KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) : Berprestasi Besar Pada Usia Muda
KH. Abdul Wahid Hasyim
(1914-1953)
Berprestasi Besar Pada
Usia Muda
KH. Wahid Hasyim (1914-1953) |
Pada tanggal 22 Desember
1951, sebuah majalah yang terbit di ibu kota memuat artikel yang secara keras
mengritik para tokoh Islam. Penulisnya adalah Ma’mum Bingung. Di bawah judul
tulisa “Umat Islam Indonesia Menunggu Ajalnya tetapi pemimpin-pemimpinnya tidak
tahu”, Ma’mum Bingung menguraiikan dua peristiwa yang dinilai mengandung
isyarat penting.
Peristiwa pertama adalah
adanya konperensi yang dihadiri para professor Kristen se-Asia yang berlangsung
di Priangan. Dan, kedua, peristiwa peletakanbatu pertama pembangunan kampus
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang dilakukan oleh presiden (rektor)
universitas negeri itu, Prof. Dr. sardjito. Dalam pertemuan para professor
se-Asia ,secara terbuka disampaikan rencana menjadikan Indonesia sebagai Negara
Kristen. Sedangkan dalam kegiatan peletakan batu pertama Kampus UGM, ada
seorang tokoh yang mengusulkan sesuatu yang dinilai aneh. Karena kampus UGM terletak
di antara Candi Borobudur dan candi Prambanan maka, demikian usulnya, kelak ia
harus bias menjelmakan (reinkarnasi) kedua candi itu.
Dalam tulisan itu Ma’mum
Bingung tidak memprotes ide menjadikan Indonesia sebagai negara Kristen atau
Kampus UGM sebagai jelmaan dari Candi Borobudur dan Candi Prambanan. “ Di dalam
nrgara demokrasi seperti Indonesia, tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang
dikehendaki, boleh mengemukakan pendapat dan pikiran dengan sebebas-bebasnya
asal di dalam batas-batas undang-undang,”demikian tulisnya.
“ hanya kepada umat Islam
yang menurut hokum demokrasi mempunyai hak untuk hidup dan mengeluarkan
pikiran, kami mengemukakan kritik ini. Terutama kepada para pemimpin Islam.
Kami menyesal karena adanya peristiwa demikian itu tidak ada seorang pun dari
pemimpin yang bergerak hatinya untuk menunjukkan kepada umat Islam di Indonesia
agar janga tetap dalam tidurnya yang nyenyak dan mabuk politik yang
membahayakan,” kata Ma’mum Bingung melalui tulisannya.
Siapa Ma’mum Bingung,
penulis artikel pedas itu? Ia tak lain adalah KH. Abdul Wahid Hasyim. Nama
Ma’mum Bingung merupakan salah satu saja dari sekian banyak nama samara yang
dipakainya ketika menulis artikel.
Dari cuplikan pendek
artikel yang ditulis itu, setidak-tidaknya menampakkan tiga hal mendasar yang
memperlihatkan sosok penulisnya. Pertama, betapa KH. Abdul Wahid Hasyim
memiliki jiwa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan paham dan bersikap
proporsional dalam menyikapi setiap persoalan yang dihadapi. Kedua, kepedulian
yang besar terhadap peningkatan kualitas hidup umat Islam. Dan
ketiga adalah sikap kritisnya yang tak pernah padam, meskipun menyangkut umat
Islam sendiri. Melalui tulisannya, kita menangkap getaran keprihatinanyang
sangat dari KH. Abdul Wahid Hasyim, setiap kali ia menyaksikan kondisi umat
Islam ketika itu. Sungguh aneh di mata Wahid Hasyim. Banyak pemimpin Islam
waktu itu yang secra verbal sering menggembar-gemborkan perjuangan Islam
melalui berbagai jalur, terutama jalur polotik, justru membiarkan umat Islam
hidupdalam kualitas yang serba memprihatinkan. Menurutnya, banyak orang yang
membawa bendera Islam untuk kepentingan yang sebenarnya bertolak belakang
dengan semangat Islam.
Melihat profil dan sikap
KH. Abdul Wahid Hasyim seperti itu, segera orang menjadi mafhum jika
menyaksikan hal yang sama juga terjadi pada salah seorang putranya, yakni KH.
Abdurrahman Wahid, ketua umum PBNU saat ini. Rupanya dalam beberapa hal, KH.
Abdurrahman Wahid mewarisi karakter yang dimiliki sang ayah.
***
ABDUL Wahid adalah putra
kelima pasangan KH.Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti K. Ilyas. Anak
lelaki pertama dari 10 orang bersaudara ini lahir pada hari Jum’at Legi, 5
Rabiul Awal 1333 H, bertepatan dengan tanggal 1 Juni 1914 M, ketika di rumahnya
sedang ramai dengan pengajian.
Sewaktu mengandung putra
kelimanya ini, kondisi kesehatan Ny.Nafiqah agak memburuk. Badannya lemah dan
sering sakit-sakitan. Karena itu, suatu hari, Ny. Nafiqah bernazar , “ Jika
nanti bayi yang aku kandung lahir dengan selamat, ia akan aku bawa ke guru ayahnya
(KH. Cholil, red.) di Madura.”
Semula oleh sang ayah ia
akan diberi nama Muhammad Asy’ari, tetapi urung karena kurang sesuai. Sebagai
lelaki pertama, nama Abdul Wahid, diambil dari nama salah seorang datuknya,
dirasakan paling cocok. Namun demikian, ibunya kerap memanggil Abdul wahid
dengan Mudin. Sedangkan beberapa kemenakannya memanggil dengan Pak It.
