PENGERTIAN AHLUSUNNAH WAL JAMA'AH (ASWAJA)
PENGERTIAN AHLUSUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)
KH. Achmad Siddiq |
.............................................................................................................................................................
BismillahirrahmanirrahimAlhamdulillahi ladzii hadaanaa lihadzaa wa maa kunnaa linahtadiya laulaa an hadaanaallahu waa shalatu wa salaamu 'ala sayidinaa Muhammadin Rasuulillahi, wa 'alaa alihi waashaabihi dzawiin nuuri wal hidaayah, wa laa hawla wa laa quwata illa billah.
A. Hakikat Ahlussunnah Wal Jamaah
Dengan tidak memonopoli predikat
sebagai satu-satunya golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama
semenjak pertama berdirinya menegaskan diri sebagai penganut, pengemban dan
pengembang Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Dengan sekuat tenaga, Nahdlatul Ulama
berusaha menempatkan diri sebagai pengamal setia dan mengajak seluruh Kaum
Muslimin, terutama para warganya untuk menggolongkan diri pada Ahlussunnah Wal
Jamaah.
Pada hakikatnya, Ahlussunnah wal
Jamaah adalah ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh
Rasulullah Saw. Bersama para sahabatnya.
Ketika Rasulullah Saw.
Menerangkan bahwa umatnya akan tergolong-golong menjadi banyak sekali (73)
golongan, beliau menegaskan bahwa yang benar dan yang selamat dari sekian
banyak golongan itu hanyalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Atas pertanyaan para
sahabat, apakah as-sunnah Wal Jamaah itu, beliau merumuskan dengan sabdanya:
“Apa yang
aku berada di atasnya, hari ini, bersama para sahabatku”.
Ahlussunnah Wal Jamaah adalah
golongan pengikut setia pada as-sunnah Wal Jamaah, yaitu ajaran Islam yang
diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. Bersama para sahabatnya pada
zamannya itu.
Ahlussunnah Wal Jamaah bukanlah
sesuatu yang baru timbul sebagai reaksi dari timbulnya beberapa aliran yang
menyimpang dari ajaran yang murni seperti syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan
sebagainya. As-sunnah Wal Jamaah sudah ada sebelum semuanya itu timbul.
Aliran-aliran itulah yang merupakan gangguan terhadap kemurnian As-sunnah wal
Jamaah. Setelah gangguanitu membadai dan berkecamuk, dirasakan perlunya
predikat Ahlussunnah Wal Jamaah, dipopulerkan oleh Kaum Muslimin yang tetap
setia menegakkan As-Sunnah Wal Jamaah, mempertahankannya dari segala macam
gangguan yang ditimbulkan oleh aliran-aliran yang mengganggu itu. Mengajak
seluruh pemeluk Islam untuk kembali kepada As-Sunnah Wal Jamaah.
B.
Peranan Para Sahabat
Para Sahabat, generasi yang hidup
sezaman dengan Rasulullah Saw. Adalah generasi yang paling menghayati as-Sunnah
Wal Jamaah. Mereka dapat menerima langsung Ajaran Agama dari tangan pertama.
Kalau ada yang belum jelas, dapat menanyakan langsung pila kepada Rasulullah
Saw. Terutama al-Khulafa ar-Rasyidun Sahabat Abu Bakar Asshidiq ra., bin Affan
ra., dan sahabat Ali bin Abi Thalib ra.
Memang para sahabat adalah
manusia-manusia biasa yang tidak memiliki wewenang Tasyri’ ( membentuk/mengadakan hokum), tetapi di dalam Tathbiq (menerapkan prinsip-prinsip pada
perumusan sikap dan pendapat yang kongkrit), peranan mereka tidak dapat
dikesampingkan hanya karena ada kritik atau koreksi dari seseorang atau
sekelompok orang manusia biasa pula yang jarak zamannya sedemikian jauh dengan
zaman Rasulullah Saw. Dan kemampuan penghayatannya terhadap as-Sunnah Wal
Jamaah sulit diyakinkan melebihi kemampuan para sahabat.
Rasulullah Saw. Bersahabat :
“Haruslah
kamu sekalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin
yang mendapat petunjuk” (Rw. Ahmad)
Nahdlatul Ulama berpendirian
teguh, bahwa (yang mendapat petunjuk) adalah sifat menerangkan kenyataan bukan
sifat yang merupakan syarat yang membatasi. Artinya, memang semua Khulafa
ar-Rasyidin itu, tanpa diragukan lagi adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk, bukan orang-orang yang sebagian mendapat yang sebagian mendapat petunjuk
dan sebagian tidak. Kata almahdiyyin adalah sifat kata alkhulafa bukan sifat kata: sunnah
. Bahkan, Jumhur Ulama berpendapat bahwa para Sahabat Rasulullah Saw.
