PP RMI NU Akan Selenggarakan Halaqah Pesantren Sebagai Pusat Pengkaderan Ulama
![]() |
Santr Mengaji |
LATAR BELAKANG
Pesantren adalah satu-satunya institusi pendidikan yang selama ini
berhasil mencetak ulama. Sebagai lembaga pendidikan keagamaan khas Indonesia,
pesantren sudah banyak melahirkan ulama yang memiliki penguasaan yang mendalam
terhadap khazanah keislaman klasik. Tentu saja tidak semua santri kemudian
menjadi ulama. Meski belum ada
penelitian yang secara khusus melihat berapa persen dari seluruh jumlah santri
yang berhasil dicetak dan menjadi ulama, namun hampir bisa dipastikan, sebagian
diantara yang menjadi ulama adalah santri lulusan pesantren salaf yang memang konsisten
melakukan pengkaderan ulama secara intensif.
Dewasa ini, posisi pesantren sebagai lembaga pengkaderan ulama mulai
dipertanyakan. Ini terutama karena mutu lulusan pesantren secara umum tidak lagi
sepenuhnya bisa mencerminkan keulamaan, termasuk dari segi keilmuan. Hasil
penelitian Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kementerian Agama tahun 2011 menunjukkan bahwa kitab-kitab klasik
yang diajarkan di pesantren jauh lebih rendah dibanding tahun 80-an ke belakang,
baik kategori Salafiyah (pesantren tradisional yang hanya mengajarkan
kitab kuning), Ashriyah (pesantren modern) maupun kombinasi (pesantren
modern tapi masih mengajarkan kitab kuning secara intensif). Dari 989 pesantren
yang disurvey secara acak di seluruh Indonesia, lebih dari 60% diantaranya
hanya mengajarkan kitab-kitab dalam level menengah, baik kategori fiqh, tauhid,
akidah, tafsir, hadits maupun tasawuf. Hasil penelitian ini bahkan menunjukkan
bahwa banyak kitab-kitab tingkat tinggi yang dulu dikaji secara intensif di
pesantren kini tidak lagi dikaji.
Sampai tingkat tertentu, sebagian besar pesantren, kecuali
pesantren-pesantren salaf, pendidikan formal lebih diutamakan ketimbang
pendalaman kitab kuning. Yang sangat menyedihkan dari kecenderungan ini adalah
bahwa kurikulum mata pelajaran agama di madrasah dan sekolah-sekolah umum di
sebagian pesantren justeru mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Kementerian
Agama. Padahal, sebagai lembaga yang secara khusus mengkaji khazanah keislaman,
pesantren mestinya mempunyai kurikulum sendiri yang terkait dengan mata
pelajaran agama.
Akibatnya, perhatian terhadap pendalaman kitab kuning kian terabaikan.
Pesantren salaf yang secara konsisten mempelajari dan mendalami khazanah
keislaman klasik semakin kecil jumlahnya. Akibatnya, ulama yang betul-betul
menguasai khazanah keislaman klasik semakin berkurang. Bukan semata-mata karena
ulama besar banyak yang meninggal dunia, tetapi juga karena mata rantai pengkaderan
ulama nyaris terputus dengan terabaikannya pola pesantren salaf.
Ironisnya, hingga kini nyaris tidak ada upaya serius, sistematis dan
terstruktur untuk “menyelamatkan”
keberlangsungan mata rantai pendalaman kitab kuning di pesantren. Baik
pemerintah, ormas Islam maupun pesantren sendiri seolah-olah tidak menganggap
kelangkaan ulama sebagai masalah serius. Bahkan, masyarakat muslim secara
keseluruhan juga tidak menunjukkan kegelisahan yang signifikan terhadap masalah
kelangkaan ulama. Pada akhirnya pesantren salaf sebagai lembaga yang secara
konsisten menyelenggarakan “pengkaderan ulama” menjadi satu-satunya tumpuan.
Namun, seiring berjalannya waktu dan tantangan yang kian kompleks, keberadaan
pesantren salaf yang terus berkurang jumlahnya sejak satu dekade terakhir ini
ibarat ibarat pepatah “Hidup enggan mati tak mau”, karena animo masyarakat
untuk memasukkan anaknya ke pesantren semakin berkurang.
---
I.
WAKTU DAN TEMPAT
Kegiatan ini akan diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal :
Selasa – Jumat, 21 – 24 Desember 2013
Tempat :
PP Nurut Taqwa, Grujugan, Cermee,
Bondowoso, Jawa Timur
How can ‘pesantren’ contribute to national education
BalasHapushttp://www.thejakartapost.com/news/2014/01/24/how-can-pesantren-contribute-national-education.html
History shows that pesantren (Islamic boarding schools) have made a great contribution to the independence of this country; most have also played a significant role in making Indonesian Muslims moderate and tolerant. However, the condition of pesantren, especially in rural areas, is deplorable. Most have been left behind in comparison to other educational institutions in urban areas. One reason is the lack of attention from the government on the development of pesantren.
Thus, the government needs to create an affirmative program to help the schools develop, and to support their surrounding communities to face the influence of globalization. Only about 7 percent of students from rural areas continue their studies to a university level; most cannot study in major cities due to the high living costs.
.................