Kesepuluh putraKH. Hasyim Asy’ari itu adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah,
Izzah, Abdul Wahid, Hafidz, Abdul karim, Ubaidillah, Masrurah, dan Muhammad Yusuf.
Sementara itu, dengan Nyai Masrurah KH. Hasyim Asy’ari dikaruniai empat orang
putra, yaitu Abdul Kadir, Fatimah, Chodijah dan Ya’kub.
Nazar mesti dipenuhi.
Ketika berusia tiga bulan, bayi Abdul Wahid oleh ibunya dibawa ke Bangkalan,
Madura untuk dipertemukannya dengan KH. Cholil. Ny. Nafiqah ditemani Mbah Abu.
Suatu pengalaman
spiritual untuk pertama kali dialami bayi Abdul Wahid. Setibanya di kediaman
Mbah Cholil, sebutan popular KH. Cholil, hari sudah merangkak malam. Cuaca
ketika itu buruk, hujan turun disertai sambaran petir. Anehnya, dalam suasana
seperti itu, Ny. Nafiqah beserta bayinya tidak diperkenankan masuk ke rumah.
Oleh tuan rumah malahan ia diminta tetapberada di halaman. Sudah tentu mereka
harus berhujan-hujanan.
Kasihan melihat bayinya menggigil
teterpa air hujan, Ny. Nafiqah mencoba menempatkannya diemperan rumah biar
tidak kehujanan. Sambil menaruh bayi Abdul Wahid di bawah emperan, Ny. Nafiqah
tak henti-hentinya berucap, “ La illaha illa Anta, hayyu qayyum (
tiada Tuhan melainkan Engkau, hai Tuhan yang menjaga dan menghidupkan)”. Tahu
hal ini, Mbah Cholil marah dan memintanya agar bayi itu kembali dibawa ke
tengah halaman. Ny. Nafiqah menuruti saja perintah itu.
Akhirnya, Mbah Cholil
minta kepada Nyai Nafiqah agar segera meninggalkan tempat itu. Tidak ada
pilihan lain, Nyai Nafiqah pun pulang ke Jombang, dengan seribu satu tanda
tanya yang tidak terjawabkan ketika itu; kenapa Mbah Cholil berbuat seperti
itu. Rupanya kejadian di luar kebiasaan itu menjadi salah satu pertanda
bahwa Abdul Wahid kelak akan menjadi orang yang tergolong luar biasa. Ternyata
hal itu terbukti di kemudian hari.
Mondok Cukup dengan Hitungan Hari
KH. Hasyim asy’ari adalah
seorang kiai yang di kenal sangat disiplin dalam memimpin. Kepemimpinannya
sangat efektif dan unggul sehingga sebagian besar orang yang pernah dipimpn
menjadi “orang” di kemudian hari. Hampir semua kiai kenamaan pengasuh pesantren
pada decade 40-an sampai 70-an pernah berguru kepada KH. Hasyim Asy’ari. Ia
juga berjiwa demokratis. Kedisiplinan dalam memimpin dan sikap demokratisnya
tampak menonjol dalam kehidupan keluarga, terutama dalam mendidik
putra-putrinya. Sebagai ulama besar beliau mengharapkan putra-putrinya bias
mengikuti jejaknya dan berkembang menjadi generasi yang berpengetahuan luas, khususnya
dalam ilmu agama. Untuk itulah suasana kehidupan keluarga diciptakan sedemikian
rupa sehingga mendukung proses pembelajaran seluruh anggota keluarganya. Sejak
dini putra-putrinya diperkenalkan dengan pengetahuan agama Islam, dan
dibebaskan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum. Tidak soal baginya
bagaimana mendapatkan buku bahanbacaan bagi putra=putrinya, sebab secara
ekonomi ia tergolong mampu untuk ukuran saat itu. Dalam suasana seperti itulah
Abdul Wahid tumbuh dan berkembang.
Abdul Wahid memiliki otak
yang sangat cerdas. Pada usia kanak-kanak ia sudah pandai membaca al-Quran, dan
malah sudah khatam al-Quran ketika masih berusia tujuh tahun. Selain mendapat
bimbingan langsung dari ayahnya, Abdul Wahid juga belajar di bangku Madrasah
Salafiyah di Pesantren Tebuireng. Pada usia 12 tahun, setamatnya dari madrasah,
ia sudah bisa membatu ayahnya mengajar adik-adiknya dan anak-anak seusianya.
Sebagai tokoh anak, Abdul
Wahid tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah milik Pemerintah
Hindia Belanda. Ia lebih banyak belajar secara otodidak. Selain belajar di
madrasah, ia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab.
Abdul Wahid mendalami syair-syair berbahasa Arab dan hafal di luar kepala,
selain menguasai maknanyandengan baik.
Pada usia 13 tahun ia
dikirim ke Pondok Siwalan, Panji, sebuah Pesantren tua di Sidoarjo. Ternyata
disana ia hanya bertahan sebulan. Dari Siwalan ia pindah ke Pondok Pesantren
Lirboyo, Kediri. Lagi-lagi di pesantren ini ia mondok dalam waktu yang singkat,
hanya beberapa hari saja. Dengan berpindah-pindah pondok dan nyantri hanya
dalam hitungan hari itu, seolah-olah yang diperlukan oleh Abdul Wahid adalah
keberkatan dari sang guru, bukan ilmunya itu sendiri. Soal ilmu, demikian
mungkin ia berpikir, bisa dipelajari di mana saja dan dengan cara bagaimana
saja. Tapi soal memperoleh berkat dari kiai? Inilah yang agaknya menjadi
pertimbangan utama dari Abdul Wahid ketika itu.