Adalah para tokoh yang diyakini kejujurannya di dalam masalah penyampaian ajaran
agama. Keragu-raguan terhadap kejujuran para sahabat merupakan salah satu
bahaya bagi kemantapan saluran Ajaran Agama, apalagi terhadap Khulafa
ar-Rasyidin al-Mahdiyyin. Keragu-raguan tersebut akan mengacaukan, mengaburkan
dan mengeruhkan jalur-jalur yang harus ditelusuri sampai kepada as-Sunnah dan
al-Qur’an.
Para sahabatlah yang mendengar
ucapan, melihat perbuatan dan menghayati sikap (Taqrir) Rasulullah Saw. Kemudian ucapan, perbuatan dan sikap
Rasulullah Saw. Itu dikumpulkan, dicatat dan dikodifikasikan. Para sahabat pula
yang mendengar dan mencatat Rasulullah Saw., membacakan ayat-ayat al-Qur’an,
kemudian dikumpulkan dan disusun menjadi mush-haf
yang sampai sekarang kita yakini sebagai mush-haf al-Qur’an yang Otentik.
Selain dalil-dalil qauli (bersifat ucapan) yang memberi
kesaksian Rasulullah Saw. atas kemampuan penghayatan para sahabat terhadap apa
yang diajarkan oleh beliau, terdapat pula dalil-dalil yang sekaligus qauli dan fi’li (bersifat perbuatan tindakan). Beliau merestui beberapa
sahabat melakukan ijtihad (mengerahkan daya pikir untuk mendapat kesimpulan
pendapat berdasar atas pemahaman dan penghayatan terhadap nash al-Qur’an dan al-Hadits). Yang paling terkenal ialah ketika
Rasulullah Saw. mengutus Sahabat Mu’adz bin Jabal ra. Ke Yaman. Atas pertanyaan
Rasulullah Saw., Sahabat Mu’adz ra. Member jawaban yang dapat dirumuskan :
1.
Kalau sesuatu masalah ada
dalilnya yang jelas di dalam al-Qur’an, maka keputusan hokum diambil berdasar
al-Qur’an.
2.
Kalau tidak terdapat dalam
al-Qur’an dan terdapat di dalam as-Sunnah, maka diambil berdasarkan as-Sunnah.
3.
Kalau tidak terdapat dalil yang
jelas di dalam al-Qur’an dan juga tidak terdapat di dalam as-Sunnah, maka
keputusan hokum diambil berdasar ijtihad (hasil daya pikir).
Pasti dapat diyakinkan oleh
setiap pemeluk Islam, bahwa para sahabat bukanlah sekelompok orang yang dibina oleh Rasulullah Saw. hanya
peranannya. Pasti para sahabat adalah generasi pertama kaum muslimin yang
mengemban tugas melanjutkan mission dan
perjuangan Rasulullah Saw. mengembagkan ajaran agama Islam ke seluruh pelosok
dunia, kepada segenap umat manusia.
Allah berfirman:
“Dan kami
tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan. Tetapi kebanyakan manusia tidak mengerti”.
(QS. As-Saba,28).
Pasti para sahabat adalah pembawa
cahaya Islam yang diterimanya dari Rasulullah Saw. kepada generasi-generasi
sesudahnya.
Rasulullah Saw. bersabda :
“Para
sahabatku adalah ibarat bintang-bintang.Dengan siapapun di antara mereka kamu sekalian
ikut, maka kamu akan mendapat petunjuk”.
Para sahabat, pasti bukan sekedar
pembawa rekaman ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah saja, tetapi sekaligus adalah
juga membawa pentauladanan, penjelasan dan pendapat mengenal arti ayat
al-Qur’an dan al-Hadits itu sesuai dengan penghayatannya.
C. Generasi Sesudah Sahabat
Sesudah generasi sahabat, tugas
melanjutkan mission dan perjuagan Rasulullah Saw. diterima oleh generasi baru
yang disebut tabiin (para pengikut). Selanjutnya ganti berganti, bersinambungan
generasi demi generasi menerima mission dan perjuangan itu, para tabiin, para
imam mujtahidin, para ulama shalihin, dari zaman ke zaman.
Kalau pengumpulkan dan penyusunan
catatan –catatan ayat-ayat al-Qur’an sampai menjadi sebuah mush-haf yang otentik sudah terselesaikan pada zaman
sahabat, maka pengumpulan hadits baru dirintis dan dilakukan oleh para tabiin.
Selanjutnya seleksi, kategorisasi, sistematisasinya digarap dan dirampungkan
oleh generasi-generasi sesudahnya. Segala macam syarat, sarana dan methoda untuk
menyimpulkan pendapat yang benar dan murni dari al-Qur’an dan al-hadits
diciptakan dan dikembangkan. Mulai dari ilmu-ilmu Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf,
Ma’ani,Badi’, dan Bayan sampai kepada Ilmu Mantiq (Logika) dan Filsafat,
dirangkaikan dengan Ilmu Tafsir, Ilmu Musthalahul Hadits sampai kepada Ushul
fiqh dan al-Fiqhiyyah. Semuanya dimaksudkan untuk dapat mencapai kemurnian
ajaran as-Sunnah Wal Jamaah.
