KH. ABDUL HANNAN MA’SHUM: Pendiri dan Pengasuh Pesantren Fathul ‘Ulum Kwagean
KH. Abdul Hannan Ma'shum dokumentasi Pesantren Fathul 'Ulum |
KH. ABDUL HANNAN MA’SHUM
KH. Abdul Hannan Ma'shum, beliau dilahirkan di Boto
Putih Kecamatan Canggu (± 5 Km Sebelah utara Dusun Kwagean). Dengan nama Hanan
dari pasangan Bapak Ma’sum asal Boto Putih dan Ibu Siti Nu’amah (Wafat pada
hari Sabtu Malam Ahad tanggal 7 Agustus 1905 atau 2 Jumadil Akhiroh 1426 H.)
asal Krecek Pare. Beliau adalah putra ke-4 dari 12 bersaudara, yaitu:
- Bapak Khozin (Boto Putih).
- Ibu Binti ( Mangiran Pare).
- Agus Khodim (wafat pada usia 2 tahun).
- KH. Abdul Hannan Ma’shum (Pengasuh Pondok PFU).
- Agus Shohib (wafat pada umur 1 tahun).
- Ning Umaiyah (wafat pada umur setengah tahun).
- Agus Kholil (wafat pada umur 1 tahun).
- Ibu Istiqomah (Bringin Pare).
- Bapak Habib (Boto Putih)
- K. Romdli Anwar (Kebon Sari).
Sedang dua diantaranya sudah meninggal dan belum
diketahui namanya oleh penyusun. Ayah beliau sebagai buruh tani dan penjual
kelapa. Sedangkan Ibu beliau sebagai penjahit kecil-kecilan dengan sebuah mesin
jahit yang sudah usang serta berjualan onde-onde di Pasar. Karena dilahirkan
dan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan kesederhanaan, beliau rela menjadi
buruh menanam singkong di kebun orang lain dengan upah beberapa singkong saja,
ini dilakukan hingga beliau tamat SR (Sekolah Rakyat).
Berbudi luhur, tawadlu’ dan ketekunan beliau sudah
terlihat sejak kecil, bahkan kalau bicara dengan orang lain beliau selalu
menggunakan bahasa halus (Kromo Inggil). Sehingga orang yang bertemu langsung
mengenal bahwa ini adalah Hanan Putra bapak Ma’sum. Masa kecil beliau tidak
seperti anak kecil lainnya yang hanya suka bermain, akan tetapi lebih suka
membantu orang tua dengan menggembala kambing, merumput, memelihara hewan
peliharaan, seperti: itik, ayam dan lain-lain, walaupun demikian beliau juga
suka mecari burung.
PERJALANAN KH. ABDUL HANNAN MA'SHUM MENCARI ILMU
Seperti kebiasaan anak-anak pada masa itu, beliau
juga sekolah di Sekolah Rakyat (sekarang SD) dengan guru Bapak Jendol. Kemudian
beliau meneruskan di Madrasah Wajib Belajar (MWB) sampai tingkat MTT (Madrasah
Tingkat Tinggi). Ditambah selama 8 tahun dan tamat pada tahun 1965 M.
Dengan tekad yang kuat dan penuh. Pada umur sekitar
12 tahun beliau melangkahkan kaki ke-PP. Roudlotul ‘Ulum Kencong (sebelah timur
Kwagean) yang diasuh oleh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji Syaerozi.
Di pesantren inilah beliau banyak menimba ilmu
kurang lebih 15 th. Sebelum mondok di Pesantren tersebut beliau memang sudah
dikenalkan dengan pengajian-pengajian didesanya layaknya pengajian salaf di
Pondok Pesantren oleh Kyai didesanya, beliau sudah pernah mengaji “Sullam
At-taufiq”, Tashrif istilahi dan lughowi bahkan beliau menghafalnya, disamping
itu juga beliau sudah pernah mendapatkan ijazah serta mengamalkan Sholawat
Nariyah 4444 x dalam satu majelis. Dari barokah sholawat tersebut, pernah
beliau dicari teman-temannya, akan tetapi tidak bisa menemukannya, padahal
beliau hanya dikamar itu. Setelah yang mencari gurunya yang memberi amalan
tersebut (Mbah Dul) barulah mereka bisa menemukanya. Karena keadaan ekonomi
keluarga yang paspasan beliau jarang sekali mendapatkan kiriman dari orang tua,
hanya kadang kala dua atau tiga bulan sekali dikirim beras dari rumah sekitar
10 Kg. dan 4/5 butir kelapa.
Dengan rasa penuh semangat adik beliau (K. Romdli
Anwar) selalu mengantarkan kiriman tersebut ke-Pondok tersebut. Itupun hanya
berjalan sekitar 6 tahun. Tepatnya pada Th.1971 M. beliau dipanggil oleh Ibunda
tercinta perasaan sedih dan kasihan ibunda berkata ”Nak..! Wes, kowe muliho
wahe, Mak wes ora kuat ngragati maneh, gentenan karo adikmu” (Nak…! Sekarang
pulang saja, ibu sudah tidak mampu membiayaimu lagi, gantian dengan adikmu.
Red.). Dengan mantap dan tanpa rasa takut sedikitpun beliau menjawab “Mak, kulo
nyuwun pangestune mawon” (Sudahlah Bu, saya minta do’a restunya saja, Red.).
Bekal beliau hanyalah tekad dan niat yang teguh. Dengan meneruskan belajarnya
lagi ± 9 tahun. Dengan tekad yang kuat segala usaha pun dilakukan demi
kesejahteraannya di Pondok tanpa menggantungkan pada orang tua, dalam masa itu
beliau menjadi buruh menulis Kitab Alfiyah serta keterangannya, ± 100 buku
pernah ditulisnya demi memenuhi kebutuhanya.
Selain usaha dzohir juga usaha batinpun
dilakukannya, bermacam-macam riyadhohpun beliau jalani demi cita-cita, antara
lain :
- Puasa ngrowot ( makanan selain beras ) selama 41 hari berturut-turut ± 10 Th.
- Puasa tarkudziruh ( makanannya tidak berasal dari hewani ).
- Puasa mutih selama 41 hari berturut-turut.
- Tidak pulang selama 3 Th.
- Sholat jamaah dengan menemui takbirotul ihromnya Imam ( + 3 Th).
- Khidmah. (Membantu dipesantren dan ndalem kyai )
Dengan semangat dan didasari kecintaan pada ilmu
beliau juga dapat menghafal Alfiyah 1002 bait dan ‘Uqudul juman 1010 Bait.
Pendidikan keras dan santun yang diajarkan sang
guru membentuk karakter beliau menjadi seorang yang demokratis dalam berfikir.
Beliau pernah dipanggil oleh pengasuh (KH. Zamroji) dan dinasehati :
» Saiki totonen kitabmu mulai cilik nganti gedhe
(sekarang tatalah kitabmu mulai yang kecil sampai yang besar, red).
» Orausah poso-posoan, selagi iseh kuat mbancik
ora usah mangan (tidak perlu berpuasa, selagi masih kuat berdiri jangan
makan, red).
» Nek dijalu’i ngaji sopowae gelemo, senajan jam
12 bengi (ketika dimintai mengaji siapa saja, terimalah meskipun jam 12
malam, red).
Beliau merupakan orang yang mandiri dan tekun,
sebagai Abdul Hanan muda yang hormat dan sangat ta’zhim pada sang guru. Beliau
menunjukkan itu semua tak ketinggalan jiwa sosialnya, baik pada teman/kawan
santri maupun pada Pesantren yang membimbing dan mendidiknya diantaranya
sebagai tukang sapu, penimba kolah, pengajar Al-Qur’an dan juga merangkap
sebagai bendahara.
Dengan didasari ketekunan dan keseriusan, beliau
ditunjuk sebagai Kepala Madrasah dan Dewan Hakim, disamping mengurus
lampu-lampu untuk penerangan Pondok Pesantren.
DARI PESANTREN KH. ABDUL HANNAN MA'SHUM KE PELAMINAN
Atas dukungan sang guru beliau dan persetujuan
orang tua dan keluarga dalam usia 27 tahun bulan Maulud Thn. 1980 M. beliau
dinikahkan oleh KH. Zamroji dengan dara ayu dari Dusun Kwagean bernama Miftahul
Munawaroh yang waktu itu masih berusia 16 Tahun, putri semata wayang dari
pasangan H. Anwar dan Hj. Asmurah.
Setelah melangsungkan pernikahan, beliau pindah
dari Pondok kerumah mertua di-Kwagean barat. Dengan tanpa meninggalkan
belajarnya selama 22 tahun di Pondok Kencong. Dari hasil pernikahan beliau itu,
beliau dikaruniai putra dan putri yaitu :
- Agus Moh. Miftah.
- Ning Nur Habibah (Almh.) wafat pada 11 Desember 1999.
- Agus Moh. Muhdlor.
- Agus Muslim.
- Ning Rif’atul Hasanah.
- Agus Barizi.
- Ning Zakiyatul Milah.
- Agus Muhammad Idris.
- Agus Muhammad Baha’uddin.
- Ning Dzuhrotul Wafiyah.
- Ning Fa’idatus Sirriyah.
- Agus Ahmad Muhammad
Selain mengaji di Pondok yang diasuh KH. Ahmadi dan KH. Zamroji, beliau juga pernah mengaji tabarrukan Bulanan di-Pondok lain seperti :
- Ponpes Bathoan asuhan KH. Jamal.
- Ponpes Mranggen asuhan KH. Muslih.
- Ponpes Lirboyo asuhan KH. Mahrus Ali.
- Ponpes Sarang, Dll.
KH. ABDUL HANNAN MA'SHUM MENDIRIKAN PONDOK PESANTREN “FATHUL ‘ULUM”
Setelah melaksanakan pernikahan ± 15 hari beliau
mengadakan pengajian dirumah mertua dengan peserta ± 96 peserta yang rata-rata
usianya lebih tua daripada beliau. Pada waktu itu ada diantara santri yang
bernama Imam Mawardi, KH. Masruri (Banyumas) dan Abdul Qodir (Bekasi) yang
membuat brosur/plakat (surat edaran) tanpa sepengetahuan beliau, sebanyak 45
kitab yang dikhatamkan dalam 11 bulan, yang waktu itu beliau menetap dirumah
mertuanya ± 11 bulan.
Dengan bertambahnya santri dan kurangnya sarana dan
prasarana yang mamadai, akhirnya beliau berinisiatif untuk pindah ke-Kwagean
bagian utara. Karena sudah pisah dari orang tuanya dan mertua, beliau harus
berjuang mandiri baik tehadap sandang, papan, dan pangan keluarga juga terhadap
rutinitas pengajian bagi para santri.
Untuk bisa menopang semua kebutuhannya dan
keluarga, disamping berjuang tetap menjalankan rutinitas pengajian, beliau
menjalankan usaha kecil-kecilan dengan berjualan singkong goreng, dengan hasil
yang sangat minim beliau berusah mengumpulkan labanya untuk modal usaha lain
yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga, akhirnya beliau mencoba membudi dayakan
ayam kampung, dengan penuh kesabaran usaha tersebut berlanjut sampai-sampai
beliau dapat membeli ayam ± 400 ekor untuk dijadikan bibit. Dengan usaha
seperti itulah beliau jalani tanpa rasa bosan, akhirnya laba dari penjualan
sedikit demi sedikit beliau kumpulkan untuk membeli sebidang tanah yang
akhirnya menjadi Pondok Pesantren tercinta ini.
ANGKRING MONUMENTAL
Dengan
bertambahnya jumlah santri, dan sarana prasarana yang belum memadai juga,
akhirnya dengan didasari dorongan masyarakat beliau bersama mereka mengadakan
survei ke-Kwagean sebelah utara, setelah sekian lama beliau menyurvei keadaan
lingkungan daerah itu dan berbekal istikhoroh serta restu dari gurunya (KH. Zamrozi
dan KH. Ahmadi) beliau pindah dengan diikuti oleh beberapa santri kedaerah
tersebut. Dan membuat sebuah gubuk yang terbuat dari anyaman dari daun kelapa
(jawa: teple).
Ketika awal pindahnya santri dari rumah mertua
kepemukiman baru merka menggunakan mobil truk sebagai angkutannya. Sebagian
santri bermukim di rumah Mbah Ahmad Zaini (Alm. Mbah Mad) dan sebagian yang
lain menetap dirumah Mertua beliau. Selang beberapa bulan kemudian gubuk yang
beliau tempati direnovasi menjadi sebuah gubuk semipermanen dengan dua kamar
(sekarang berupa dua kamar didepan ndalem).