Sepulang dari Lirboyo,
Abdul Wahid tidak meneruskan belajar di pesantren lain, tetapi memilih untuk
tinggal di rumah. Oleh ayahnya pilihan untuk tinggal di rumah dibiarkan saja,
toh Abdul Wahid di anggap bisa menentukan sendiri bagaimana harus belajar.
Benar juga. Selama secara otodidak. Meskipun tidak sekolah di lembaga
pendidikan umum milik pemerintah Hindia Belanda, pada usia 15 tahun ia sudah
mengenal huruf latin dan menguasai Bahasa Inggris dan Belanda. Kedua bahasa
asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri
atau kiriman dari luar negeri.
Pada tahun 1932, ketika
menginjak usia 18 tahun, ia dikirimkan ke Mekkah, di samping untuk menunaikan
rukun Islam kelima juga untuk memperdalam berbagai cabang ilmu agama.
Kepergiannya ke Mekkah ditemani oleh saudara sepupunya, Muhammad Ilyas – kelak
menjadi menteri agama. Muhammad Ilyas memiliki jasa yang besar dalam membimbing
Abdul Wahid sehingga tumbuh menjadi remaja yang cerdas. Muhammad Ilyas yang waktu
itu dikenal sangat fasih dalam Bahasa Arab mengajari Abdul Wahid dalam
menguasai bahasa ini. Di tanah suci ia belajar selama dua tahun.
***
JARANG ada orang yang
memasuki suatu organisasi atau perhimpunan yang didasarkan pada kesadaran
kritis. Pada umumnya orang aktif dalam sebuah organisasi atas dasar
tradisi-mengikut – mengikuti jejak kakek, ayah atau keluarga lain -, karena
ikut-ikutan atau karena semangat primordial. Tidak terkecuali bagi kebanyakan
warga NU. Sudah lazim orang ber-NU karena keturunan: ayahnya aktif di NU maka
secara otomatis pula anaknya masuk dan menjadi aktivis NU. Kelaziman seperti
itu agaknya tidakberlaku bagi Abdul Wahid Hasyim. Proses ke-NU-an Wahid Hasyim
berlangsung dalam waktu yang cukup lama, setelah melakukan perenungan yang
mendalam. Ia menggunakan kesadaran kritis untuk menentukan pilihan organisasi
mana yang akan dimasuki.
Waktu itu April 1934,
sepulangnya dari mukim di Mekkah, banyak permintaan dari kawan-kawannya agar
Wahid Hasyim aktif di perhimpunan atau organisasi yang dipimpin. Tawaran juga
dating dari Nahdlatul ulama. Pada tahun-tahun itu di tanah air memang banyak
berkembang perkumpulan atau organisasi pergerakan, baik yang bercorak keagamaan
maupun nasionalis. Setiap perkumpulan berusaha memperkuat basis organisasinya,
dengan merekrut sebanyak mungkin anggota dari tokoh-tokoh berpengaruh. Wajar
saja jika kedatangan Abdul Wahid ke tanah air disambut penuh antusias para
pimpinan perhimpunan dan diajak bergabung dalam perhimpunannya. Ternyata tak
satupun tawaran itu diterima, termasuk tawaran dari NU.
Apa yang menjadi
pergulatan pemikiran Abdul Wahid, sehingga ia tidak secara cepat menentukan
pilihan untuk bergabung di dalam salah satu perkumpulan? Waktu itu memang ada
dua alternative yang ada di benak Wahid Hasyim. Kemungkinan pertama, ia
menerima tawaran dan masuk ke dalam salah satu perkumpulan atau partai yang
ada. Dan kemungkinan kedua, mendirikan perhimpunan atau partai sendiri.
Di mata Wahid Hasyim,
perhimpunan atau partai yang berkembag waktu itu tidak memuaskan. Itulah yang
menyebabkan ia agak ragu kalau harus masuk dan aktif di partai. Ada saja
kekurangan yang melekat pada setiap perhimpunan. Menurut penilaian Wahid
Hasyim, partai A kurang radikal, partai B kurang berpengaruh, partai C kurang
memiliki kaum yang terpelajar, dan partai D pimpinannya dinilai tidak jujur.
“Di mata saya,ada seribu
satu macam kekurangan yang ada pada setiap partai,”tegas Wahid Hasyim ketika
berceramah di depan pemuda yang tergabung dalam organisasi Gerakan Pendidikan
Politik Muslimin Indonesia.
Geraknya Lambat
Selama empat tahun Wahid
Hasyim menimbang-nimbang berbagai tawaran yang diterima. Sesudah itu, barulah
pilihan dijatuhkan kepada organisasi Nahdlatul Ulama. Tepatnya tahun 1938 ia
menyatakan menerima tawaran untuk aktif di NU. “NU saya pilih
untukmengembangkan sayap dan kecakapan,” ujarnya. Dalam bukuMengapa Memilih
NU? , Wahid Hasyim menjelaskan alas an kenapa ia memilih NU sebagai
tempat “berlabuh”.
Mula-mula ia menyadari
bahwa tidak ada satu pun perhimpunan yang seratus persen memuaskan. “Ibarat
Jodoh, yang sungguh-sungguhmemuaskan kecantikannya, kecerdasannya, rumahnya,
saudaranya, kemenakannya dan lain-lainnya lagi, pasti tidak terdapat di dunia
ini,” ujarnya membuat tamsil. Karena itu, menurut Abdul Wahid Hasyim, harus
dipilih perkumpulan yang paling ringan tingkat kekurangannya. Untuk ini ia
menggunakan tolok ukur tersendiri, yaitu yang pertama ukuran keradikalan. Dari
segi ini, Wahid Hasyim mengakui bahwa NU kurang memenuhi keinginannya.
“Nahdlatul Ulama
merupakan perhimpunan dari orang-orang tua yang geraknya lambat, tidak terasa
dan tidak revolusioner.” tuturnya. Tetapi, ada kenyataan lain yang membuat NU
di mata Wahid Hasyim memiliki nilai lebih dibandingkan perhimpunan lain, bahkan
dari perhimpunan kaum muda sekalipun. Beberapa perhimpunan pemuda Islam yang
ada, selama lebih satu dasawarsa mengembangkan sayapnya,baru memiliki cabang di
20 tempat, dan itu pun tempatnya berdekatan. Sedangkan perkembangan NU di mata
Wahid Hasyim demikian lain. Mesti ada sesuatu yang berbeda dengan NU. Hanya
dalam tempo satu dasawarsa, NU telah berkembang mencapai 60% di berbagai daerah
dan hamper merata di seluruh Indonesia.
Lalu Wahid Hasyim
mempertanyakan sendiri tolok ukur yag pernah dipergunakan sebagai kriteria
untuk menenyukan pilihan. Apa artinya radikal revolusioner jika hasilnya hanya
sebatas itu. Masak selama sepuluh tahun hanya memiliki piluhan cabag yag berada
di satu-dua karesidenan saja. Radikalisme atau revolusioner memang menimbulkan
kesan gagh. “Tapi yang penting dalam hal ini bukanlah kegagahan di dalam
berjuang, melainkan hasil yang dicapai dalam perjuangan itu sendiri,” kata
Wahid Hasyim.
Ada lagi ukuran lain yang
dijadikan Wahid Hasyimuntuk menentukan pilihan, yaitu bayaknya kaum terpelajar
yang tergabung di dalamnya. Jika ukuran ini yang dipakai, jelas NU tidak masuk
hitungan. Untuk mencari akademisi di dalam NU, Abdul Wahid Hasyim
mentamsilkandengan orang mencari penjual es pada jam satu malam. Tetapi
kemudian Wahid Hasyim menanggalkan sendiri penggunaan ukuran “banyaknya kaum
terpalajar ini”. Menurut Wahid Hasyim, banyaknya kaum terpelajar bukan
menjadi jaminan suatu perhimpunan akan maju.
“Bukan hanya otak yang
menyebabkan majunya perhimpunan atau partai, melainkan juga mentalitas,”
ujarnya seraya menujukkan sejumlah contoh. Banyak perhimpunan yang waktu itu
dipenuhi kaum terpelajar, tetapi karena mentalitasnya tidak memadai maka
perhimpunan itu tidak maju-maju. Waktu dan tenaganya habis untuk mengatasi
pergolakan yang terjadi di dalam. Ia lalu menunjuk PKI sebagai salah satu
contoh partai yang solid, padahal ia tidak memiliki banyak kaum terpelajar.
Wahid hasyim juga berbeda
pandangan dengan kebanyakan pemuda Islam lain kala itu dalam melihat NU. Selama
ini kalangan pemuda Islam enggan memasuki organisasi NU karena dua alas an.
Pertama, NU dinilai terlalukuat menuntut anggotanya dalam urusan
menjalankan kewajiban agama. Misalnya setiap anggota NU harus “ beres” dalam
melaksanakan sembahyang, shalat jum’at, puasa atau ibadah lain. NU menerapkan
ukuran yang berat kepada anggotanya dalam soal tersebut. Seandainya ada
kehidupan prive anggota NU yang kurang sedap di mata kiai NU, yang bersangkutan
akan mendapat peringatan yang keras. Karena hal ini menyebabkan orang luar
sering memandang NU sebagai organisasi yang menakutkan.
Alasan kedua, adalah
berkenaan dengan kedudukan ulama di dalam NU yang dinilai memonopoli
perhimpunan. Sedangkan para ulama sendiri selalu menyandarkan pemikiran,
perkataan dan perbuatannya kepada para ulama terdahulu melalui kitab-kitab
karyanya. Menurut anggapan sebagian pemuda Islam waktu itu, kemerdekaan
berpikir dan bergerak di dalam perhimpunan NU sudah tentu akan sangat terhambat
oleh pandangan para ulama yang dipandang kolot seperti itu.
Menghadapi pandangan
seperti itu, Wahid Hasyim semakin berketetapan hati untuk masuk NU. Menurut
Wahid Hasyim, jika orang mau bersungguh-sungguh menyelidiki NU, akan ditemui
kenyataan bahwa kedudukan ulama di dalam NU tidak lebih dari anggota biasa.
Ulama tidak memonopoli perhimpunan. Kedudukan ulama di dalam tubuh NU
digambarkan oleh Wahid Hasyim sebagai penjaga ajaran Islam dari kemungkinan
dilanggar oleh anggotanya. Jika ajaran agama Islam dilanggar oleh penganutnya
sendiri, siapa yang akan bersedia memelihara dan menjaganya, kalau bukan
ulama?
Wahid Hasyim juga tidak
melihat bahwa kehadiran ulama NU sebagai “ penjaga” ajaran Islam menyebabkan
ajaran Islam menjadi statis atau jumud. Para ulama dinilai bisa mengakselerasi
dan menyesuaikan pemikiran keagamaan secara tepat terhadap perkembangan
keadaan, sejauh hal itu tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.
Selama empat tahun Wahid
Hasyim mengembangkan pemikiran kritisnya terhadap eksistensi berbagai
perhimpunan atau partai yang ada, baik yang berdasarkan Islam maupun
kebangsaan. Setelah itu, ia pun memilih NU, dengan keyakinan yang kuat bahwa NU
bisa lebih member kemungkinan banyak bagi kebangkitan umat Islam di Indonesia.
“Faktor-faktor di dalam yang
dulu saya anggap sebagai rintangan bagi kemajuan, malah sebaliknya, justru
menjadi factor yang mempercepat kemajuan,” katanya berargumentasi.
