Sejarah Rabithah Ma'ahid Islamiyah

Rabithah al-Ma’ahid al-Islamiyyah (RMI) adalah lembaga Nahdlatul Ulama dengan basis utama pondok pesantren yang mencapai + 23.000 buah di seluruh Indonesia. Lembaga ini lahir sejak 20 Mei 1954 dengan nama Ittihad al-Ma’ahid al-Islamiyah yang dibidani oleh KH. Achmad Syaichu dan KH. Idham Kholid. Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama 2010 Bab V Pasal 18 huruf c menyebutkan bahwa Rabithah Ma’ahid Islamiyah adalah lembaga yang bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan keagamaan. Disinilah RMI berfungsi sebagai katalisator, dinamisator, dan fasilitator bagi pondok pesantren menuju tradisi mandiri dalam orientasi menggali solusi-solusi kreatif untuk Negeri. Rabithah Ma’ahid Islamiyah berpijak pada upaya pengembangan kapasitas lembaga, penyiapan kader-kader bangsa yang bermutu, dan pengembangan masyarakat.

Di dalam pondok pesantren pendidikan yang didapatkan bukan sebatas teori, namun juga praktik beragama. Pesantren merupakan tempat penanaman nilai-nilai moral yang mampu membentuk jatidiri manusia yang berbudi luhur. Pondok pesantren merupakan wadah santri menimba ilmu pengetahuan (keagamaan) setiap hari selama bertahun-tahun dibawah kepemimpinan kyai. Prinsip-prinsip dasar yang ditanamkan dalam dunia pesantren adalah tathawwur (berkembang secara gradual), tawasuth (moderat), tawazun (harmonis-seimbang), I’tidal (lurus) dan tasamuh (toleran) dengan berpihak pada nilai-nilai permusyawaratan dan keadilan dalam orientasi kemaslahatan umum.

Setiap pesantren memiliki karakteristik tersendiri walau unsur-unsurnya sama. Keragaman karakteristik ini merupakan kekuatan dan sekaligus keunikan. Unsur-unsur dasar yang membentuk lembaga pondok pesantren adalah kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning. Kyai menempati posisi sentral dalam lingkungan pesantren, karena ia bias sebagai pemilik, pengelola, dan pengajar, serta imam pada acara-acara keagamaan yang diselenggarakan. Unsur lainnya (masjid, asrama, santri, dan kitab kuning) bersifat subside, dibawah kendali kyai. Dengan unsure-unsur yang dimilikinya, pondok pesantren telah menjadi pusat pembelajaran (training centre) dan pusat kebudayaan (cultural centre).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BENARKAH KEPUTUSAN MUKTAMAR NU I DAN KITAB I’ANAT ATH-THALIBIN MELARANG TAHLILAN?

Muqaddimah Pidato/Ceramah di Kalangan Nahdlatul Ulama

Membaca Wirid Dan Doa Setelah Shalat