NU Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam & Fundamentalisme Neo-Liberal
Cover Buku NU Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam & Fundamentalisme Neo-Liberal - Ahmad Baso image: www.rmi-nu.or.id |
Judul Buku : NU Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam & Fundamentalisme Neo-Liberal
Penerbit : Erlangga
Penulis : Ahmad Baso
Tahun Terbit : Cet 1: 2006
Kertas & Halaman : Isi kertas HVS.
Ukuran Buku : Soft Cover
ISBN : 978-781-486-6
NU Studies berusaha membuka mata Anda ke segala arah, ke segenap penjuru angin. Yakni dengan melihat segenap retorika dan kampanye ide-ide dari luar dalam konteks, siyaqul kalam atau asbabun nuzul-nya. Baik kelompok liberal pro Amerika maupun kelompok Islam berjenggot, sama-sama muncul dari konteksnya masing-masing. Dan konteks itulah yang harus dibuka dan dipaparkan selebar mungkin kepada publik, terutama kepada kalangan Nahdliyin secara khusus dan kepada komunitas bangsa ini secara keseluruhan. Ini agar bangsa kita tidak mudah dipecah-pecah atau diadudomba oleh pihak luar.
NU Studies hadir dalam konteks kampanye perang melawan terorisme, benturan peradaban, dan perang ide-ide (war of ideas) yang dilancarkan Imperium AS, di satu pihak, dan dalam konteks al-ghazw al-fikri (invasi pemikiran) yang diusung kelompok gerakan Islam kanan di pihak lain. Muncul tarik-menarik di antara kedua kutub ini, antara menjadi moderat-liberal atau menjadi Islami (plesetan dari fundamentalisme dan radikalisme). Di sini agama menjadi lahan eksploitasi dan komodifikasi.
Kedua kutub tersebut sama-sama menampilkan penyeragaman cara berpikir, yang menyempal dari tradisi beragama dan kultural bangsa Indonesia. Satu kutub berkiblat ke pusat neo-liberal di AS; sementara kutub lainnya berkiblat ke Saudi Arabia. Yang pertama berbicara tentang liberalisasi Islam, dengan menggerus potensi kritis Islam sebagai agama populisme dan pembebasan. Sementara yang terakhir berbicara tentang pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik Indonesia, dengan mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, dan bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.
Dalam konteks komodifikasi dan penyeragaman seperti inilah, NU Studies hadir. Ia muncul untuk membuka wawasan Anda, dengan berbagai pilihan dan perspektif. Ia berusaha keluar dari dogma dikotomi-Manichean yang dipaksakan oleh wacana imperial Benturan Peradaban. Ia hadir mengkomunikasikan warna-warni kehidupan dalam memandang agama, realitas politik, ekonomi, dan kebangsaan. Ia membuka ruang dialog dan diskursus rasional, dan bukan fundamentalisme, teriakan, atau ancaman.
Kedua kutub tersebut sama-sama menampilkan penyeragaman cara berpikir, yang menyempal dari tradisi beragama dan kultural bangsa Indonesia. Satu kutub berkiblat ke pusat neo-liberal di AS; sementara kutub lainnya berkiblat ke Saudi Arabia. Yang pertama berbicara tentang liberalisasi Islam, dengan menggerus potensi kritis Islam sebagai agama populisme dan pembebasan. Sementara yang terakhir berbicara tentang pemurnian agama dan puritanisasi tatanan sosial-politik Indonesia, dengan mengabaikan kenyataan bahwa kita adalah orang Indonesia yang beragama Islam, dan bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia.
Dalam konteks komodifikasi dan penyeragaman seperti inilah, NU Studies hadir. Ia muncul untuk membuka wawasan Anda, dengan berbagai pilihan dan perspektif. Ia berusaha keluar dari dogma dikotomi-Manichean yang dipaksakan oleh wacana imperial Benturan Peradaban. Ia hadir mengkomunikasikan warna-warni kehidupan dalam memandang agama, realitas politik, ekonomi, dan kebangsaan. Ia membuka ruang dialog dan diskursus rasional, dan bukan fundamentalisme, teriakan, atau ancaman.
--------------------------------------------
Nahdlatul Ulama - Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
--------------------------------------------
Ahmad Baso, lahir di Makassar, 14 November 1971. Nyantri di Pesantren An-Nahdlah Makassar (1985-1990) di bawah asuhan almaghfur-lah Kiai Haji Muhammad Haritsah AS. Anggota Komnas HAM RI (periode 2007-2012) dan Wakil Ketua PP Lakpesdam-NU (2010-2015). Diantara buku yang ditulisnya: Civil Society versus Masyarakat Madani (Pustaka Hidayah, 1999), Post-Tradisionalisme Islam (LKiS, 2000), Plesetan Lokalitas: Politik Pribumisasi Islam (Desantara, 2002), dan Islam Pasca-Kolonial: Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme (MIZAN, 2005), NU Studies (Erlangga, 2006).
--------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar