Kebhinekaan dan Kebangsaan dalam Perspektif Islam Ahlussunnah wal Jama’ah [Bagian Pertama]
Pendahuluan
Memasuki
Millennium Ke-21 dunia sedang dikejutkan oleh berbagai tindak kekerasan
berbasis agama. Banyak pihak menyebutkan bahwa berbagai tindakan itu jauh dari
persoalan pokok agama, namun perlu dicermati ciri-cirinya, karena di dalamnya
terdapat beberapa pertanda yang mengarah kepada kekerasan berbasis agama.
Pertanda pada gejala kekerasan itu antara lain adalah (a) menggunakan simbol
agama; (b) menyertakan sudut pandang agama; (c) dalih pembenarnya adalah
pemahaman agama; (d) solusi yang dibayangkan adalah berkaitan dengan agama; dan
(e) isi pesan di balik tindakan itu adalah menggugah sentimen keagamaan.

Menjauhkan definisi tindakan kekerasan itu dari agama
adalah kearifan untuk mencegah berlarut-larutnya masalah menjadi konflik
keagamaan. Kearifan semacam itu diperlukan sebagai pemandu bagi para penganut
agama agar tidak terjebak ke dalam habitus kekerasan, meskipun habitatnya masih
diwarnai oleh kekerasan. Habitus di sini adalah ”kehidupan yang dipikirkan atau
yang diperjuangkan”, sementara habitat adalah ”hidup yang dijalani atau yang
sedang menjadi kenyataan”. Kearifan semacam itu menemukan dasarnya pada teladan
Nabi Muhammad SAW yang hidup di dalam habitat jahiliyah, tetapi beliau dan para
sahabat yang mulia hidup di dalam habitus islamiyah, sehingga yang lahir
sebagai aktualisasi keberagamaan adalah gerakan keadilan.
Bahwa di awal tulisan ini diangkat ciri-ciri kekerasan
berbasis agama adalah dihajatkan untuk mendorong kita dalam menyegarkan kembali
khazanah keagamaan, terutama di dalam ikhtiar bersama untuk memberikan jawaban
atas persoalan kekerasan yang terjadi silih berganti sejak akhir Abad Ke-20
yang lalu. Jawaban itu tentu saja yang dijiwai oleh spiriit kemaslahatan dan
kedamaian. Spirit kemaslahatan dimaksud adalah yang menunjuk kepada (a)
terjaganya agama, termasuk terjaminnya kemerdekaan memeluk agama dan keyakinan;
(b) terjaganya jiwa raga, termasuk terjaminnya kesehatan fisik dan mental; (c)
terjaganya akal, termasuk terjaminnya kemerdekaan berserikat dan mengemukakan
gagasan; (d) terjaganya keturunan, termasuk terjaminnya hak-hak reproduksi; dan
(e) terjaganya harta, termasuk terjaminnya hak atas properti dan di dalamnya
juga mencakup hak atas kekayaan intelektual. Dan yang dimaksud dengan spirit
kedamaian adalah yang bersendikan pada (a) kebenaran, termasuk keterbukaan dan
kejujuran; (b) keadilan, termasuk kesetaraan dan jenis keadilan yang memihak
kepada pemulihan korban (keadilan restoratif atau al-’adalah al-ishlahiyah);
dan (c) keluhuran, termasuk kesediaan untuk saling memaafkan dan menata
kehidupan baru tanpa kekerasan.
Tulisan
singkat ini adalah rintisan yang diharapkan dapat dikembangkan memuat jawaban
dari sumber ajaran Al-Quran dengan pelacakannya pada hadits Nabi Muhammad SAW
berikut beberapa penjelasan ulama yang terkait. Meskipun masih rintisan awal, akan
coba dilacak implikasi kebhinekaan dan kebangsaan agar dapat dicari kemungkinan
rumusan tindakan yang sesuai.