Keterlibatan Wahid Hasyim
di NU dirasakan menambah kekuatan tersendiri bagi perkumpulan ini. Ia memulai
keterlibatannya dari bawah sekali, yaitu dengan menjadi penulis NU Ranting
Cukir, sebuah struktur organisasi di NU paling bawah. Tidak lama sesudah itu ia
sudah dipercaya menjadi ketua NU Cabang Jombang. Kariernya di organisasi melaju
cepat. Selang dua tahun, yaitu tahun 1940, HBNO mengesahkan Departemen Ma’arif
(pendidikan) sebagai departemen yang pengurusnya berdiri sendiri dan memiliki
anggaran rumah tangga sendiri. KH. Abdul Wahid ditunjuk sebagai penanggung
jawab proses pembentukan Ma’arif yang berdiri sendiri itu. Sekaligus KH. Abdul
Wahid Hasyim dipercayai untuk menjadi ketuanya. Inilah awal keterlibatan Abdul
Wahid Hasyim dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama di tingkat pusat (PBNU).
***
MESKIPUN dikenal sebagai
pemimpin nasional yag berpikiran maju, KH. Abdul Wahid Hasyim tetap memiliki
sikap tawadlu’kepada para ulama, lebih-lebih kepada ayahandanya, Hadratussyekh
Hasyim Asy’ari. Hal itu, antara lain, bisa dilihat ketika melakukan percakapan
sehari-hari dengan sang ayah. Kepada KH. Abdul Wahid Hasyim Hadratusy Syekh
Hasyim Asy’ari biasa melakukan percakapan dengan bahasa arab yang fasih. Tetapi
KH. Abdul Wahid Hasyim selalu menjawab dengan bahasa jawa halus (kromo
inggil). KH. Abdul Wahid Hasyim kurang lancer bercakap-cakap dengan
bahasa Arab? Jelas bukan. Penggunaan bahasa Jawa halus saat bercakap-cakap
dengan ayahnya dilakukan KH. Abdul Wahid Hasyim untuk memperlihatkan sikap
tawadlu’ (rendah hati) kepada orang tuanya. Apalagi jika percakapan itu
disaksikan oleh orang ketiga atau orang keempat. KH.Abdul Wahid Hasyim ingin
menghindari jangan sampai ada orang yang tersinggung atau tidak paham dengan
apa yang dibicarakan.
Hidupnya sederhana,
ilmunya mendalam dan cara berpikirnya moderat. Karena itu menjadi mudah baginya
untuk melakukan sesuatu dalam kondisi apa pun. Tidak menjadi soal baginya kalau
suatu waktu harus mengenakan kain pantalon, atau jaz berdasi tanpa mengenakan
kopiah hitam, sementara di kesempatan yang lain ia mesti menggunakan kain
sarung dan baju Takwa. Ketika berada di Jombang, untuk menunjang aktivitasnya
sehari-hari, KH.Wahid hasyim memiliki kendaraan pribadi mobil merk Chevrolet
Cabriolet berwarna putih. Sedang di Jakarta ia biasa menyetir sendiri mobil
fiatnya.
Abdul Wahid Hasyim
bertubuh agak pendek, sedikit gemuk dengan kulit sawo matang dan berhidung
mancung. Lehernya sedikit pendek dan dadanya bidang, dengan tahi lalat di dada,
bahu kiri sebelah atas dan salah satu ujung jarinya.
Pada usia 25 tahun, Abdul
Wahid mempersunting gadis solichah, putrid KH. Bisri Syansuri, yang waktu itu
berusia 15 tahun. Pasangan ini dikaruniai enam putra, yaitu Abdurrahman
Ad-Dakhil (Ketua umum PBNU sekarang), Aisyah (salah seorang wakil ketua PP Muslimat
NU), Salahuddin Al-Ayyubi (insinyur lulusan ITB), Umar (dokter lulusan UI),
Chadijah dan Hasyim.
Salah satu kebiasaan yang
melekat pada diri KH. Abdul Wahid Hasyim adalah kegemaran berkirim surat kepada
kawan-kawannya. Berkirim surat menjadi salah satu media silaturrahmi yang
dipilih di kala yang bersangkutan tidak banyak punya kesempatan untuk
bersilaturahmi secara langsung. Surat-surat itu umumnya berisi pandangan
politik, arah perjuangan dan cita-citanya. Segalanya ditulis dengan bahasa yang
menarik, lancer dan tak lupa dibumbui humor yang segar.
Mendudukan para santri
dalam posisi yang sejajar, atau bahkan bila mungkin lebih tinggi,dengan
kelompok lain agaknya menjadi obsesi yang tumbuh sejak usia mudanya. Ia tidak
ingin melihat santri berkedudukan rendah dalam pergaulan masyarakat. Karena
itu, sepulangnya dari menimba ilmu pengetahuan, ia berkiprah langsung membina
pondok pesantren asuhan ayahandanya.
Pertama-tama ia mencoba
menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum di pesantrennya. Ternyata uji cobanya dinilai berhasil. Karena
itu, pada tahun 1935, model pendidikan yang diujicobakan itu diterapkan secara
besar-besaran, dengan mendirkan madrasah modern bernama madrasah Nizamiyah. Di
madrasah ini diajarkan materi pelajaran yang sebelumnya tidak pernah ada di
pesantren. Ia membuka fan-fan pengetahuan umum yang kala itu masing merupakan
barang asing di dunia pesantren. Karena itu ia dikenal sebagai perintis
pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren.
***
“BIARLAH. Saya tidur di mushala ini saja,”kata
KH. Abdul Wahid Hasyim, ketika melihat bahwa di atas kamar mandi ada mushala.
