Munas ke IV RMI Nahdlatul Ulama: Memperebutkan Posisi Imamah

NU sudah bersiap-siap memperebutkan jabatan Ketua Umum PPP. Sejumlah kiai menyurvei dan menjajaki keinginan bawah terjun ke politik.
HUJAN deras yang mengguyur Senin pagi pekan lalu membuat becek pelataran Pesantren Asshiddiqiyah, Jakarta. Toh Presiden Soeharto, yang diundang Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid, bersedia datang dan membuka Musyawarah Nasional IV Ikatan Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama atau Rabithatul Maahidil Islamiyah (RMI). Dan hujan pula yang mengantar Wakil Presiden Try Sutrisno menutup perhelatan yang dihadiri 1.500 wakil pesantren itu Kamis pekan lalu.

Meski banyak kiai sepuh yang tak tampak dalam acara itu, ada belasan menteri yang berbicara di RMI. Ini tidak mengherankan karena dalam wadah ikatan tersebut kini berhimpun sekitar 7.000 pondok pesantren, dengan sekitar 6 juta santri. Perhatian yang begitu besar dari Pemerintah ini tentu punya latar belakang tertentu. Sebut saja lembaga khusus di bawah Pengurus Besar NU ini terbentuk pada 1951, tapi baru pada munas III, lima tahun silam, di Watucongol Magelang, pejabat pemerintah berbondong- bondong menghadirinya -- ketika NU sudah menyatakan "kembali ke khitah 1926" itu.

Di munas itu sempat muncul keinginan agar RMI menjadi lembaga otonom, terpisah dari PB NU, sehingga RMI bakal bisa merangkul pesantren di luar NU, yang belakangan ini bertumbuhan. Apalagi, di munas itu pas hadir pula Menteri Habibie, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang belum lama ini diangkat menjadi Ketua Badan Kerja Sama Pondok Pesantren. Namun,usulan itu tak mendapat persetujuan di sidang pleno -- meski mungkin akan dibawa ke Muktamar NU Desember 1994.

Apakah Munas RMI ini merupakan upaya menjembatani Pemerintah dan NU? "Yang tahu tujuan pentingnya, ya, beliau-beliau pejabat itu. Barangkali itu karena posisi pesantren sebagai entry point untuk masuk ke masyarakat," kata K.H. Abdul Wahid Zaini, Ketua Umum RMI.

Di pihak NU sendiri, memang timbul kesadaran bahwa peran politik mereka setelah komitmen kembali ke khitah, sejak 1984, terasa makin mengendur. Misalnya, upaya mereka mengegolkan butir pesantren sebagai modal dasar di GBHN mental. Begitu pula keinginan menjadikan bulan puasa sebagai hari libur.

Memang, tak kelihatan lagi tokoh-tokoh NU yang begitu vokal dalam sidang-sidang parlemen seperti pada tahun 1970-an. Maka, "Belakangan ini muncul dorongan agar posisi politik warga NU itu makin kuat," ujar Abdurrahman Wahid.

Tapi kembali ke era pra-Muktamar Situbondo 1984 tampaknya tak mungkin lagi. Sebab, kader NU sudah tersebar di berbagai organisasi. Di PDI, misalnya, Kiai Cholik menjadi salah satu ketua dewan pimpinan pusat. "Dengan khitah 1926 itu, banyak pejabat, menteri, bahkan militer yang berani menunjukkan dadanya bahwa dia NU," ujar Kiai Attabik Ali, pemimpin Pesantren Al Munawwir, Yogyakarta.

Yang menarik justru gerakan yang dilakukan oleh wakil-wakil NU di PPP. Diam-diam, Kamis petang pekan lalu, 26 kiai NU di PPP yang berpengaruh, didampingi oleh Abdurrahman Wahid dan tuan rumah Munas IV RMI Kiai Noor Muhammad, bersilaturahmi ke kediaman Wakil Presiden Try Sutrisno. Di antara yang hadir dalam pertemuan selama sekitar tiga jam itu, ada Kiai Alawy Muhammad dari Sampang, Kiai Dimyati dari Kaliwungu, Kiai Munawwir dari Pekalongan, dan Kiai Masudi dari Demak. "Ini munas di luar munas," gurau Gus Dur.

Meski pertemuan itu berupa kangen-kangenan, tersirat ada keinginan dari para kiai PPP itu untuk meminta "bantuan" dari Pak Try. Soalnya, dua tahun silam pun dukungan massal sudah diberikan ratusan ulama, dibungkus sampul hijau, agar Try Sutrisno bersedia menjadi wakil presiden.

Sementara itu, menghadapi Muktamar PPP Agustus nanti, ulama- ulama NU di PPP sudah membentuk semacam majelis pemenangan muktamar. Majelis ini diketuai Kiai Syansuri Baidawi dengan wakil Kiai Cholil Bisri -- keduanya anggota DPR (TEMPO, 5 Februari 1994). Tugas mereka adalah menginventarisasi kandidat NU yang bakal dibawa ke Muktamar PPP dan melakukan survei keliling pondok pesantren untuk mengukur kekuatan riil NU. Mereka mendatangai pesantren di Nganjuk, Kencong, Ploso, Tulungagung, Asembagus, dan sebagainya.

Tugas ini sebetulnya cukup berat. Soalnya, selama ini seakan timbul perasaan sama-sama tidak enak antara ulama pondok dan ulama yang berpolitik praktis. Setelah Kiai Syansuri dan Cholil berkeliling, "Ternyata muncul kesadaran para kiai untuk mencapai sesuatu yang berarti. Tahun-tahun lalu, mereka menerima siapa saja, bingkisan apa saja, tapi nyatanya tak ada ganjaran apa-apa," ujar Kiai Cholil, pengasuh Pondok Pesantren Raudhotub Tholibin, Rembang.

Menurut Kiai Cholil, umumnya kiai di Jawa Timur malah menginginkan agar posisi imamah (kepemimpinan) di PPP bisa direbut NU. Sementara itu, para kiai Jawa Tengah, ujarnya, hanya minta agar NU lebih berperanan. Hasil survei itu akan mereka bawa ke tim seleksi, Mei nanti, yang terdiri atas sembilan kiai senior, seperti Kiai Alawy Muhammad, Kiai Mursidi, Kiai Dimyati, dan Kiai Maimun.

Perhitungan suara di kertas, menurut Kiai Cholil, NU memegang 40% cabang PPP. Konsentrasinya ada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Kalimantan. Tentu ini bakal berat menghadapi Ketua Umum PPP sekarang, Buya Ismail Hasan Metareum, yang berpasangan dengan Cholil Badawi atau Sulaiman Fadeli, yang memegang mayoritas wilayah dan cabang. Karena sebagian cabang PPP itu bentukan John Naro -- Ketua Umum PPP waktu itu -- NU bakal menggalang koalisi. Diperkirakan, pendukung Naro masih kuat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Sulawesi.

Namun, koalisi dengan Naro itu tentu akan membawa konsekuensi yang berat bagi NU kelak. Soalnya, pada zaman kepemimpinan Naro itulah para politisi NU disingkirkan. Lalu, konsesi apa yang bakal diberikan kepada Naro bila koalisi tersebut berhasil? "Saat ini kami lebih berkonsentrasi ke dalam dulu," ujar Kiai Cholil Bisri.


Postingan Terkait:
Kontekstualisasi Kitab Kuning di Pesantren
Gus Dur: Ada Kecenderungan Jalan Pintas dalam Memahami Agama

dokumentasi Muktamar RMI ke IV, Desember 1994. Ponpes Assidiqiyah, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?