Memasuki
Millennium Ke-21 dunia sedang dikejutkan oleh berbagai tindak kekerasan
berbasis agama. Banyak pihak menyebutkan bahwa berbagai tindakan itu jauh dari
persoalan pokok agama, namun perlu dicermati ciri-cirinya, karena di dalamnya
terdapat beberapa pertanda yang mengarah kepada kekerasan berbasis agama.
Pertanda pada gejala kekerasan itu antara lain adalah (a) menggunakan simbol
agama; (b) menyertakan sudut pandang agama; (c) dalih pembenarnya adalah
pemahaman agama; (d) solusi yang dibayangkan adalah berkaitan dengan agama; dan
(e) isi pesan di balik tindakan itu adalah menggugah sentimen keagamaan.
Menjauhkan definisi tindakan kekerasan itu dari agama
adalah kearifan untuk mencegah berlarut-larutnya masalah menjadi konflik
keagamaan. Kearifan semacam itu diperlukan sebagai pemandu bagi para penganut
agama agar tidak terjebak ke dalam habitus kekerasan, meskipun habitatnya masih
diwarnai oleh kekerasan. Habitus di sini adalah ”kehidupan yang dipikirkan atau
yang diperjuangkan”, sementara habitat adalah ”hidup yang dijalani atau yang
sedang menjadi kenyataan”. Kearifan semacam itu menemukan dasarnya pada teladan
Nabi Muhammad SAW yang hidup di dalam habitat jahiliyah, tetapi beliau dan para
sahabat yang mulia hidup di dalam habitus islamiyah, sehingga yang lahir
sebagai aktualisasi keberagamaan adalah gerakan keadilan.
Bahwa di awal tulisan ini diangkat ciri-ciri kekerasan
berbasis agama adalah dihajatkan untuk mendorong kita dalam menyegarkan kembali
khazanah keagamaan, terutama di dalam ikhtiar bersama untuk memberikan jawaban
atas persoalan kekerasan yang terjadi silih berganti sejak akhir Abad Ke-20
yang lalu. Jawaban itu tentu saja yang dijiwai oleh spiriit kemaslahatan dan
kedamaian. Spirit kemaslahatan dimaksud adalah yang menunjuk kepada (a)
terjaganya agama, termasuk terjaminnya kemerdekaan memeluk agama dan keyakinan;
(b) terjaganya jiwa raga, termasuk terjaminnya kesehatan fisik dan mental; (c)
terjaganya akal, termasuk terjaminnya kemerdekaan berserikat dan mengemukakan
gagasan; (d) terjaganya keturunan, termasuk terjaminnya hak-hak reproduksi; dan
(e) terjaganya harta, termasuk terjaminnya hak atas properti dan di dalamnya
juga mencakup hak atas kekayaan intelektual. Dan yang dimaksud dengan spirit
kedamaian adalah yang bersendikan pada (a) kebenaran, termasuk keterbukaan dan
kejujuran; (b) keadilan, termasuk kesetaraan dan jenis keadilan yang memihak
kepada pemulihan korban (keadilan restoratif atau al-’adalah al-ishlahiyah);
dan (c) keluhuran, termasuk kesediaan untuk saling memaafkan dan menata
kehidupan baru tanpa kekerasan.
Tulisan
singkat ini adalah rintisan yang diharapkan dapat dikembangkan memuat jawaban
dari sumber ajaran Al-Quran dengan pelacakannya pada hadits Nabi Muhammad SAW
berikut beberapa penjelasan ulama yang terkait. Meskipun masih rintisan awal, akan
coba dilacak implikasi kebhinekaan dan kebangsaan agar dapat dicari kemungkinan
rumusan tindakan yang sesuai.
[Disiapkan oleh
M. Dian Nafi’ sebagai Pengantar untuk Halqah
“Membangun Karakter Kebangsaan Pemuda
melalui Pesantren”
Diselenggarakan oleh Pimpinan Pusat
Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama
di Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan,
Jl. K.H. Samanhudi No. 64, Purwosari, Laweyan, Surakarta,
8-10 Oktober 2011]
Komentar
Posting Komentar