Setelah mempunyai dua putra, yakni Agus Muhammad
Miftahuddin dan Ning Nur Habibah (Almh), beliau pindah dari rumah mertua
kerumah warisan kakek ibu nyai yang bernama Mbah Khusnan yang terletak di
sebelah timur Masjid (ndalem Wetan, sekarang Pondok An Nur PFU) hingga ± 3 Thn.
beliau menetap disana.
Sekitar Thn. 1988 beliau membeli sebidang tanah
dari hasil jerih payahnya kemudian membangun sebuah rumah sederhana (ndalem
yang sekarang).
EVOLUSI FATHUL ‘ULUM DAN FUTUHIYYAH
Pondok yang terkenal kesalafannya ini, pada mulanya
bernama Miftahul ‘Ulum. Nama Miftah diambil dari asal kata Fataha yang berarti
“Telah membuka” dengan tujuan agar Pondok ini menjadi sebuah pembuka segala
sesuatu yang tertutup dan gelap. Sedangkan nama ‘Ulum sendiri
tafa’ulan/tabarukan pada Pondok Roudlotul ‘Ulum Kencong, supaya tetap
mendapatkan barokahnya. Namun karena terjadi kesamaan nama dengan nama Pondok
Miftahul ‘ulum-Jombangan Pare, juga dengan nama Pondok Mranggen Jawa Tengah
yang diasuh oleh KH. Muslih (guru beliau waktu mengikuti pengajian kilatan
berkala) maka diganti dengan “Fathul ‘Ulum”.
Lambat laun keorganisasian pun terbentuk layaknya
Pondok Pesantren lain, akhirnya kebutuhan dan keadaan yang mengharuskan Fathul
‘Ulum membuka lembaga-lembaga otonom dalam naungannya. Akhirnya Fathul ‘Ulum
diantaranya mendirikan Madrasah Diniyyah yang diberi nama Futuhiyyah. Nama
Futuhiyyah adalah nama yang memiliki kesesuaian dengan nama Podok induknya,
dalam istilah nahwu Fathu dan Futuhiyyah adalah sama-sama musytaq (tercetak)
dari fi’il madi Fataha.
Pada mulanya di-Kwagean memang sudah terbentuk
Madrasah Diniyah, yang di rintis ± Thn. 1974 M oleh para sesepuh dengan dibantu
para pengajar dari Desa Kebon Sari yang pada waktu itu hanya memiliki tiga
lokal, dan dalam penggunaannya siang untuk Putri dan malam untuk Putra. Setelah
berjalan sekian lama, pada tahun 1983 M. K. Abdul Hannan muali andil dalam mengembangkan
Madrasah tersebut, dengan menambah tenaga pengajar dari santrinya yang lambat
laun Madrasah tersebut semakin berkembang seiring kemasyhuran beliau dikalangan
masyarakat, sehingga Madrasah tersebut dirangkul dalam keorganisasian Pondok Pesantren Fathul ‘Ulum, kemudian melihat pekembangan siswa yang signifikan mengharuskan
penambahan sarana dan prasarana, yang asalnya memiliki tiga lokal, kini menjadi
sebuah gedung putih berlantai tiga yang memiliki 12 lokal (Gedung Putih).
KETELADANAN KH. ABDUL HANNAN MA'SHUM
Sebagai ‘Ulama, Pemimpin, dan tokoh masyarakat KH.Abdul Hannan Ma’shum menjadi tokoh panutan umat, segala tutur kata dan bentuk
nyata selalu menjadi tolak ukur kehidupan masyarakatnya. Kedalaman ilmu dan
santun kata serta perbuatan yang dilengkapi sikap khosyyah kepada Alloh SWT
merupakan ciri khas kepribadiannya yang sulit ditandingi, beberapa sikap yang
ditempuh beliau dan barangkali sangat tepat untuk diteladani adalah sikap-sikap
sebagai berikut :
- Zuhud.
- Hidup mandiri.
- Tawadlu’ (rendah hati).
- Menjaga kebersihan (rapi).
- Sabar.
- Teguh memegang prinsip.
Post: Pesantren Fathul 'Ulum Kwagean
Repost: Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama - RMI NU, Media Pesantren
izin share untuk alumni sukses.
BalasHapusSilahkan... :) Salam
Hapus