Waktu itu kebetulan ia berkunjung ke rumah sahabatnya, KH. Saifuddin Zuhri di
Sokaraja, Banyumas.
“Kami telah menyiapkan kamar buat Gus Wahid,”
kata tuan rumah Saifuddin Zuhri.
“Taka pa. Mushala yang berbentuk panggung
seperti ini mempunyai sirkulasi udara yang baik. Biasanya tidak banyak nyamuk.
Kalau toh ada nyamuknya ya biar saja. Anggap saja kita bersedekah sedikit
dengan darah kita kepada nyamuk-nyamuk itu,” jawabnya.
Ia memang terkenal
memiliki citra rasa humor yang tinggi. Kepada siapa saja ia biasa melemparkan
joke-joke segar, untuk mencairkan suasana sehingga komunikasi bisa berjalin
lancar dan akrab. Kepada sopirnya hal yang sama juga berlaku.
“Wah ini ikan gurami, Rasyid!” serunya kepada
sopirnya, Rasyid. “ Ente tahu, orang suka makan gurame otaknya akan bertambah
cerdas. Percaya apa tidak?” ujar KH. Wahid Hasyim.
“Saya percaya. Tentu saja menjadi cerdas,
karena orang selalu berpikir, bagaimana mendapatkan uang agar bisa makan ikan
gurame setiap hari…” jawab Rasyad setengah berseloroh. Serentak meledaklah tawa
mereka. Mereka setuju, karena ikan gurame dikenal lezat.
Sewaktu terjadi peombakan
cabinet dan nama Wahid Hasyim tidak tercantum lagi dalam daftar nama-nama
anggota cabinet baru, beberapa orang tampak kecewa. Padahal yang bersangkutan
cuek saja. Ketika mereka bertemu dengan KH. Wahid Hasyim, kekecewaan itu
langsung ditumpahkan kepadanya.
“Kami merasa kecewa karena Gus Wahid tidak
duduk lagi di cabinet,” kata H. Azhari.
“Tak usah kecewa. Saya toh masih bisa duduk di
rumah. Saya mempunyai banyak kursi dan bangku panjang. Tinggal pilih saja,”
jawab KH. Wahid Hasyim sekenanya sehingga mengundang tawa yang hadir.
“Tapi kami tetap menyesal karena pimpinan kita
tidak dipakai oleh pemerintah…” ujar H. Ichwan.
“Kalau tidak dipakai oleh negara, biarlah saya
pakai sendiri…” sekali lagi KH. Wahid Hasyim menjawab dengan santai dan penuh
humor. Suara tawa kembali meledak.
“Kenapa ya, menjadi
menteri koq Cuma sebentar?” tanya H. Azhari masih penasaran.
“Lho, kalau kita mengantarkan jenazah ke
kuburan, pembaca talqin itu kan selalu mengingatkan kita: wamai
hayatuddunya illa mata’ul ghurur… Memangnya orang menjadi menteri
untuk selamanya,” jawab KH. Abdul Wahid Hasyim. Kali ini dengan nada sedikit
serius, menggunakan I’tibar yang pas.
***
PADA tahun 1939 NU masuk
menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi
partai dan ormas Islam. Setelah masuknya NU ke dalam federasi ini, dilakukan
reorganisasi dan saat itulah KH. Abdul Wahid Hasyim, wakil NU, terpilih menjadi
ketua MIAI.
Selaku pimpinan Masyumi,
Wahid Hasyim merintis pembentukan Hizbullah sebagai sayap “militer” yang
membantu perjuangan umat Islam mewujudkan kemerdekaan. Rencana pembentukan
Hizbullah semula hamper urung. Banyak pihak yang mencurigai kehadirannya dalam
membantu Perang Asia Timur Raya. Tapi KH. Wahid Hasyim, atas nama pimpinan
Masyumi waktu itu, terus gigih memperjuangkan pembentukan Hizbullah hingga
akhirnya berhasil.
Ketika jepang masuk, KH.
Abdul Wahid Hasyim ditunjuk menjadi ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia.
Selain mengadakan gerakan politik di kalangan umat Islam, melalui majelis ini
Wahid Hasyim juga mengembangkan pendidikan di kalangan umat Islam. Tahun 1944
ia mendirikan sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh
KH. A. Kahar Muzakkir.
Perhatian kepada dunia
pendidikan sangat besar. Sewaktu menjadi Menteri Agama, pada tahun 1950 Wahid
Hasyim mengeluarkan peraturan pelaksanaan berdirinya Perguruan Tinggi Agama
Islam Negeri (PTAIN) yang kini menjadi IAIN itu.
Dalam sebuah kesempatan
pidato di depan majelis pengajian NU di Banyumas, KH. Abdul Wahid
menceritakan ihwal keluarnya KH. Hasyim Asy’ari dari tahanan Jepang. Menurut
Wahd Hasyim , banyak orang dengki dan tukang fitnah berusaha menyusahkan NU dan
menyengsarakan Hadratussyeks. Karena Alloh menghendaki lain, maka sia-sialah
usaha mereka. Malahan kini, sekeluarnya Hadratussyekh dari tahanan, beliau
diberi kompensasi oleh Pemerintah Jepang untuk menjabat Shumubucho, Kepala
Jawatan Agama Pusat. Ini merupakan politik kompensasinya Jepang yang waktu itu
merasa kedudukannya makin terdesak dan merasa salah langkah menghadapi umat
Islam.
Mendapat tawaran itu, KH.
Hasyim Asy’ari menerima dengan catatan. Mengingat usia yang sudah uzur dan ia
harus mengasuh pesantren, sehingga tidak mungkin kalu harus bolak-balik Jakarta
–Jombang. Karena kondisi ini, ia mengusulkan agar tugas sebagai Shumubucho
diserahkan kepada Abdul Wahid Hasyim, putranya.