Bukan hanya guna mendapatkan
ilmunya untuk diamalkan sendiri, didakwahkan dan lebih dari itu untuk diamalkan
oleh sebanyak mungkin umat.
Mereka Assabiqunal Awwalun(generasi
terdahulu) itu bergerak ke segala penjuru dunia, dengan segala jerih payah,
dengan penderitaan dan pengorbanan menyebarkan as-Sunnah Wal Jamaah, Kaaffatan
linnaas (kepada seluruh umat manusia). Tidak terkecuali ke tanah air Indonesia
ini. Para muballighin yang lain, atas resiko sendiri tanpa dukungan dari
kekuasaan politik dan tanpa dukungan dari kekuatan materiil yang berarti,
membawa as-Sunnah Wal Jamaah itu kemari. Dengan tidak mengurangi penghargaan
kepada para muballighin yang lain, tidaklah dapat dilewatkan menyebutkan
jasa-jasa para wali/muballighin yang dikenal dengan istilah Wali Sanga,
kelompok Sembilan yang paling berkesan di dalam Sejarah Islam di Indonesia.
D. Sistem dan Methodha
Bagi para sahabat Rasulullah Saw.
yang hidup se zaman dengan beliau, tidaklah terlalu sulit mendapatkan kemurnian
ajaran agama Islam, karena jarak waktu dan jarak fisik yang sangat dekat. Namun
makin jauh jarak fisikdengan sumber pertama, maka menjadi sulit untuk
mendapatkan kemurnian as-Sunnah Wal Jamaah itu, terutama karena besarnya
gangguan-gangguan yang membahayakan kemurnian tersebut.
Kecuali jauhnyajarak dan adanya
gangguan-gangguan, kesulitan untuk mendapatkan kemurnian as-Sunnah Wal Jamaah
itu menjadi lebih berat, karena al-Qur’an hanya mengandung hal-hal yang prinsip
sedang al-Hadits, meskipun lebih terperinci isinya, tetapi disampaikan oleh
Rasulullah Saw. secara persiil (sebagian-sebagian) sehingga satu masalah saja
(umpamanya cara melakukan shalat) mungkin berates-ratus jumlah al-hadits yang
berhubungan dengan masalah shalat ini. Belum lagi, seleksi al-Hadits dan latar
belakang sejarah disampaikannya oleh Rasulullah Saw.
Oleh karenanya, tidak semua orang
mampu memahami sendiri dan menyimpulkan pendapatnya mengenai sesuatu masalah
langsung dari al-Qur’an dan al-Hadits, secara benar sehingga dapat
dipertanggung jawabkan kemurniannya. Diperlukan sistem yang dapat
dipertanggungjawabkan, bagi seseorang yang perlu punya pendapat atau perlu melakukan
sesuatu hal mengenai ajaran agama.
1.
Bagi yang memenuhi syarat dan
sarana untuk mengambil kesimpulan pendapat (istinbath)
sendiri dapat menggunakan sistem ijtihad,
yaitu beristinbath sendiri.
2.
Bagi yang tidak memenuhi syarat
atau yang meragukan kemampuannya sendiri, tidak ada yang dapat dilakukan
kecuali mengikuti hasil ijtihad atau istinbath
orang lain yang mampu, yang disebut dengan istilah sistem taqlid.
Memaksa semua orang beristinbath dan berijtihad sendiri, bukan
saja tidak tepat tetapi juga sangat
membahayakan kemurnian ajaran agama Islam, membahayakan as-Sunnah Wal Jamaah.
Rasulullah bersabda :
“Tatkala
suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat
(kehancuran perkara itu).”
E. Karakteristik
Karena as-Sunnah Wal Jamaah itu
tidak lain adalah Ajaran Agama Islam yang murni sebagaimana dianjurkan dan
diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya, maka perwatakan
(karakteristik)-nya adalah juga karakteristik agama itu sendiri.
Karakteristik agama Islam yang
paling essensiil adalah :
1.
Prinsip at-Tawassut,jalan pertengahan, tidak tatharruf (ekstrem) ke kanan-kananan atau kekiri-kirian.
2.
Sasaran Rahmatan lil ‘Aalamin, menyebar rahmat kepada seluruh alam.[]
Dari kumpulan ceramah KH. Achmad Siddiq yang dicatat oleh KH. Muchith Muzadi yang diterbitkan pertama kali tahun 1979 dengan Judul "KHITTHAH NAHDLIYYAH"
Komentar
Posting Komentar