangan sampai dijadikan alasan untuk bermusuhan.
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius yang salah satu cirinya sangat tergantung kepada pimpinan. Sifat komunalistik ini harus dipahami oleh pemerintah dengan terus menerus memberikan pemahaman kepada masyarakat, tentu juga melewati para agamawannya, dalam mengembangkan sikap toleransi. Menghormati keyakinan masing-masing individu dengan tidak saling mengkafirkan adalah hal mutlak dalam kehidupan yang beragam ini.
Pada akhirnya, hasil musyawarah para kiai pesantren di Semarang ini seyogyanya diperhatikan penuh oleh pemerintah sebagai pelaksana. Sumbangan para ulama pesantren sangat banyak terhadap negeri ini hingga wejangan yang diberikan patut diperhatikan. Pemerintah tidak perlu meniru kegagalan pemerintahanan sebelumnya yang diantara sebabnya adalah meninggalkan ulama yang berjasa besar terhadap negeri ini! Wallahu a’lam bi al-shawwab
Oleh: Masykurudin Hafidz
Warga NU, tinggal di Jakarta
Komentar
Posting Komentar