Taktik ini sengaja
dilakukan KH. Hasyim Asy’ari untuk menghindari jangan sampai Nippon tersinggung
atau menjadi curigga terhadap KH. Hasyim Asy’ari. Memang serba sulit posisi
waktu itu. Jika tawaran ini diterima kemungkinan akan menimbulkan fitnah, di
samping kenyataannya usianya sudah uzur. Jika ditolak jelas akan mendatangkan
kecurigaandi pihak Nippon.
Keputusan yang diambil
KH. Hasyim Asy’ari ternyata merupakan sebuah sikap yang sangat brilian dan
memiliki implikasi jauh sekali. Dengan keputusan itu keinginan Jepang terpenuhi
sehingga tidak menimbulkan kecurigaan politis. Selain itu, rupanya secara tidak
langsung KH. Hasyim Asy’ari juga sedang melakukan kaderisasi kepemimpinan pada
level nasional kepada Abdul Wahid Hasyim. Melalui proses inilah mulai terlihat
kelas kepemimpinan Abdul Wahid Hasyim yang sesungguhnya.
Menurut KH. Abdul Wahid
Hasyim, sebenarnya dengan keputusan seperti itu ayahnya ingin memberi contoh
keteladanan kepada generasi muda bahwa pengertian bijaksana bukanlah
menjatuhkan pilihan terhadap suatu yang benar dan yang salah, atau terhadap
sesuatu yang baik dan yang buruk. Bijaksana adalah kemampuan seseorang
menjatuhkan pilihan antara dua perkara yang sama-sama salah atau sama-sama
buruk, tetapi kondisi mengharuskan untuk memilih salah satunya.
Dalam kesempatan itu ia
menjelaskan panjang lebar mengenai kisah penahanan Hadratussyekh dan politik
kompensasi yang dijalankan Jepang. Insya Alloh dalam waktu yang tidak lama lagi
banyak kiai yang akan menduduki kepala Jawatan Agama di daerah-daerah.
“Mudah-mudahan Jawatan Agama itu tidak
menjurus menjadi Jowo tan agom0, Jawa tanpa agama,” ujar KH.
Wahid Hasyim berseloroh.
Tokoh Termuda
Karier Wahid Hasyim dalam
pentas politik nasional terus melejit. Dalam usia yang masih muda, beberapa
jabatan penting ia sandang, baik di kepengurusan NU maupun di Masyumi. Bahkan
ketika Jepang membentuk badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan
kemerdekaan atau dikenal BPUKI, Wahid Hasyim merupakan salah satu anggota
termuda setelah BPH. Bintoro, dari 62 orang yang ada. Waktu itu Wahid Hasyim
berusia 33 tahun, sementara Bintoro 27 tahun. Sebagai tokoh muda ia juga
diangkat menjadi penasehat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Ia juga merupakan
tokoh termuda dari Sembilan tokoh nasional yang menandatangani Piagam Djakarta,
sebuah piagam yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi negara.
Di dalam cabinet pertama,
dibentuk Presiden Sukarno pada September 1945, Abdul Wahid Hasyim ditunjuk
menjadi Menteri Negara. Demikian juga dalam kabinet Sjahrir tahun 1946. Ketika
KNIP dibentuk, Abdul Wahid Hasyim menjadi salah seorang anggotanya mewakili
Masyumi dan meningkat menjadi anggota BPKNIP pada tahun 1946.
Setelah terjadi
penyerahan kedaulatan dan berdirinya RIS, dalam kabinet Hatta tahun 1950 ia di
angkat menjadi Menteri Agama. Jabatan Menteri Agama terus dipercayakan
kepadanya selama tiga kali kabinet, yaitu Kabinet Hatta, Natsir dan Kabinet
Sukiman.
Pada tanggal 1 Mei 1952,
dalam muktamarnya di Palembang NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi
partai politik sendiri. Sesudah keluarnya NU dari Masyumi, KH. Wahid Hasyim
menulis sepucuk surat kepada PB Masyumiyang menyatakan alas an betapa
pentingnya Masyumi mengubah struktur organisasi menjadi sebuah badan federasi.
Dengan struktur yang demikian maka semua organisasi yang berdasarkan Islam
dapat menjadi anggotanya dan dengan demikian dapat dipersatukan kembali potensi
umat Islam dalam melakukan perjuangan. Seruan itu ternyata tidak ditanggapi
pihak Masyumi. Kemudian Wahid Hasyim menyampaikan gagasan pembentukan badan
federasi itu kepada Partai Serikat Islam Indonesia dan partai Perti (Pergerakan
Tarbiyah Islami) dan ternyata disambut positif.
Dalam rapat badan
persiapan, disetujui federasi itu dinamakan Liga Muslimin Indonesia.
Peresmiannya dilakukan di serambi Gedung Parlemen Pejabon (kini Gedung Deplu)
pada tanggal 30 Agustus 1952, bertepatan dengan hari wukuf di Arafah pada musim
haji tahun itu. Menurut aggaran dasarnya, federasi ini dibentuk untuk
mewujudkan masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan hokum Allah dan sunnah
Rasulullah. Untuk mewujudkan tujuan itu , federasi ini berusaha mengatur
rencana bersama mengenai langkah-langkah besar bagi kepentingan umat Islam di
Indonesia dalam segala lapangan kehidupan.
Selama menjadi Menteri
Agama, KH. Abdul Wahid Hasyim melihat tanda-tanda munculnya sikap manja di
kalangan umat Islam, suatu sikap yang sangat tidak disukai olehnya. Umat Islam
seringkali terlalu mengandalkansupport dari pejabat yang beragama
Islam, terutama kepada Menteri Agama. Sikap ini lambat laun dinilai oleh Wahid
Hasyim melahirkan menurunnya semangat berusaha dan kurangnya rasa percaya diri.
Merasa punya menteri yang bisa dimintai bantuan apa pun,terutama bantuan
materi, dalam banyak hal umat Islam menjadi menjadi manja. Memang ini dirasakan
cukup dilematis. Jika kebutuhan umat Islam tidak dipenuhi, akan menimbulkan
perasaan tidak tenang dari kalangan Islam. Apalagi secara objektif kondisinya
memang perlu dibantu. Tetapi bila setiap kebutuhan terus menerus dipenuhi,
dikhawatirkan menimbulkan sikap manja dan melemahnya semangat kemandirian.
Pada suatu waktu, KH.
Wahid Hasyim mengeluhkan kondisi yang dirasakan itu kepada KH. Saifuddin Zuhri.
“Apa saya tidak salah memberikan bantuan keuangan kepada umat ini?” ujar Wahid
Hasyim dengan nada bertanya. Kenapa?
“Sejak dulu umat Islam tidak pernah mendapat
bantuan material atau moral dari pemerintah Hindia Belanda. Umat memiliki
kepercayaan pada diri sendiri yang demikian besar. Dengan kemampuan sendiri dan
semangat gotong royong, mereka mendirikan masjid, madrasah, pesantren dan
bangunan untuk kepentingan agama lainnya. Tapi kini, setelah merasakan bantuan
dari Departemen Agama, mereka menjadi manja,” katanya.
“Kan sudah selayaknya Departemen Agama
membantu umat Islam, umat yang serba terbelakang,” kata KH. Saifuddin Zuhri
menimpali.
“ Membantu memang harus,
tetapi kalu menyebabkan manja?” tuturnya setengah uring-uringan.
Tak mau kalah, Saifuddin
Zuhri balik bertanya, “Lha, yang selama ini membantu siapa? Kan sampeyan
sendiri menteri agama pertama yang melakukan kebijaksanaan member bantuan…”
“Thayyib, benar, memang saya
akui. Sebab itu tadi saya menanyakan kepada ente, apa saya tidak
salah member bantuan keuangan kepada umat Islam. Pertanyaan saya itu
seperti zelfcorrectie, kritik diri,” ujarnya.
Musibah di Cimindi
Tanggal 19 April 1953
merupakan hari berkabung. Waktu itu, hari Sabtu tanggal 18 April, KH. Abdul
Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU.
Berkendaraan mobil Chevrolet miliknya, Abdul Wahid Hasyim ditemani seorang
sopir dari harian pemandangan, Argo Sutjipto, tata usaha majalah Gema Muslimin,
dan putra sulungnya, Abdurrahman Ad-Dakhil. Abdul Wahid Hasyim duduk di jol
belakang bersama Argo Sutjipto.
Daerah di sekitar Cimahi
dan Bandung waktu itu diguyur hujan dan jalan menjadi licin. Pada waktu itu
lalu lintas di jalan Cimindi, sebuah daerah antara Cimahi-Bandung, cukup ramai.
Sekitar jam 13.00, ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpangi Abdul Wahid
Hasyim selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Di belakang Chevrolet
naas itu banyak iring-iringan mobil. Sedangkan dari arah depan, sebuah truk
yang melaju kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil zig-zag karena
selip dari arah berlawanan. Karena mobil Chevrolet itu melaju cukup kencang,
bagian belakangnya membentur badan truk dengan kerasnya. Ketika terjadi
benturan itu Abdul Wahid Hasyim dan Argo Sutjipto terlempar kebawah truk yang
sudah berhenti itu. Keduanya luka parah. KH. Abdul Wahid Hasyim terluka bagian
kening dan mata serta pipi dan bagian lehernya. Sedangkan sopir dan Abdurrahman
tidak cedera sedikit pun. Mobilnya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa
berjalan seperti semula.
Lokasi terjadinya
kecelakaan ini memang agak jauh dari kota. Karena itu usaha pertolongan
datangnya sangat terlambat. Baru pada pukul 16.00 datang mobil ambulance untuk
mengangkut korban ke rumah Sakit Boromeus di Bandung. Sejak mengalami
kecelakaan, kedua korban terus tidak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Ahad,
19 April 1953, KH. Abdul Wahid Hasyim dipanggil ke Hadirat Allah SWT dalam usia
39 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00, Argo Sutjipto menyusul
menghadap Sang Khalik.
Musibah ini tentu aja
sangat mengejutkan masyarakat. Jenazahnya diangkut ambulance ke Jakarta dan
setelah disemayamkan sejenak, lalu diterbangkan ke Surabaya. Selajutnya dibawa
ke Jombang untuk dimakamkan di Pesantren Tebuireng. Banyak yang
menyesalkan kenapa kiai berusia muda dan merupakan tokoh nasional itu
begitu cepat dipanggil menghadap Sang Khalik. Tetapi, itulah kehendak Tuhan.
Jika pada umumnya
kematangan prestasi dan karier seseorang baru dimulai pada usia 40, KH. Wahid
Hasyim justru telah merengkuhnya pada usia di bawah itu. Orang menilai kematian
itu teramat cepat datangnya, secepat Wahid Hasyim meraih prestasi. Karena itu,
melihat kepemimpinan dan prestasi yang diraih Wahid Hasyim dalam usia mudanya,
sering muncul pengandaian dari masyarakat, “…seandainya KH. Wahid Hasyim
dikaruniai usia yang lebih panjang, tidak mustahil…”
Sumber:
Komentar
Posting Komentar